OPINI
Ekonomi Kapitalis: Biang Kerok Krisis Perumahan?
Oleh. Indri Wulan Pertiwi,
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Mendapatkan tempat tinggal yang layak adalah sebuah Hak Asasi Manusia. Namun Ironisnya, di tengah sistem ekonomi kapitalis yang dianggap efisien dan adil, banyak orang di Indonesia, tidak memiliki akses ke tempat tinggal yang layak. Data Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman yang menyebutkan 26,9 juta rumah tidak layak huni, menjadi bukti nyata kegagalan negara yang menerapkan sistem ini, dalam menjamin kebutuhan dasar warganya. Kondisi ini sungguh memprihatinkan dan membutuhkan perhatian serius.
Krisis perumahan yang terjadi di Indonesia, bukanlah sekadar kekurangan pasokan rumah. Lebih dari itu, krisis ini mencerminkan ketidakadilan struktural dalam sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini, dengan karakter aslinya, telah menciptakan kesenjangan ekonomi yang sangat tajam antara si kaya dan si miskin.
Sistem ekonomi kapitalisme, dengan asas kebebasan kepemilikan, seringkali menjadi akar kemiskinan. Seperti yang diuraikan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Nidham al-Iqtishadi, korporasi memonopoli kebutuhan pokok, termasuk perumahan, sehingga harga properti menjadi tak terjangkau. Penguasaan korporasi atas sektor pertambangan, juga mengakibatkan negara kehilangan sumber pendapatan untuk kesejahteraan rakyat. Sistem kerja yang dikendalikan industri pun semakin menyengsarakan rakyat karena kebutuhan pokok mereka berada di tangan korporasi yang mengejar keuntungan maksimal.
Akibatnya, kebebasan pasar yang dianut alih-alih menciptakan efisiensi, justru melahirkan monopoli dan oligopoli dalam industri properti. Korporasi-korporasi besar menguasai lahan, material bangunan, dan proses pembangunan, sehingga mereka dapat mendikte harga dan menciptakan pasar yang tidak sehat. Rumah yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar, berubah menjadi komoditas mewah yang didorong oleh profit semata.
Adapun program-program pemerintah yang bertujuan mengatasi krisis perumahan, seringkali gagal mencapai sasarannya. Subsidi perumahan, walaupun bertujuan baik, seringkali terjebak dalam mekanisme pasar yang didominasi korporasi besar. Akibatnya, subsidi tersebut lebih banyak dinikmati oleh para pengembang daripada masyarakat yang membutuhkan.
Kegagalan ini, kian menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengintervensi pasar yang tidak adil serta menciptakan kebijakan yang benar-benar pro rakyat. Sebaliknya, program-program tersebut hanya bersifat tambal sulam, sama sekali tidak menangani akar masalah kemiskinan dan ketidaksetaraan yang sistemik.
Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan terobosan yang melampaui program simbolik dan beralih pada reformasi sistemik yang lebih adil dan berkeadilan, dengan menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. Perubahan paradigma menuju sistem ekonomi yang lebih berpihak kepada rakyat adalah keharusan untuk menciptakan solusi berkelanjutan dan memastikan setiap individu mendapatkan haknya atas tempat tinggal yang layak.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem ekonomi Islam dalam Daulah Khilafah menjamin kesejahteraan masyarakat, termasuk akses perumahan yang mudah. Hal ini berlandaskan pandangan tentang peran negara dan pentingnya perumahan bagi rakyat. Negara Khilafah berperan melayani rakyat, bukan sekadar berorientasi komersial seperti sistem kapitalis.
Islam memandang rumah lebih dari sekadar tempat tinggal, melainkan tempat untuk menjalankan berbagai syariat. Oleh karena itu, Islam menjadikan kepemilikan rumah sebagai kebutuhan primer yang dapat dipenuhi melalui berbagai cara: pembangunan sendiri, jual beli, hibah, atau warisan. Dengan kepemilikan rumah dapat berupa kepemilikan penuh atau hak guna pakai seperti sewa.
Negara Khilafah melalui sistem ekonomi Islam, menawarkan solusi komprehensif masalah perumahan, melalui beberapa mekanisme, antara lain:
Pertama, penguatan ekonomi berbasis syariat. Sistem ekonomi Islam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang adil dan merata dengan menghilangkan riba dan menerapkan sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat. Sistem upah yang adil dan layak, berdasarkan akad ijarah, akan meningkatkan daya beli dan kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah.
Kedua, penghapusan riba dan praktik eksploitatif. Dalam sistem ekonomi Islam, dilarang adanya riba dalam setiap transaksi, termasuk dalam pembiayaan perumahan. Hal ini bertujuan untuk mencegah praktik eksploitatif oleh lembaga keuangan konvensional, sehingga membuat harga perumahan menjadi lebih terjangkau.
Ketiga, penghapusan monopoli dan pengendalian lahan. Negara Khilafah mengelola dan mengawasi kepemilikan lahan secara adil dan efektif, mencegah monopoli lahan dan praktik land banking oleh korporasi. Lahan dialokasikan secara merata kepada masyarakat yang membutuhkan, dengan harga terjangkau dan proses perolehan yang transparan.
Keempat, penggunaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Sumber daya alam dikelola untuk kepentingan rakyat banyak, bukan untuk keuntungan segelintir orang. Bahan baku perumahan dikelola secara efisien dan adil, dengan harga terjangkau, sehingga pembangunan perumahan dapat dilakukan dengan biaya lebih rendah.
Kelima, subsidi dan insentif. Negara Khilafah memberikan subsidi dan insentif bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk membantu mereka mendapatkan akses perumahan yang layak. Di mana program perumahan benar-benar dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan untuk keuntungan para pengembang.
Dengan mekanisme tersebut, sistem ekonomi Islam dalam model Negara Khilafah, menawarkan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan untuk mengatasi krisis perumahan. Ini bukan sekadar solusi teknis, melainkan transformasi sistemik yang menekankan keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, akses terhadap perumahan layak akan menjadi kenyataan bagi setiap individu, memberikan dasar yang kokoh bagi kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Wallahu a'lam bisshawab. [US]
Baca juga:

0 Comments: