Kecelakaan Berulang, Keuntungan Korporasi Membayang?
Oleh. Tri Widarti S.Pd.I
(Kontributor SSCQMedia.Com, Esais dan Analis Pemikiran Islam)
SSCQMedia.Com—Kecelakaan lalu lintas di Indonesia terus menunjukkan wajah muramnya. Jalan tol yang seharusnya menjadi jalur aman bagi para pengendara justru sering berubah menjadi panggung tragedi yang merenggut nyawa. Insiden terbaru di Gerbang Tol Ciawi 2 pada Selasa 4 Februari 2025, sekitar pukul 22.30 (kompas.com) kembali menambah daftar panjang kecelakaan maut yang kerap terjadi akibat rem blong.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pun mengeluhkan kesulitan dalam menyingkap tabir penyebab kecelakaan karena minimnya data teknis kendaraan. Di sisi lain, pengamat menyoroti kesejahteraan sopir truk yang jauh tertinggal dibandingkan profesi lain, seperti pilot, yang memiliki regulasi ketat terkait jam kerja dan kesejahteraan.
Kondisi jalan yang seharusnya membuat para pengendara aman justru menjadi saksi bisu dari kelalaian yang berulang. Setiap tikungan dan rambu seakan berteriak mengingatkan, tetapi siapa yang benar-benar mendengarkan?
Berulangnya kecelakaan bukan sekadar takdir buruk yang menimpa para korban, melainkan bukti nyata bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem ini. Kapabilitas pengemudi yang rendah, kendaraan yang dibiarkan melaju tanpa pemeriksaan rutin, serta lemahnya regulasi menjadi benang kusut yang tak kunjung terurai. Truk-truk berat yang seharusnya diawasi ketat malah melintas dengan beban berlebih, seperti kuda yang dipaksa berlari tanpa henti hingga akhirnya roboh kelelahan.
Di balik setiap kecelakaan yang terjadi, ada wajah kapitalisme yang tersenyum puas. Sistem ini tak peduli pada rintihan keluarga korban, karena yang lebih penting adalah keuntungan yang terus mengalir. Negara yang seharusnya menjadi perisai bagi rakyatnya justru berperan sebagai fasilitator bisnis, memastikan bahwa perusahaan jalan tol, produsen kendaraan, dan korporasi logistik dapat terus meraup keuntungan. Truk-truk tua yang seharusnya sudah pensiun tetap dibiarkan berkeliaran, asalkan roda bisnis terus berputar. Keselamatan di jalan pun menjadi barang mahal yang hanya bisa dinikmati segelintir orang, sementara masyarakat luas harus bertaruh nyawa setiap kali melintasi aspal yang penuh jebakan.
Laporan dari Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, lebih dari 220.000 kecelakaan terjadi di Indonesia, dengan korban meninggal mencapai 27.000 jiwa. Sepeda motor menjadi penyumbang terbesar dengan lebih dari 169.000 kasus, diikuti oleh truk sebanyak 22.609 kasus, dan bus sebanyak 17.651 kasus. Faktor utama kecelakaan ini adalah kelalaian manusia yang mencapai 61%, sementara faktor prasarana dan lingkungan menyumbang 30%, dan kondisi kendaraan hanya 9%. Angka ini bukan sekadar statistik mati, tetapi nyawa-nyawa yang hilang, harapan yang pupus, dan keluarga yang ditinggalkan dalam duka mendalam (Otomotif.kompas.com, 19/12/2024).
Di balik angka-angka ini, korporasi terus berpesta pora. Perusahaan jalan tol lebih sibuk menghitung keuntungan daripada memastikan keamanan infrastruktur yang mereka kelola. Mereka berlomba-lomba membangun gerbang tol otomatis yang menghilangkan interaksi manusia, tetapi lupa bahwa dengan menghapus titik pemeriksaan manual, mereka juga menghapus kesempatan untuk memastikan kelayakan kendaraan yang melintas. Perusahaan otomotif pun menikmati regulasi yang longgar, membiarkan kendaraan dengan kualitas rendah tetap mengaspal demi mengejar target penjualan. Sementara itu, perusahaan logistik memeras tenaga pengemudi, menuntut mereka bekerja melampaui batas manusiawi, tanpa peduli pada risiko yang mengintai di setiap kilometer perjalanan mereka.
Di tengah carut-marut ini, Islam hadir sebagai sistem yang menawarkan perlindungan sejati bagi masyarakat. Negara dalam Islam tidak berperan sebagai fasilitator bisnis, melainkan sebagai ra’in—pelindung dan pengayom rakyatnya. Islam memandang bahwa jalan raya adalah bagian dari kepemilikan umum yang harus dikelola demi kemaslahatan rakyat, bukan sebagai ladang keuntungan bagi segelintir elit. Dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dijelaskan bahwa negara bertanggung jawab penuh atas infrastruktur publik, termasuk jalan dan transportasi, serta tidak boleh membiarkan kepentingan bisnis mengorbankan keselamatan rakyatnya.
Sejarah Islam telah membuktikan bagaimana sistem ini mampu menjamin keselamatan transportasi dengan baik. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, Khalifah Harun al-Rasyid membangun jaringan jalan raya yang luas dan memastikan perawatannya secara berkala. Di sepanjang jalur transportasi utama, disediakan tempat peristirahatan bagi para musafir dan pengemudi, sehingga mereka tidak dipaksa berkendara dalam keadaan lelah. Sementara itu, pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, negara memiliki lembaga khusus yang bertanggung jawab mengawasi standar keamanan kendaraan dan kesejahteraan pengemudi. Pemeriksaan kesehatan berkala diwajibkan bagi setiap sopir, dan negara memastikan mereka tidak bekerja di bawah tekanan yang membahayakan nyawa mereka maupun orang lain.
Dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa tugas negara dalam Islam bukan sekadar membuat aturan, tetapi memastikan aturan tersebut benar-benar diterapkan demi melindungi rakyat. Negara tidak akan membiarkan truk-truk bermuatan berlebih melintas hanya demi keuntungan perusahaan logistik, karena Islam menetapkan bahwa kepentingan umum lebih utama daripada keuntungan segelintir individu. Dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, beliau juga menjelaskan bahwa kesejahteraan pekerja, termasuk pengemudi, adalah bagian dari tanggung jawab negara. Negara Islam tidak akan membiarkan pengemudi bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi, karena keselamatan bukan hanya bergantung pada infrastruktur, tetapi juga pada kesejahteraan fisik dan mental pengemudinya.
Jalan raya seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap pengguna, bukan tempat yang terus-menerus menghadirkan duka. Keselamatan di jalan tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada kesadaran kolektif untuk menjaga standar keamanan, memastikan kondisi kendaraan layak jalan, serta memperhatikan kesejahteraan pengemudi. Diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk menciptakan sistem transportasi yang lebih manusiawi, sehingga risiko kecelakaan dapat ditekan semaksimal mungkin. Dengan pendekatan yang lebih berorientasi pada keselamatan dan kesejahteraan masyarakat, diharapkan setiap perjalanan bukan lagi sebuah pertaruhan nyawa, melainkan bagian dari kehidupan yang lebih nyaman dan terjamin.
Wallahu 'alam. [Rn]
Baca juga:

0 Comments: