Headlines
Loading...
PPN Naik, Rakyat Makin Tercekik dan Tak Sejahtera

PPN Naik, Rakyat Makin Tercekik dan Tak Sejahtera

Oleh. Ika Widi Utami, S.Mat.
(Pendidik Generasi)

SSCQMedia.Com-
Sahabat, sudah tidak asing lagi dengan istilah PPN, ya? Apa sih PPN? Pasti sudah banyak yang mengetahui dan tidak asing lagi ya, di setiap belanja pasti harga yang kita beli ditambah dengan nilai tambahan lagi, yaitu PPN. PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang semula 11% dinaikkan menjadi 12%. Kebijakan atas kenaikan PPN ini memantik reaksi keras dari berbagai kalangan. Wajar terjadi karena hal ini berpotensi mencekik masyarakat yang sudah lebih dulu menurun daya belinya. 

Dilansir dari beritasatu.com, salah satu faktor kenaikan pajak ini atas program prioritas dari Presiden Prabowo Subianto yakni makan bergizi gratis yang akan berlaku per Januari 2025. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan Kenaikan PPN tersebut dapat meningkatkan pendapatan negara, sehingga dapat mendukung program prioritas pemerintahan Prabowo pada bidang pangan dan energi (16/12/2024). 

Petisi penolakan kenaikan PPN yang ditandatangani lebih dari 113.000  orang juga diajukan dan sudah diterima oleh Sekretariat Negara (Setneg). Massa tidak hanya terbatas pada aksi langsung, tetapi juga melibatkan kampanye melalui media sosial. Namun, responnya seperti biasa hanya formalitas saja secara administratif. 

Dalam kebijakan ini memicu beragam pendapat di tengah masyarakat dan pelaku usaha mengenai dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Masyarakat dan pelaku usaha diimbau untuk tidak khawatir secara berlebihan terhadap kenaikan PPN 12%. Bagaimana mungkin adanya kenaikan PPN tidak membuat masyarakat khawatir? Tentu hal itu akan berdampak terhadap kenaikan harga jual karena produk-produk terkena biaya tambahan.

Peran Negara Abai terhadap Nasib Rakyat

Pemerintah tetap bersikukuh dalam menaikkan PPN 12%, dalihnya adalah kenaikan ini menjadi amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) di masa pemerintahan Jokowi, yang dinaikkan secara bertahap yakni 11% di tahun 2022 dan 12% pada Januari 2025. Pajak sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat, apalagi kondisi masyarakat dalam perekonomian yang lesu, daya beli masyarakat juga berkurang. Namun, pemerintah masih menaikkan pajak. Meskipun ada batasan barang yang dinaikkan, serta adanya progam bantuan sosial dan subsidi PLN. Namun, sejatinya kebijakan tersebut tetap memberatkan masyarakat. 

Belum lagi maraknya pengangguran (sulitnya mendapat pekerjaan yang layak dan memadai), naiknya bahan-bahan pokok, dan masalah korupsi serta pemerintah yang gemar dalam berutang. Bukankah ini merupakan buah dari kepemimpinan penguasa yang kapitalis dan sekuler dalam sistem ekonomi kapitalisme di mana pajak dan utang dijadikan pendapatan utama (sumber pemasukan negara). Pengajuan petisi dari rakyat pun diabaikan dan hanya dijadikan formalitas.

Negara mempunyai SDA (Sumber Daya Alam) yang melimpah, yang jika dikelola dengan baik oleh negara akan menghasilkan pemasukan yang sangat besar. Namun, lagi-lagi akibat sistem kapitalisme, negara menyerahkan SDA kepada pihak korporat. Terlihat jelas negara tidak memosisikan diri sebagai raa'in (pengurus segala urusan umat), negara juga tidak memikirkan nasib rakyat. Jelas kenaikan pajak membuat rakyat semakin tercekik dan jauh dari kata sejahtera.

Sistem Ekonomi Islam Solusi Permasalahan Umat

Islam adalah agama rahmatan lil 'alamin. Agama yang dibuat oleh Sang Pencipta yakni Allah Swt.. Islam sebaik-baik agama yang mengatur urusan umat. Khilafah dalam sistem kepemimpinan Islam menjadikan negara untuk ri'ayah (mengayomi), bukan negara pemalak. Islam juga menjadikan penguasa sebagai raa'in dan junnah. Rasulullah juga bersabda, "Imam atau khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)

Islam memiliki banyak mekanisme dalam mendapatkan pemasukan negara, tanpa adanya utang dan pajak. Islam mempunyai sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi pengurus rakyat yang penuh tanggung jawab dan menetapkan pemasukan dari berbagai sumber yang melimpah ruah. Hubungan penguasa dan rakyat juga saling menguatkan. Penguasa wajib melayani rakyat, serta rakyat wajib taat kepada penguasa. Berbicara mengenai pajak bukanlah sumber pemasukan utama negara, bahkan hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas negara dalam keadaan kosong (tidak mencukupi). Mengambil pajak tanpa kerelaan dari rakyat sama halnya dengan memalak rakyat seperti yang terjadi di hari ini. Menarik pajak hukumnya haram dalam Islam.

Ada beberapa pos pendapatan negara dalam Islam antara lain ialah fai, kharaj, usur, ganimah, pos dari pengelolaan harta-harta milik umum, dan zakat. Semuanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keuangan negara yang menjadi tanggung jawab baitulmal. Pungutan pajak hanya ditarik ketika benar-benar tidak ada uang di baitulmal. Maka negara diperbolehkan menarik pajak kepada kaum muslim yang dirasa mampu dan berkecukupan. Bahkan penarikan pajak tersebut sementara dan dapat diakadkan sebagai utang negara kepada rakyat. Oleh karena itu ada perbedaan yang sangat mendasar tentang pajak dalam Islam dengan sistem kapitalisme.

Dalam negara Khilafah pajak hanya dipungut jika dalam keadaan darurat saja saat harta di baitulmal tidak mencukupi. Berbeda dalam negara kapitalisme, pajak dijadikan sumber utama pendapatan negara. Pajak tersebut mengakibatkan meningkatnya beban pembiayaan masyarakat dan industri yang harus ditanggung oleh rakyat. Wallahualam. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: