Headlines
Loading...
Oleh. Istiana Ayu S. R

SSCQMedia.Com- Drama perpajakan di Indonesia, seolah tidak ada akhirnya. Pemerintah selalu ada saja gebrakan untuk mengambil sesuatu dari rakyat. Dari masa ke masa, rakyat terus didera pajak yang tidak ada habisnya. Di mana tak jarang pungutan pajak tersebut, diambil di saat kondisi rakyat serba terbatas. Seperti rencana peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang akan berlaku pada 1 Januari 2025, masih menimbulkan beragam protes di kalangan masyarakat.

Faisal Basri, seorang ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan, bahwa rencana pemerintah untuk menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% adalah sangat tidak masuk akal. Ia berpendapat bahwa kenaikan ini justru akan menyengsarakan rakyat dan tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan penerimaan negara.

Faisal menganggap, rencana kenaikan PPN menjadi 12% sebagai langkah yang tidak adil. Hal ini, dikarenakan pemerintah masih memberikan berbagai insentif fiskal kepada korporasi besar secara berlebihan (CNBCIndonesia.com, 20-08-2024). 

Tampak jelas, bahwa pemerintah menerapkan perlakuan yang berbeda terkait pajak. Bagi masyarakat kecil, pemerintah menunjukkan sikap yang tegas dan keras, seolah-olah ingin memeras sebanyak-banyaknya dari rakyat. Sementara itu, pengusaha justru mendapatkan perlakuan yang lebih lembut dan fleksibel dari pihak pemerintah.

Perlu diketahui, dalam sistem kapitalisme, instrumen fiskal yang mungkin memberatkan rakyat, namun sekaligus menjadi sumber pendapatan negara, adalah pajak dan utang. Oleh karena itu, pemerintah selalu memperhatikan kedua aspek ini. Apakah itu memberatkan rakyat atau tidak itu urusan belakangan.

Zalim

Dalam sistem Kapitalisme, pajak berfungsi untuk menutupi defisit anggaran yang muncul akibat ekonomi bergantung pada utang. Sebagai hasilnya, masyarakat terus-menerus dikenakan berbagai pungutan dan pajak. Termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bersifat regresif. 

Pajak menjadi sumber pendapatan yang stabil bagi negara dalam sistem ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemerintah berupaya keras untuk mendorong masyarakat agar memenuhi kewajiban perpajakan mereka. Bahkan, menganggap bahwa menjadi warga negara yang baik, berarti patuh terhadap pajak.

Sudahlah di tengah ketidakpastian penghasilan, rakyat masih harus menanggung beban pajak yang semakin meningkat, baik dari segi nominal maupun jenisnya. Di sisi lain, pengusaha yang sudah kaya, justru mendapatkan sejumlah keringanan pajak. Berbagai insentif seperti tax holiday, tax allowance dan kebijakan sunset telah dirancang untuk menguntungkan pengusaha besar, terutama pemodal asing.

Dengan alasan untuk menciptakan iklim investasi yang ramah dan memudahkan masuknya modal asing, pemerintah memberikan berbagai fasilitas perpajakan kepada para investor. Hal ini menunjukkan, bahwa kebijakan perpajakan di negara ini lebih berpihak kepada kalangan pengusaha besar dan kapitalis, sementara rakyat jelata seolah diabaikan. Namun, pemerintah tetap kukuh pada argumennya. Bahwa pungutan pajak ini diperlukan, demi kemajuan bangsa.

Slogan "Orang Bijak Taat Pajak" terus dipromosikan. Seolah-olah membentuk anggapan di benak masyarakat, bahwa orang yang baik adalah mereka yang peduli dengan nasib bangsa dan menunjukkan kontribusi nyata dengan membayar pajak.

Padahal slogan “pajak dari rakyat dan untuk rakyat” menunjukkan fakta yang sebaliknya. Bukti nyata menunjukkan bahwa berbagai fasilitas publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi, kini harus ditebus oleh masyarakat dengan biaya yang semakin tinggi. Subsidi bagi rakyat pun, semakin menyusut. Contohnya, subsidi bahan bakar minyak yang penerimanya semakin terbatas. Akibatnya, di satu sisi masyarakat dibebani pajak yang sangat besar, sementara di sisi lain, mereka tidak merasakan manfaatnya.

Ironisnya, yang benar-benar menikmati kesejahteraan dari dana pajak ini, adalah para pejabat dan pengusaha kapitalis yang menjadi pendukung mereka.

Jelas, kebijakan pajak menunjukkan betapa tidak bijaknya pemerintah di sistem kapitalisme Demokrasi. Maka, kedaulatan rakyat dengan pungutan pajak, jelas hanya mitos belaka.

Pajak dalam Islam 

Kebijakan pajak yang diterapkan, terutama di tengah kesulitan yang dialami oleh rakyat, dapat dianggap sebagai suatu bentuk kezaliman. Apalagi dilakukan oleh penguasa terhadap seluruh rakyatnya, jelas haram.  Allah Swt. berfirman, “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil.” (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Tidak ada solusi lain untuk mengatasi mencekiknya pajak hari ini, kecuali dengan kembali ke sistem Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam, sistem keuangan Islam, sumber-sumber pendapatan negara yang masuk ke dalam Baitulmal (kas negara), berasal dari beberapa kategori. Yaitu  pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, dan zakat. Khusus zakat tidak boleh dicampuradukkan  dengan harta yang lain.

Kedua, sektor kepemilikan umum seperti halnya tambang, minyak bumi, gas, ekosistem hutan, dan sejenisnya.

Ketiga, sektor kepemilikan negara yaitu jizyah, kharaj, fai, dan usyur.

Dalam konteks sistem Islam, pajak dikenal dengan istilah dharibah. Pajak ini, merupakan langkah terakhir yang diambil ketika Baitulmal benar-benar kekurangan dana dan tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dalam situasi tersebut, pajak hanya dikenakan kepada laki-laki muslim yang kaya. Sementara perempuan, anak-anak, orang yang kurang mampu dan non-muslim, dikecualikan dari kewajiban pajak. Dengan cara ini, pemungutan pajak dalam sistem Islam tidak akan menciptakan ketidakadilan.

Pengumpulan pajak, didasarkan pada kebutuhan Baitulmal untuk memenuhi tanggung jawabnya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan. Jika kebutuhan Baitulmal sudah terpenuhi dan mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pengumpulan pajak harus dihentikan.

Oleh karena itu, pajak dalam sistem Islam diterapkan secara temporer. Bukan sebagai penerimaan rutin seperti yang kita alami saat ini.

Dua realitas yang terlihat dalam sistem kapitalisme dan konsep Islam, jelas menunjukkan perbedaan yang mencolok antara keduanya. Dalam Islam, penguasa menjalankan perannya dengan mengutamakan kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan optimal atas kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme, kita melihat situasi yang berbeda di mana negara seolah berbisnis dengan rakyatnya. Masyarakat dibebani pajak dan utang negara dengan alasan pembangunan.

Jadi, apakah kita akan bertahan memilih kapitalisme yang membawa kesengsaraan atau Islam yang menawarkan kesejahteraan?[US]

Baca juga:

0 Comments: