Praktik Ribawi, Antara Kebutuhan dan Gaya Hidup
Oleh. Resti Ummu Faeyza
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak akhir 2024 hingga di awal 2025 membuat turunnya daya beli masyarakat di awal kuartal 2025 ini. Masyarakat makin susah. Terlebih masyarakat baru saja melaksanakan Idulfitri. Harga kebutuhan yang terlanjur naik, susah untuk kembali turun.
Hal ini dapat dibuktikan dari adanya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) saat ini yang turun selama tiga bulan berturut-turut hingga menyentuh level 121,1 pada Maret 2025. Seluruh sub-komponen dalam IKK yang mengalami penurunan, salah satu yang paling mencolok adalah indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja yang anjlok 8,3 poin menjadi 125,9. Adapun indeks ketersediaan lapangan kerja saat ini juga turun mendekati ambang netral 100, yakni ke posisi 100,3. Sehingga penurunan daya beli masyarakat memang terjadi secara sistematis (kompas.com, 16-4-2025).
Namun, masyarakat tetap harus memenuhi segala bentuk kebutuhan hidupnya. Hal ini menjadi kesempatan bagi sebagian pemilik modal untuk dapat memberikan cara praktis bagi masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Cara tersebut tidak lain adalah dengan mengadakan pinjaman-pinjaman berbasis ribawi. Tentu saja hal ini ibarat menemukan air di padang pasir. Masyarakat tidak sedikit yang mengajukan pinjaman. Apalagi dalam hal untuk memenuhi kebutuhan utama mereka, bahkan hal ini sudah menjadi desakan yang luar biasa.
Tetapi sayangnya, masyarakat hari ini juga memiliki tuntutan untuk mengikuti gaya hidup yang rata-rata di atas standar. Akhirnya banyak juga masyarakat yang berutang hanya untuk memenuhi gaya hidupnya. Apalagi hari ini ada sistem pembayaran digital yang disebut dengan pay later (bayar nanti). Hal ini dianggap menguntungkan masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Februari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut pay later di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun (Liputan6.com, 11-4-3025).
Angka ini sangatlah besar. Ini bukanlah angka pemasukan, melainkan utang yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Miris bukan?
Sistem pembayaran yang mudah dari pay later dan transaksinya yang bisa dilakukan secara online, tentu saja makin memudahkan masyarakat. Tanpa pertimbangan halal haram muamalahnya, masyarakat berbondong-bondong mengajukan pinjaman tersebut.
Sistem ekonomi kapitalisme sekular, memang akan melahirkan karakter manusia yang memiliki gaya hidup tinggi. Selain itu, masyarakat juga terfasilitasi oleh berbagai transaksi ribawi padahal kenyataannya justru malah menguntungkan para pemilik modal. Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya pun turut dimanfaatkan dengan sistem pembayaran ini. Padahal ujung tombak dari pemenuhan kebutuhan adalah adanya lapangan pekerjaan, sehingga masyarakat tidak perlu lagi mengikuti praktik-praktik ribawi yang akan menjerat dan menghilangkan keberkahan.
Peran negara dan sistem yang diembannya sangatlah penting. Karena dua hal inilah yang dapat mengatur dan mengarahkan hidup manusia agar berjalan sesuai dengan fitrah, bukan sesuai nafsu. Hari ini kita sudah melihat dengan jelas bagaimana kecacatan yang ada dalam sistem kapitalisme sekular. Hedonisme menjadi sesuatu yang dipelihara. Karena ini menjadi salah satu cara untuk para pemilik modal agar dapat memiliki keuntungan besar. Tidak lagi peduli apakah transaksi tersebut bersifat ribawi atau tidak.
Sungguh masyarakat hari ini tidak dapat diubah ke arah yang lebih baik, kecuali adanya perubahan sistem berikut aturan yang solutif, sesuai dengan fitrah mereka sebagai manusia. Sistem tersebut harus lahir dari Sang Pencipta yang menguasai langit dan bumi. Yakni sistem Islam, dibawah kepemimpinan pemerintahan Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu'alam. [ry].
Baca juga:

0 Comments: