Headlines
Loading...
Banjir Pamekasan, Dampak Lingkungan yang Terlupakan

Banjir Pamekasan, Dampak Lingkungan yang Terlupakan


Oleh. Putri 
(Aktivis Dakwah)

SSCQMedia.Com—Ketika air meluap dan jalanan berubah menjadi sungai, kita sering kali menuding cuaca sebagai tersangka utama. Tapi sesungguhnya, bencana seperti banjir bukan hanya kisah tentang hujan deras, melainkan juga tentang lupa menjaga, abai merawat, dan terlalu percaya bahwa alam akan terus mengalah. Banjir yang melanda Pamekasan pada Mei 2025 ini, adalah cermin dari semua itu.


Hujan memang turun deras pada 11 Mei 2025, dan dalam hitungan jam, beberapa sungai di Pamekasan seperti Sungai Jombang dan Semajid meluap. Namun bukan itu satu-satunya alasan ribuan rumah terendam dan nyawa manusia melayang. Sebanyak 1.475 kepala keluarga terdampak, dan satu nenek berusia 80 tahun ditemukan meninggal setelah terseret arus deras. Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bahkan hilang saat bermain di tengah guyuran hujan. Banjir ini tidak sekadar peristiwa alam, ia adalah peringatan keras dari lingkungan yang terus kita abaikan.


Penyebab banjir Pamekasan bukan hanya derasnya hujan, melainkan rusaknya sistem penyangga alam yang mestinya melindungi kota. Pendangkalan sungai, penyempitan aliran air oleh bangunan liar, dan tumpukan sampah yang menyumbat saluran drainase menjadi alasan utama air meluber ke mana-mana. Bahkan aktivitas galian C ilegal,  alih fungsi lahan hijau menjadi pemukiman dan perdagangan telah memperparah kerusakan tersebut. Ironisnya, semua itu dilakukan atas nama pembangunan.


Banjir ini juga memperlihatkan betapa rapuhnya sistem pengelolaan risiko bencana di daerah. Tak banyak kolam retensi, tidak ada sistem peringatan dini yang efektif, dan infrastruktur drainase belum memadai untuk kota yang makin padat. Di sisi lain, kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan turut memperparah keadaan.


Kita sering merasa bencana adalah takdir. Padahal, dalam banyak kasus, bencana adalah akumulasi dari keputusan-keputusan salah yang diambil manusia secara kolektif. Banjir Pamekasan adalah akibat dari kurangnya kesadaran ekologis dan lemahnya penegakan aturan lingkungan. Jika tidak berubah, hal serupa akan terjadi lagi, mungkin lebih parah.


Sebagai umat Islam, kita harus menyadari bahwa menjaga alam adalah bagian dari ketaatan kepada Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi karena ulah tangan manusia (QS. Ar-Rum: 41). Maka, solusi dari bencana seperti ini bukan hanya soal teknis infrastruktur atau kebijakan, tapi juga soal kembali kepada aturan Allah dalam mengelola bumi ini.


Islam telah mengatur agar manusia tidak berlebihan dalam mengeksploitasi alam (QS. Al-A’raf: 31), menjaga keseimbangan (mīzān) dalam ciptaan Allah (QS. Ar-Rahman: 7-9), dan melarang perusakan setelah perbaikan (QS. Al-A’raf: 56). Artinya, pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan seharusnya menjadi bagian dari ibadah kita sebagai Muslim.


Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan tak bisa lagi bersifat tambal sulam. Pemerintah harus menata kembali tata ruang, menindak tegas penambangan ilegal, memperbaiki drainase, dan membangun kesadaran masyarakat sejak dini. Di sisi lain, umat Islam perlu kembali menegakkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam mengelola alam,  bukan hanya karena itu baik, tapi karena itu perintah Rabb kita.


Banjir Mei 2025 harus menjadi pelajaran, bukan sekadar headline. Karena saat bumi berbicara melalui air bah, itu artinya kita sudah terlalu lama diam. Dan sebelum kita menyalahkan langit karena menurunkan hujan, mari kita tanya diri sendiri: apakah kita sudah cukup menjaga bumi seperti yang Allah perintahkan? [ry].

Baca juga:

0 Comments: