Headlines
Loading...
Oleh. Yulweri Vovi Safitria
(Freelance Writer)

Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi dilantik untuk masa bakti periode 2024-2029 (tirto.id, 2-10-2024). Seperti biasa, masyarakat pun menggantungkan harapannya kepada anggota dewan yang konon katanya mewakili suara rakyat Indonesia yang berjumlah 284.085.215 jiwa. 

Namun, harapan itu sepertinya akan bertepuk sebelah tangan. Pasalnya, dugaan politik dinasti dan bagi-bagi kursi ikut mewarnai pemilihan anggota dewan dan para pejabat yang berada di jajaran pemerintahan. Bahkan, hasil riset terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat, dari total 580 anggota DPR terpilih periode 2024-2029, sedikitnya 79 orang terindikasi dinasti politik atau diduga punya hubungan kekerabatan dengan pejabat publik (tirto.id, 2-10-2024).

Bukan hanya itu, partai politik yang sebelumnya berseberangan dan adu argumentasi, kini berputar haluan. Jika dahulu saling serang, kini saling berangkulan. Semua dalam satu barisan dan kepentingan. Idealisme yang dibangun untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka adalah pilihan terbaik, buyar dalam sekejap. Kondisi ini tentu membuat masyarakat pesimis. Mungkinkah anggota dewan mampu melayani dan mendengar aspirasi rakyat banyak? Sementara pengangkatan mereka saja sarat dengan kepentingan.

Kongkalikong ala Demokrasi

Sebenarnya, masyarakat tidak perlu heran dengan rayuan demokrasi. Berulang kali kepemimpinan berganti, kejadian serupa terulang kembali. Berseterunya para calon anggota dewan untuk mempertahankan argumentasi (alasan membela rakyat cilik) adalah pemandangan yang lazim terjadi di alam demokrasi.

Namun, mereka yang berseteru akan berada dalam satu barisan. Lisan yang tadinya menghujat habis-habisan, kini saling memuji dan melempar kekaguman, seolah tidak ada cacat dan kekurangan, melainkan hanya capaian-capaian terbaik untuk meyakinkan masyarakat dan memanipulasi keadaan. 

Hal demikian wajar terjadi dalam sistem demokrasi. Dalam sistem ini, pemilihan anggota dewan bukanlah berdasarkan kemampuan dan kecakapan, melainkan karena kekayaan atau jabatan. Kawan bisa menjadi lawan, lawan pun bisa menjadi kawan selama memiliki kepentingan yang sama. Begitulah mekanisme politik transaksional dalam sistem demokrasi.

Sebagaimana diketahui, anggota dewan tidak hanya sebagai wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasinya, tetapi juga membuat undang-undang atau aturan. Sayangnya, aturan yang dibuat sering kali melukai hati dan menyulitkan rakyat. Sebut saja UU Omnibus Law Cipta Kerja. UU tersebut tetap disahkan, meski terjadi demonstrasi berjilid-jilid sebagai bentuk penolakan dari masyarakat. 

Contoh lain adalah UU IKN (Ibu Kota Negara). UU ini disahkan saat publik masih mempertanyakan urgensitas pembangunannya. Sementara ada hal yang lebih urgen dan butuh pembiayaan yang seharusnya lebih diprioritaskan, seperti harga kebutuhan pokok yang terus meroket, pendidikan dan kesehatan yang makin mahal, harga BBM yang melangit, pungutan pajak, serta berbagai persoalan yang berujung kematian. Melihat fakta ini, peran wakil rakyat pun dipertanyakan. Benarkah mewakili rakyat atau untuk kepentingan tertentu? 

Peran Politik Islam

Islam memandang, kekuasaan adalah amanah. Dalam sistem Islam dikenal istilah Majelis Umat untuk mewadahi aspirasi masyarakat. Majelis Umat tidak lahir dari bagi-bagi jabatan, apalagi ‘pesanan’ teman atau kerabat. 

Sebagai bagian dari pemerintahan, Majelis Umat tegak di atas landasan akidah Islam dan konsisten untuk amar makruf nahi mungkar, yakni mengoreksi setiap kebijakan penguasa. Keimanan dan ketakwaan yang dimiliki akan mencegah anggota Majelis Umat dari melakukan kemaksiatan, termasuk memberi janji-janji manis kepada rakyat.

Sejarah Islam menorehkan tinta emas terkait kepemimpinan yang amanah. Sebut saja Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat musim dingin, salah seorang budaknya selalu membawakan air panas untuk Khalifah Umar berwudu. Suatu ketika, sang khalifah bertanya tentang air wudu yang dipanaskan. Budaknya menjawab bahwa air tersebut dipanaskan di atas tungku dapur umum milik baitulmal.

Seketika Khalifah Umar memerintahkan Muzahim (orang kepercayaannya) untuk memperkirakan berapa kayu bakar dapur umum yang selama ini terpakai untuk memanaskan air wudunya, lalu Khalifah Umar membeli kayu bakar sebanyak yang ditaksir dan menyerahkannya ke dapur umum. 

Lain lagi dengan Khalifah Abu Bakar As Siddiq. Sesuai dengan namanya, Khalifah Abu Bakar menghabiskan waktunya dalam menjalankan amanah untuk mengurusi umat hingga tidak  tersedia waktu untuk keluarganya. Bahkan, Khalifah Abu Bakar tidak segan berjualan di pasar agar mendapat uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Namun, sosok pemimpin seperti mereka tidak akan pernah lahir dari sistem kapitalisme demokrasi. Pasalnya, orientasi dan paradigma para pejabat dalam sistem kapitalisme adalah dunia dengan segala kemewahannya. Cara pandang inilah yang menyebabkan para pemangku kekuasaan, termasuk wakil rakyat berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan selama menduduki kursi kekuasaan.

Oleh karena itu, sudah saatnya paradigma kapitalisme tersebut diganti dengan konsep Islam. Sebab, Islam bukan hanya sebatas agama ritual, tetapi juga ideologi yang mengatur segala sendi kehidupan. Islam adalah satu-satunya sistem sahih yang akan melahirkan pemimpin atau wakil rakyat yang amanah, tidak silau oleh harta, dan hanya takut kepada Rabb-nya.

"Sesungguhnya jabatan akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang menerimanya, kecuali ia mendapatkannya dengan cara yang benar dan menunaikan amanah jabatan tersebut juga dengan benar." (HR Muslim).

Wallahualam bissawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: