Headlines
Loading...
Penjajahan Disamarkan sebagai Kemanusiaan, Pengkhianatan Dibungkus Retorika Diplomasi

Penjajahan Disamarkan sebagai Kemanusiaan, Pengkhianatan Dibungkus Retorika Diplomasi

Oleh. Novi Ummu Mafa
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Pernyataan kesiapan Indonesia untuk menampung ribuan warga Gaza yang menjadi korban kekejaman militer Isr4el telah disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto. Indonesia siap mengevakuasi warga Gaza sebagai respon atas berbagai permintaan agar Indonesia lebih aktif dalam penyelesaian konflik Gaza. Ditegaskan pula bahwa tanggung jawab moral dan politik tetap diemban oleh Indonesia, mengingat posisinya sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia serta sebagai negara nonblok yang diterima oleh berbagai pihak yang berseteru, meskipun secara geografis Indonesia berada jauh dari Palestina (beritasatu.com, 9/4/2025).

Sekilas, langkah ini tampak sebagai bentuk solidaritas dan kemanusiaan. Namun, jika dianalisis lebih dalam dari sudut pandang ideologis dan geopolitik, kebijakan ini sesungguhnya merupakan bagian dari jebakan sistem global kapitalistik yang justru memuluskan agenda penjajahan zionis atas tanah suci Palestina. Ini bukan bentuk solidaritas, melainkan bentuk pengkhianatan terselubung yang memperlihatkan kegagalan struktural sistem demokrasi sekuler dalam menyelesaikan akar masalah penjajahan.

Langkah evakuasi ini justru sejalan dengan narasi etnis cleansing yang telah lama dirancang oleh entitas Zionis. Evakuasi bukanlah penyelamatan, melainkan pengusiran terselubung. Alih-alih menghentikan agresi, kebijakan ini menormalisasi pendudukan dan memperkuat posisi penjajah dengan menghilangkan eksistensi rakyat Palestina dari tanahnya sendiri. Inilah absurditas dunia hari ini, di mana penjajahan disamarkan sebagai kemanusiaan, dan pengkhianatan dibungkus retorika diplomasi.

Demokrasi: Sistem Pengkhianat Umat

Kebijakan evakuasi warga Gaza tidak bisa dilepaskan dari sistem yang menaunginya, yakni: sistem  demokrasi sekuler liberal. Demokrasi hari ini bukanlah sistem yang lahir dari aspirasi umat, tetapi produk kompromi kepentingan asing, korporasi global, dan elit kekuasaan.

Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar di dunia muslim, telah lama kehilangan kedaulatannya. Hal ini dikarenakan adanya ketergantungan pada relasi dagang, utang luar negeri, dan tekanan geopolitik dari negara-negara imperialis.

Fakta bahwa pernyataan evakuasi ini muncul di tengah tekanan tarif impor dari Amerika Serikat membuka tabir bahwa keputusan tersebut bukan murni atas dasar kemanusiaan, melainkan hasil tawar-menawar politik internasional. Ini menunjukkan bahwa dalam demokrasi, prinsip dan moralitas dikorbankan demi stabilitas relasi ekonomi dan politik global. Indonesia tidak berdiri sebagai bangsa merdeka, melainkan sebagai satelit yang tunduk pada hegemoni asing. Inilah buah pahit dari sistem yang menuhankan rasionalitas pasar dan relativisme nilai.

Nasionalisme: Tembok Penghalang Jihad

Seruan jihad untuk membebaskan Palestina kian nyaring digaungkan oleh umat manusia baik muslim maupun nonmuslim di seluruh penjuru dunia. Namun, hanya respon pasif dari para penguasa negeri-negeri muslim. Para penguasa menutup telinga dan berlindung di balik tembok nasionalisme yang sempit, mengklaim bahwa urusan Palestina adalah “bukan urusan kita”.

Di sinilah kita melihat betapa nasionalisme modern warisan kolonialisme, telah menjadi penghalang utama dalam membangun solidaritas Islam transnasional. Padahal, darah seorang nuslim adalah darah kita semua, penderitaannya adalah tanggung jawab kita bersama.

Sikap para pemimpin negeri-negeri muslim hari ini bukanlah sikap kepemimpinan, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap akidah dan ukhuah Islamiah. Mereka lebih takut pada sanksi internasional daripada pada murka Allah. Mereka lebih setia pada Piagam PBB daripada Al-Qur’an dan Sunah. Mereka adalah produk sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, dan menjadikan Islam sekadar simbol kosong dalam upacara seremonial.

Solusi Hakiki: Jihad dan Khilafah

Tidak ada solusi bagi Palestina dalam kerangka sistem internasional yang eksis saat ini. Dewan Keamanan PBB telah terbukti impotensinya. Negara-negara Arab hanya menjadi penonton, sebagian bahkan bersekongkol dengan musuh. Maka, solusi hakiki hanya ada pada dua pilihan yaitu jihad dan Khilafah.

Jihad adalah satu-satunya jalan membebaskan bumi para nabi dari cengkeraman penjajah. Bukan diplomasi, bukan boikot setengah hati, bukan pula evakuasi yang menguntungkan musuh. Dan jihad sejati tidak akan pernah terwujud tanpa institusi politik yang menjadi pelindung dan pengorganisir umat yaitu sistem kepemimpinan Islam dalam naungan Khilafah. Sebuah negara adidaya Islam yang memimpin dunia dengan syariat, membela kaum muslimin di seluruh penjuru bumi, dan menerapkan keadilan sejati sebagai rahmat bagi alam semesta.

Khilafah bukan utopia, tetapi keniscayaan yang dijanjikan dalam nas-nas syarak. Umat hari ini harus menyadari bahwa setiap bentuk keterlibatan dalam demokrasi hanya akan melanggengkan sistem kufur ini. Maka, arah perjuangan harus digeser, dari reformasi dalam sistem menuju transformasi total atas sistem. Dari ilusi parlemen menuju realitas Khilafah. Dari kompromi diplomatik menuju konfrontasi ideologis. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: