Headlines
Loading...
Daya Beli Masyarakat Menurun, Sinyal Paceklik Ekonomi

Daya Beli Masyarakat Menurun, Sinyal Paceklik Ekonomi

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Kontributor SSCQMedia.Com, Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.Com—Harus diakui bahwa situasi ekonomi belakangan ini telah menimbulkan tekanan besar bagi masyarakat luas. Hal tersebut terlihat jelas dari meredupnya berbagai aspek yang terpengaruh, tidak hanya pada sektor-sektor tertentu, tetapi juga memberikan imbas pada ekonomi secara keseluruhan. Salah satu tantangan yang signifikan adalah penurunan daya beli, yang menjadi persoalan serius dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Sebagaimana yang terjadi pada Ramadan dan Idulfitri 2025, yang kerap dianggap sebagai musim panen bagi para pedagang, ternyata mengecewakan, hingga mereka mengeluhkan penurunan omzet yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Eli, seorang pedagang yang berjualan di area tersebut mengungkapkan, bahwa meskipun jumlah pengunjung cukup banyak selama bulan puasa hingga perayaan Lebaran, namun daya beli masyarakat mengalami penurunan yang drastis. Menurutnya, penurunan omzet mencapai angka 30-35 persen (metrotvnews.com, 10/4/2025).

Sesungguhnya daya beli masyarakat mencerminkan kondisi ekonomi sebuah negara secara menyeluruh. Karena meningkatnya daya beli dapat menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi, mengingat permintaan terhadap barang dan jasa terus meningkat. Sebaliknya, penurunan daya beli bisa berdampak pada penurunan produksi hingga berpotensi  memperburuk tingkat pengangguran dan stabilitas keuangan negara tersebut.

Sebagaimana yang tengah terjadi, dampak dari kenaikan PPN sebesar 12% di awal tahun di Indonesia harus diperhatikan secara serius, karena berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa. Para ahli ekonomi telah memperingatkan tentang kemungkinan terjadinya paceklik ekonomi akibat kebijakan ini. Selain itu, kebijakan penghematan anggaran dan efisiensi, bersama dengan lonjakan kasus PHK belakangan ini, telah menyebabkan banyak pekerja kehilangan pekerjaan, sementara tingkat pinjaman online yang tinggi semakin memperburuk situasi.

Faktor-faktor ini mengungkapkan kelemahan kapitalisme dalam menjaga daya beli masyarakat. Terlebih dengan adanya kenaikan pajak, yang dapat menjadi beban ekstra bagi masyarakat, khususnya golongan ekonomi menengah ke bawah, sehingga memberi dampak pada berkurangnya daya beli mereka. Selain itu, gelombang PHK secara besar-besaran juga dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi di masyarakat, karena situasi ini dapat meningkatkan tingkat pengangguran yang kemudian langsung memengaruhi kemampuan belanja masyarakat.

Di sisi lain, masalah riba juga menjadi hambatan dalam menjaga daya beli masyarakat. Berbagai praktik riba atau sistem bunga dalam sektor keuangan kapitalis kian memberatkan masyarakat, sebab mereka tidak hanya membayar utang pokok, melainkan bunga dan denda.

Selain kian memperdalam kesenjangan ekonomi antara individu yang memiliki akses terhadap modal dan mereka yang tidak, kemiskinan sistemik juga menjadi dampak nyata dari sistem kapitalisme. Sebab kekayaan cenderung terpusat pada segelintir individu atau korporasi yang mendapat keuntungan besar dari struktur ini, sementara mayoritas masyarakat hanya mendapatkan bagian kecil dari keuntungan ekonomi yang dihasilkan.

Dalam konteks ekonomi kapitalisme, pajak menjadi tak ubahnya seperti urat nadi, sehingga menjadi instrumen vital bagi negara. Selain itu, dalam sistem ini, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dapat diprivatisasi dan diserahkan kepada pihak swasta yang menyebabkan negara kehilangan pendapatan yang signifikan. Sehingga pajak dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus dibebankan kepada rakyat untuk menjamin keberlangsungan negara dan pembiayaan berbagai layanan masyarakat. Dengan kata lain, rakyat wajib membayar yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara seperti penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara dalam sistem kapitalisme tidak sepenuhnya menjalankan perannya sebagai pengurus rakyat, tetapi lebih berfungsi sebagai fasilitator dan regulator yang cenderung melayani kepentingan para pemilik modal.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam (Khilafah) yang memiliki sumber pendapatan yang beragam secara syariat, seperti zakat, fai, ghanimah, jizyah, dan lainnya. Semua harta tersebut dialokasikan ke dalam baitulmal yang selanjutnya dikelola secara adil untuk kepentingan bersama, seperti pembangunan pusat pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam sistem Khilafah, kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, sandang, dan papan dapat terpenuhi, sementara layanan pendidikan dan kesehatan disediakan secara gratis. Khilafah juga menciptakan lapangan kerja yang luas dan memberikan kesempatan kerja yang sama bagi seluruh warga, terutama laki-laki dewasa yang mampu bekerja, sehingga mereka dapat memberikan nafkah yang layak bagi keluarga mereka.

Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, prinsip-prinsip ekonomi ditata dengan jelas mengenai kepemilikan harta, pengelolaan yang syar'i, distribusi kekayaan yang adil, peningkatan sektor riil yang tidak eksploitatif, sehingga menjaga stabilitas aktivitas ekonomi masyarakat. Hal ini berujung pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan daya beli mereka. Wallahualam. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: