Evakuasi Rakyat Gaza, Karpet Merah untuk Penjajah
Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Kontributor SSCQMedia.Com, Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Sejumlah kritik disampaikan terhadap Presiden Prabowo terkait keputusannya ingin membawa warga Gaza Palestina ke Indonesia. Dalam langkahnya tersebut Prabowo menegaskan kesungguhannya dengan merencanakan pengiriman pesawat khusus.
Prabowo juga meyakinkan bahwa Indonesia masih memiliki tanggung jawab moral dan politik dalam penyelesaian konflik di Gaza. Menurutnya, evakuasi warga Palestina ke Indonesia bersifat sementara hingga situasi di Gaza membaik, sambil tetap berkomitmen mendorong penyelesaian konflik Palestina-Israel pada solusi dua negara (beritasatu.com/internasional, 9/5/2025).
Kritik yang dilontarkan oleh masyarakat Indonesia terhadap rencana Presiden Prabowo untuk membawa ribuan warga Gaza Palestina ke Indonesia bukan disebabkan oleh ketidaksukaan atau penolakan terhadap kehadiran warga palestina di Indonesia. Namun, kritik itu timbul karena adanya kekhawatiran bahwa rencana tersebut dimanfaatkan oleh Amerika Serikat dan zionis Yahudi untuk memperkuat dominasi mereka di Palestina.
Mengingat Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini mengekspresikan keinginannya untuk menguasai Gaza dan mengubahnya menjadi "Riviera of The Middle East", disertai keinginannya untuk memindahkan warga Palestina ke negara-negara lain. Hal ini berarti bahwa keputusan Prabowo mengevakuasi warga Gaza, sejalan dengan tujuan para penjajah tersebut.
Meskipun Presiden Prabowo menyatakan bahwa keputusannya adalah untuk menunjukkan kepedulian, tapi langkah besar seperti evakuasi ini tidak bisa hanya didasari niat baik semata, harus mempertimbangkan dengan bijak dan cermat agar langkah evakuasi masyarakat Gaza tidak menjadi kesempatan bagi Amerika Serikat dan Israel untuk mencapai tujuan mereka.
Ironisnya, dalam pembahasan mengenai penyelesaian masalah Palestina, baik di kalangan umat Islam maupun pemimpin dunia, seringkali terjebak pada konsep solusi dua negara. Padahal, gagasan tersebut tidak lebih dari tipu daya barat dan tidak akan mampu menciptakan perdamaian yang substansial.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa akar masalah konflik antara Palestina dan Israel berasal dari ambisi zionis Yahudi untuk menguasai tanah Palestina yang kemudian mendapat dukungan dari Inggris hingga berlanjut pada tahun 1948 ketika negara Israel didirikan secara ilegal di tanah Palestina yang merdeka dengan restu dari Amerika Serikat dan PBB.
Sejak saat itu, pemusnahan terhadap warga Palestina terus terjadi, melalui pembantaian dan berbagai pengusiran hingga penghancuran bangunan yang dilakukan oleh zionis Yahudi hingga nyaris menjadikan Palestina hampir rata dengan tanah. Di sisi lain, pemukiman Israel terus berkembang tanpa protes dari dunia internasional, serta bungkamnya negara-negara muslim yang enggan melibatkan diri untuk memerdekakan Al-Quds karena ketakutannya terhadap Amerika. Akibatnya, Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat, menjadi terisolasi bak penjara terbesar di dunia.
Jadi, bagaimana mungkin rakyat Palestina bersedia berbagi hak milik mereka kepada penjajah yang dengan sengaja merampasnya? Dan mengapa umat Islam dan para pemimpin masih saja terpengaruh oleh propaganda Barat tentang solusi dua negara?
Adapun berbagai upaya seperti gencatan senjata yang kerap dilakukan, tidak pernah berlaku bagi zionis Yahudi. Hal itu terbukti dari berulang kali mereka melanggar perjanjian. Zionis Yahudi secara membabi buta terus membantai warga Palestina hingga lebih dari 50 ribu nyawa muslim di Palestina melayang. Apakah tindakan keji yang telah nyata-nyata di depan mata tersebut tidak mampu menyadarkan kita bahwa zionis Yahudi tidak dapat memahami moralitas kemanusiaan?
Memang sangat menyedihkan, meski Indonesia maupun negara-negara muslim lainnya memiliki tentara dan persenjataan yang cukup untuk mengakhiri penindasan tersebut. Namun, semua itu hanya cukup dijadikan pajangan saja, karena adanya berbagai aturan internasional yang membatasinya, misalnya aturan non-intervensi tanpa konsensus atau mandat internasional menjadi hambatan bagi negara-negara lain untuk terlibat secara militer di Palestina.
Namun sebaliknya, para penjajah dengan mudah mendapatkan bantuan, karena mereka atau pendukung mereka pembuat aturan-aturan tersebut. Misalnya ketika Amerika Serikat maupun Eropa dapat dengan bebas melegitimasi genosida brutal yang dilakukan oleh zionis Yahudi di Gaza dengan alasan balasan terhadap serangan Hamas. Meski pada kenyataannya, Hamas hanya mempertahankan diri dari okupasi dan pembantaian yang rutin dilakukan oleh sekutu erat Amerika Serikat tersebut. Maka, sungguh ironis, ketika masih ada orang-orang, terutama pemimpin muslim yang menggantungkan harapan pada solusi barat untuk menyelesaikan masalah Palestina.
Terlebih dalam pandangan Islam, Palestina adalah tanah suci yang tidak boleh diserahkan kepada pihak asing, baik itu penjajah maupun kafir, tanpa alasan yang jelas. Tanah Palestina juga telah dibebaskan dari penjajahan sebelumnya oleh banyak syuhada misalnya seperti Saifuddin al-Quttus dari invasi Mongol, atau ketika dibebaskan kembali oleh Sholahudin al Ayubi dari serangan Salibis. Hingga yang terakhir adalah peran besar Khalifah Utsmaniyah Abdul Hamid Khan dalam menjaga Palestina dari upaya aneksasi Theodor Herzl, pendiri Zionisme.
Oleh karena itu, jika pemerintah Indonesia sungguh-sungguh peduli dan merasa memiliki tanggung jawab moral atas Palestina, sepatutnya pemerintah Indonesia mendukung rakyat Palestina dalam perlawanan mereka terhadap zionis Yahudi dengan segala cara yang kita miliki. Bukan sebaliknya, dengan mengevakuasi rakyat Palestina dari tanah air mereka karena itu sama saja dengan menggelar karpet merah bagi para penjajah.
Namun, akibat ketiadaan seorang khalifah dan kekuatan Khilafah, membuat umat Islam terpecah belah dan lemah, karena tidak ada yang bisa menyatukan mereka dalam semangat jihad untuk membebaskan Al-Quds maupun wilayah-wilayah muslim lainnya yang masih terjajah. Khilafah tidak akan tunduk pada Barat sebab hanya akan menerapkan hukum Al-Qur'an dan Sunah. Dan Khilafah juga yang akan dapat menyatukan seluruh potensi umat Islam, memobilisasi seluruh kekuatan, termasuk militer, untuk berjihad membebaskan Palestina. Oleh karena itu, mengembalikan institusi Khilafah dan jihad sepatutnya menjadi satu-satunya solusi, sekaligus prioritas utama untuk menyelesaikan masalah di Palestina.
Wallahualam bissawab. [An]
Baca juga:

0 Comments: