Headlines
Loading...
Solusi Hakiki Konflik Palestina-Israel Bukan Gencatan Senjata

Solusi Hakiki Konflik Palestina-Israel Bukan Gencatan Senjata


Oleh. Rina Herlina

SSCQMedia.Com-Negosiasi terkait gencatan senjata antara pihak Israel dan Hamas di Jalur Gaza, dilaporkan berada pada tahap "kritis". Minggu (12/1/2025), delegasi Israel tiba di ibu kota Qatar, Doha. David Barnea selaku Kepala Mossad didapuk sebagai pemimpin.

Sementara itu, pada Sabtu, salah seorang sumber senior di Hamas secara eksklusif mengatakan kepada situs berbahasa Arab milik The New Arab, Al-Araby Al-Jadeed, bahwa hampir semua rincian dari "konsep akhir" kesepakatan gencatan senjata Gaza telah rampung. Masih menurut sumber tersebut, para mediator saat ini bersiap mengumumkan kesepakatan gencatan senjata, setelah delegasi Israel yang dikirim oleh sang Perdana Menteri yaitu Benjamin Netanyahu tiba, (m.tribunnews.com 13-01-2025).

Gencatan senjata hakikatnya bukanlah solusi hakiki untuk mengatasi konflik antara Palestina dan Israel. Sebab gencatan senjata hanya menghentikan sementara perang. Disamping itu gencatan senjata sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah. Gencatan senjata sejatinya hanya menunda sementara konflik, tanpa menyelesaikan penyebabnya. Padahal dalam konflik Palestina dan Israel jelas-jelas ada masalah serius yang butuh solusi menyeluruh, bukan solusi praktis.

Sebab lainnya adalah adanya ketergantungan pada kekuatan militer. Ya, gencatan senjata seringkali bergantung pada kekuatan militer, bukan diplomasi. Kerusakan infrastruktur dan ekonomi akibat konflik juga seringkali tidak bisa dielakkan. Terakhir yaitu trauma psikologis. Yang namanya konflik, tentu saja akan meninggalkan trauma psikologis pada korban. Apalagi korban di Palestina lebih banyak perempuan dan anak-anak. Sudah pasti kondisi psikologis mereka sangat rapuh dan mengenaskan.

Inilah kenapa gencatan senjata hakikatnya bukanlah solusi hakiki untuk persoalan Gaza, Palestina. Lebih dari itu, Palestina sebenarnya butuh solusi hakiki bukan solusi tambal sulam, seperti yang terus dihembuskan oleh DK PBB dan beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat.

Apalagi konflik Palestina dan Israel ini telah berlangsung cukup lama, yaitu selama lebih dari tujuh dekade. Bayangkan, tujuh dekade. Itu semua tentu saja bukanlah waktu yang sebentar, dan pasti menyebabkan penderitaan yang luas bagi penduduk Palestina.


Penderitaan yang Dialami Rakyat Palestina

Beberapa fakta terkait penderitaan yang dialami rakyat Palestina selama tujuh dekade sampai saat ini, diantaranya:

Pertama, penderitaan Penduduk Palestina yang sampai saat ini tak kunjung berakhir.

Kedua, terkait pengungsi. Ada kurang lebih 6 juta orang Palestina hidup sebagai pengungsi di berbagai negara. Ini menurut data UNRWA, 2022. Penyebabnya, tentu saja karena konflik telah membuat akses terhadap apapun menjadi sulit. contoh nyata yaitu adanya pembatasan akses ke air bersih, listrik, dan layanan kesehatan.

Ketiga, memperbanyak pengangguran. Ini seperti yang terjadi pada 2022, menurut data BPS kala itu, tingkat pengangguran di Jalur Gaza mencapai 30 persen.

Keempat, tentu saja konflik akhirnya membuat banyak angka kematian. Ya, perang tentu saja memicu banyaknya korban yang meninggal, baik dari pihak Palestina, maupun dari pihak musuk dalam hal ini Israel. Seperti yang sama-sama kita ketahui, sampai saat ini saja korban yang meninggal drai pihak Palestina sudah mencapai 44.000 lebih, terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Dengan demikian, maka benarlah ungkapan jika, "kalah jadi abu, menang jadi arang".

Kelima, trauma psikologis. Pada 2022, menurut data dari UNiCEf, sekitar 60 persen anak-anak Palestina mengalami trauma psikologis. Apalagi saat ini, konflik yang berkepanjangan telah membuat anak-anak Gaza, tidak hanya menderita psikologis, tapi juga kehilangan masa depan.


Khilafah, Solusi Hakiki Konflik Palestina-Israel

Maka dari itu, solusi untuk kemerdekaan hakiki Palestina adalah adanya institusi Khilafah dan seruan jihad, bukan gencatan senjata. Seperti pada masa keemasannya, khilafah mampu membebaskan Baitul Maqdis. Ini seperti yang terjadi pada masa kekhalifahan yang dipimpin oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Saat itu, pasukan khalifah Umar bin Khattab berhasil membebaskan Baitul Maqdis. Ini terjadi pada tahun 637 M, setelah pengepungan yang dilakukan selama enam bulan. Pengepungan ini adalah bagian dari Penaklukan Levant oleh Muslim dan Perang Arab-Byzantine. Kemudian, setelah akhirnya berhasil ditaklukan, Khalifah Umar datang langsung ke Baitul Maqdis guna menerima penyerahan kalah kota tersebut dari Patriarch Sophronius.

Sebelumnya, pasukan Muslim dipimpin oleh Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Khalid bin al-Walid, Yazid bin Abu Sufyan, Amr bin al-A'as, dan Syurahbil bin Hasanah. Mereka mengepung kota Baitul Maqdis pada bulan November 636 M. Setelah empat bulan, Sophronius menawarkan penyerahan kalah dengan syarat bahwa khalifah harus datang ke Baitul Maqdis untuk menandatangani perjanjian.

Penyerahan kalah Baitul Maqdis kepada Khalifah Umar diikuti dengan penandatanganan Perjanjian Umar, yang menjamin hak-hak awam dan kebebasan orang Kristian untuk mengamalkan agama mereka sebagai balasan pembayaran jizyah. Perjanjian ini juga memungkinkan orang Yahudi untuk tinggal dan mengamalkan agama mereka di dalam kota Baitul Maqdis, setelah hampir 500 tahun pemerintahan keras Romawi.

Begitulah sejatinya jika Khilafah masih ada. Keberadaanya akan mampu mengayomi dan melindungi rakyat. Tidak akan ada satu wilayah pun yang mengalami penjajahan, apalagi jika wilayah tersebut jelas-jelas berada dalam naungan Khilafah Islamiah. Wallahualam.

Payakumbuh, 13 Januari 2025 [Rn]

Baca juga:

0 Comments: