Oleh. Siti Fatima
(Kontributor SSCQMedia.Com, Mahasiswi, Aktivis Dakwah)
SSCQMedia.Com—Tak ada jeda bagi Israel dalam membombardir Palestina. Gencatan senjata yang digaungkan sebagai angin segar pembebasan, nyatanya semu. Karena pada kenyataannya, hal itu tidak mampu menghentikan zionis Israel untuk tidak menyerang Gaza. Mereka tetap melanjutkan agresi militer dan menyerang warga Gaza tanpa belas kasihan.
Pada Rabu, 2/4/2025, Israel mengumumkan perluasan besar operasi militer di Gaza dengan mengatakan bahwa sebagian besar wilayah kantong itu akan direbut dan ditambahkan ke zona keamanan, disertai dengan evakuasi penduduk dalam skala besar. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan pasukan merebut wilayah yang disebutnya Poros Morag, merujuk pada bekas pemukiman Israel yang dulunya terletak di antara kota Rafah dan Khan Younis di selatan Jalur Gaza, sekitar 3–4 kilometer dari perbatasan selatan (news.okezone.com, 3-04-2025).
Israel terus menunjukkan taringnya, yang menandakan tabiat dan keinginan kuat mereka atas Gaza. Gencatan senjata sebelumnya tidak lantas mengendurkan serangannya, tetapi sebaliknya semakin agresif dengan dalih memperluas zona keamanan. Faktanya, ini bukan tentang keamanan tapi tentang bagaimana mereka ingin menghabisi Palestina secara perlahan tapi pasti.
Warga Gaza yang sudah kehilangan segalanya, dan kini mereka kembali terancam tidak punya tempat lagi untuk lari. Israel seolah ingin tidak memberikan tempat bagi Palestina untuk hidup. Hal ini menunjukkan bahwa Israel benar-benar ingin menyingkirkan Palestina.
Dari segi kemanusiaan, perluasan operasi militer ini berisiko memperburuk penderitaan rakyat Palestina. Rumah-rumah dihancurkan, fasilitas kesehatan diserang, dan akses bantuan makin terbatas. Setiap serangan yang dilakukan Israel memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah terjadi lebih dari tujuh dekade. Tak ada tanda-tanda perubahan yang berarti, tetapi malah makin memburuk.
Tragisnya, pengumuman perluasan wilayah ini terjadi masih dalam suasana lebaran. Hari di mana seharusnya menjadi hari bahagia bagi warga Gaza setelah satu bulan lamanya mereka menjalankan puasa. Rakyat Palestina tidak diberikan ketenangan sedetik pun.
Rakyat Gaza merayakan Idulftri dengan tangis dan do’a di antara puing-puing bangunan yang runtuh. Tidak ada makanan lezat, tidak ada kebahagiaan. Yang ada hanyalah rasa kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Rakyat Gaza hanya bisa mengunjungi makam keluarga mereka yang gugur akibat serangan brutal Israel laknatullah. Anak-anak yang seharusnya gembira dan senyum kebahagiaan terukir di wajah mereka, namun nyatanya di hari raya, justru harus berjuang untuk bertahan hidup.
Yang lebih menyakitkan lagi saat melihat kenyataan bahwa dunia terus membisu. Para pemimpin dunia, organisasi internasional dan negara-negara yang mengaku membela hak asasi manusia, nyatanya hanya bisa memberikan kecaman tanpa tindakan nyata. Pertanyaannya, sampai kapan dunia ini akan terus bungkam? Sampai kapan umat muslim hanya akan menjadi penonton saudaranya yang dibantai habis-habisan tanpa perlawanan yang sepadan?
Tidak terketukkah hati kita? Melihat bom, bangunan hancur, darah, anak-anak dibunuh, perempuan dilecehkan, nyawa yang terenggut kian hari kian bertambah, banyak yang kehilangan keluarganya, hidup tidak tenang, tidak bisa bebas, tidak punya tempat tinggal bahkan makan pun kadang mereka tidak bisa. Ke manakah kita yang tetap tenang melihat semua ketidakadilan ini terjadi? Apakah nurani kita telah mati?
Sungguh, paham nasionalisme (nation state) telah mencabik tubuh dan perasaan seluruh kaum muslimin. Telah menjadi tembok tebal yang memisahkan antara kaum muslim yang satu dengan yang lain. Selama paham ini tetap dipelihara dalam tubuh kaum muslimin, maka persatuan umat mustahil terjadi.
Sistem yang ada hari, yakni sistem kapitalisme justru menumbuhsuburkan pemahaman kebangsaan ini. Umat telah dipisahkan hanya dengan secarik bendera-bendera kecil yang kemudian menjadi kebanggaan masing-masing wilayah. Sehingga, umat hanya akan bersimpati dan empati bila ketidakadilan dan penjajahan ada di wilayah mereka sendiri, tidak pada yang lain. Sungguh sangat mengiris hati!
Maka wajar, dengan penerapan sistem kapitalisme sekuler, tragedi ini terus berulang. Hal ini menunjukkan bahwa dunia tidak benar-benar peduli pada Palestina, kecuali jika umat Islam sendiri yang bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Umat Islam harus sadar bahwa penderitaan rakyat Palestina bukan hanya sekadar isu kemanusiaan, tetapi juga ujian bagi seluruh kaum muslim.
Kita tidak cukup hanya berdoa dan berharap pada solusi yang ditawarkan oleh dunia Barat. Kita tahu bahwa solusi yang ditawarkan terus saja menguntungkan Israel, bahkan gencatan senjata nyatanya tidak ada artinya bagi Israel. Mereka terus melancarkan aksinya karena tujuan mereka belum tercapai. Maka apakah seperti ini yang akan terus kita harapkan?
Sudah saatnya umat Islam mengambil langkah nyata dengan bersatu dan menegakkan sistem yang benar-benar bisa melindungi kaum muslim dari kezaliman. Islam pernah bersatu dan berjaya, tetapi terpecah menjadi negara-negara kecil, sebab tipu muslihat Barat yang membenci Islam. Saatnya kita kembali pada fitrah menegakkan aturan Islam secara komprehensif, meniti kembali bagaimana teladan kita, yakni Rasulullah dalam membawa Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek kehidupan kita bahkan sampai tataran politik dan negara.
Palestina tidak akan pernah benar-benar merdeka jika hanya mengandalkan negosiasi yang tidak pernah adil. Dibutuhkan kekuatan yang lebih besar untuk benar-benar membebaskan Palestina dari penjajahan yang sudah berlangsung puluhan tahun. Jika umat Islam terus terpecah dalam batas nasionalisme, selama itu pula negara-negara muslim hanya bisa mengecam tanpa ada tindakan nyata.
Maka, penting bagi umat Islam memiliki kepemimpinan kuat yang menyatukan seluruh umat Islam di dunia di bawah naungan Khilafah rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika umat Islam bersatu di bawah satu kepimpinan yaitu Khilafah Islamiyah, seperti pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, Al-Aqsa berhasil dibebaskan dari ancaman musuh.
Selama institusi penting ini belum tegak, maka menjadi kewajiban bagi seluruh kaum muslimin untuk memperjuangkannya. Karena hanya dengan tegaknya Khilafahlah kaum muslimin yang mengalami penindasan dapat dibebaskan. []
Baca juga:

0 Comments: