OPINI
Angka Golput Tinggi, Bukti Rakyat Melek Politik?
Oleh. Hanif Eka Meiana, SE
SSCQMedia.Com- Pilkada 2024 telah dilaksanakan secara serempak pada Rabu, 27 November lalu. Berdasarkan hasil quick count yang dilakukan oleh Litbang Kompas, Provinsi DKI Jakarta mencatatkan tingkat partisipasi pemilih yang rendah. Angka golput di Jakarta diketahui mencapai 42,07 persen, membuat provinsi ini sebagai provinsi dengan tingkat golput tertinggi di Pulau Jawa. (detik.com, 3/12/2024)
Samsul Arifin selaku Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengatakan, ada beberapa penyebab angka golput tergolong tinggi, seperti kurangnya kepercayaan terhadap proses politik, kendala teknis dalam pemungutan suara, hingga kurangnya informasi yang diterima oleh pemilih terkait pentingnya partisipasi dalam pemilu. Selain itu, sebagian masyarakat cenderung bersikap skeptis terhadap proses pemilihan itu sendiri. Proses tersebut kerap dianggap jauh dari nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan integritas.
Menarik untuk diperbincangkan, pesta rakyat yang digelar seringkali membawa semangat baru dan harapan baru di kalangan masyarakat. Namun faktanya dewasa ini masyarakat mulai jengah dengan perilaku para pejabatnya, begitu pula dengan demokrasi. Masyarakat kini tak peduli lagi bagaimana, apa, ataupun siapa yang terpilih menduduki jabatan pemimpin.
Kenyataan pahit yang harus ditelan oleh umat kala setiap pergantian kepemimpinan prosesnya selalu diiringi dengan janji-janji manis, koalisi partai, politik uang, politik identitas, black campaign, hingga politik dinasti. Belum lagi bila sudah menjabat, lupa urusan rakyat. Janji tinggal janji, mereka yang benar akan kalah dengan mereka yang gila dan rakus akan kekuasaan. Tak heran kasus korupsi, suap, menekan rakyat, hingga memihak pada oligarki menjadi hal yang lumrah dalam sistem ini.
Hal demikian terus dilihat dan dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya. Berharap pergantian kepemimpinan akan mampu membawa perubahan dan harapan baru namun nyatanya hal itu hanya ada dalam impian semata. Rakyat selalu menjadi korbannya. Ingat kejadian tewasnya 894 KPPS pada pemilu di tahun 2019? Peristiwa itu menjadi catatan hitam dalam pemilu di Indonesia sepanjang sejarah. Rakyat terus dibebani dengan berbagai kebijakan dan aturan yang menekan dan menindas mereka. Kebodohan di umat pun sengaja dipelihara.
Kehidupan demokrasi yang rumornya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kini disadari bahwa pernyataan itu hanyalah khayalan belaka. Berganti pemimpin tiap tahun, rakyat tak merasakan keadilan dan kesejahteraan. Mereka pun sadar bahwa sistem ini tak mampu jadi tumpuan. Umat semakin yakin bahwa tidak ada jalan bagi demokrasi untuk mampu mengurusi urusan masyarakat. Karena demokrasi lahir dari sistem sekuler yang menihilkan peran agama di dalamnya.
Sistem ini menjunjung tinggi kebebasan. Manusia diberikan keleluasaan dalam memenuhi segala keinginan dan hawa nafsunya. Mereka boleh tamak akan harta, boleh rakus jabatan, boleh membuat hukum yang diinginkan, boleh bebas bermaksiat, boleh menindas rakyat, dan boleh pula menguasai hajat hidup masyarakat. Sehingga akan ada orang-orang yang beruntung dan ada yang merugi, ada yang menindas ada yang ditindas. Timbullah berbagai kerusakan dan kehancuran di tubuh rakyat dan penguasanya.
Lalu bagaimana dengan rakyat? Ketika kerusakan demi kerusakan tercipta dalam tubuh demokrasi, tentu hal ini menciptakan kesadaran pada diri masyarakat bahwa mereka butuh sistem yang benar. Mereka butuh diatur oleh aturan yang tepat dan pemimpin yang amanah. Mereka butuh solusi yang komprehensif dalam menyelesaikan berbagai problematika kehidupan. Namun, banyak yang masih belum tahu solusi dan sistem apa yang tepat untuk mewujudkan hal itu.
Kesadaran ini perlu kita apresiasi dan kita arahkan pada kebenaran. Kebenaran yang hakiki bukanlah berasal dari manusia yang sifatnya lemah dan terbatas, melainkan kebenaran itu haruslah berasal dari sang Maha Benar yakni Allah Swt. Dari-Nya kita tahu bahwa Islam memiliki solusi atas setiap problematika kehidupan. Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah saja melainkan juga mengatur hubungan individu dengan dirinya dan juga dengan masyarakat.
Itulah mengapa Islam tidak sekadar agama melainkan sebuah mabda. Darinya terpancar aturan-aturan yang memungkinkan bagi manusia menjalani kehidupan sesuai yang di kehendaki oleh Rabbnya. Aturan ini terbukti mampu memberikan keadilan, kesejahteraan, dan mengangkat derajat manusia pada level yang tinggi. Penerapannya yang kafah mampu mencetak individu-individu yang bertakwa, masyarakat yang beramar ma'ruf nahi munkar, serta kepemimpinan yang amanah dan bertanggungjawab.
Maka sudah saatnya masyarakat mencampakkan demokrasi yang telah jelas kerusakannya dan mengambil Islam sebagai sistem kehidupan. Insyaallah keberkahan akan tercurah dan umat ini menjadi umat terbaik seperti yang dijanjikan dalam Al Qur'an. Allahu Akbar!
Wallahualam. [My]
Baca juga:

0 Comments: