Cerdas Menyikapi Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Oleh. Naila Dhofarina Noor, S.Pd
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Bulan ini, publik diramaikan dengan kebijakan perdagangan luar negeri yang ditetapkan AS. Seperti yang diberitakan pada 2 April 2025 lalu, oleh laman resmi The White House, Presiden Trump menetapkan 10% tarif dasar untuk barang-barang asing yang impor ke AS. Kebijakan ini berlaku 5 April 2025. Selain itu, juga menetapkan tarif resiprokal bagi beberapa negara mulai 9 April 2025.
Maksud tarif resiprokal adalah tarif timbal balik. Misalnya, jika negara A menerapkan tarif impor 21% terhadap barang logam dari negara B, maka negara B menerapkan juga tarif impor 21% terhadap barang logam dari negara A. Oleh karenanya, dengan adanya kebijakan tarif resiprokal ini akan mengarah pada perang dagang.
Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang dikenai tarif resiprokal AS, yakni sebesar 32%. Dampaknya antara lain, nilai ekspor dan produksi barang berbasis ekspor Indonesia akan turun sehingga harga barang yang diekspor naik. Selanjutnya, terjadinya penurunan permintaan yang menyebabkan produksi turut menurun. Kemudian, efeknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan tidak terhindarkan.
Adapun China, sebagaimana kita ketahui pada periode 2000-2024, perdagangan China meroket 1.200% sedangkan AS 167%. Di saat AS menerapkan tarif resiprokal 34% untuk China, pemerintah China juga dengan tegas menerapkan tarif yang sama terhadap produk AS. Ini membuat Presiden Trump, segera menaikkan menjadi 104%. Bahkan, China diancam dengan kenaikan hingga 245%. China pun menanggapi dengan tarif balasan 125%. Hal ini menunjukkan terjadinya perang dagang AS versus China dalam konstelasi internasional. Negara-negara yang lain pun akan terkena dampak luas dari perang dagang ini dan berpotensi merugikan kesejahteraan negara-negara, termasuk negara-negara Islam.
Jika kita berkaca pada Islam, maka kita dapati ada pengaturan ekonomi Islam terkait kebijakan perdagangan luar negeri. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Islam memandang urusan luar negeri pada prinsipnya adalah dakwah, begitupun dalam perdagangan dengan kebijakan satu pintu, yaitu Departemen Luar Negeri. Hukum Islam menjadi dasar kebijakannya.
2. Peta geopolitik dunia dalam kacamata Islam dibagi menjadi dua, yaitu darul Islam/Khilafah dan darul kufr (ada kafir harbi fi’lan/yang terang memusuhi Islam dan ada kafir harbi hukman/yang tidak nyata memerangi tapi berpotensi menyerang). Yang dibolehkan adalah mengikat perjanjian dengan darul kufr hukman. Sedangkan darul kufr fi'lan diharamkan.
3. Terkait ekspor, warga muslim atau kafir dzimmi (kafir yang menjadi warga Khilafah) dilarang menjual hal-hal strategis seperti senjata, sistem komunikasi, dan alat-alat berat kepada negara dan perusahaan ke negara/perusahaan/warga negara darul kufr. Jika tidak strategis, maka dibolehkan selama tidak membahayakan ketahanan ekonomi Khilafah.
4. Terkait impor, warga muslim atau kafir dzimmi dilarang hubungan dagang dengan negara kafir harbi fi’lan. Namun, terhadap kafir mu’ahadah (negeri kafir harbi hukman yang mengikat perjanjian dengan Khilafah), maka dibolehkan sesuai perjanjian yang disepakati dan tetap tidak boleh mengimpor persenjataan juga alat strategis pertahanan dari Khilafah.
Sistem ekonomi Islam ini hanya bisa diterapkan secara sempurna dengan penegakan darul Islam/Khilafah. Kini, yang ada adalah negeri-negeri yang terpecah belah, termasuk negeri muslim seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Saudi, Palestina, Qatar, dan lain sebagainya.
Ketika Khilafah tegak, maka negeri-negeri muslim akan bergabung menjadi satu kekuatan besar, tidak hanya aspek ekonomi tapi dari aspek politik , militer, dan lainnya. Dengan begitu, akan mampu menghadapi perang dagang internasional.
Saat ini negeri-negeri muslim menguasai 60% cadangan minyak, 49% boron, 50% fosfat, 27% strontium, 22% timah, dan uranium. Dari segi populasi, sebanyak 2 milyar jiwa, memiliki usia produktif dan tenaga ahli. Mesir misalnya, memiliki lebih dari 500 ribu ilmuwan dan insinyur 330 ribu, Turki memiliki 330 ribu, Malaysia memiliki 300 ribu, Pakistan memiliki 140 ribu, Indonesia memiliki 100 ribu, dan lain-lain. Umat Islam juga memiliki angkatan bersenjata, pangkalan militer, dan persenjataan yang luar biasa, jika dikumpulkan menjadi satu. Potensi agrikultur, laut, dan posisi geostrategis di middle east route juga akan mendukung kekuatan Daulah Islam sebagai negara yang mampu bersaing dengan negara besar lainnya seperti AS dan China.
Oleh karenanya, berbicara kebijakan perdagangan internasional saat ini, bukan saatnya kita memilih mengikuti AS atau China, tetapi saatnya kita bersatu untuk menyongsong persatuan negeri-negeri muslim dalam naungan khilafah. Allahu Akbar. Wallahu a’lam bishshawab. [US]
Baca juga:

0 Comments: