Opini
Oleh. Aqila Fahru
Akhir-akhir ini banyak sekali keluhan mengenai sulitnya mencari pekerjaan, terutama bagi para fresh graduate dari sektor pekerjaan formal. Jumlah angkatan kerja baru tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Menurut Survei Angkatan Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data dalam dekade terakhir memang mengalami penurunan penciptaan lapangan kerja dari sektor formal. Rentang tahun 2009 hingga 2014, tercatat bahwa penerimaan tenaga kerja pada sektor formal berkisar 15,6 juta. Jumlah penerimaan pekerja baru terus mengalami penurunan menjadi 8,5 juta pada tahun 2014 hingga 2019. Pada tahun 2019—2024 bukannya mengalami peningkatan, malah terjadi penurunan kembali yaitu hanya menjadi 2 juta lowongan kerja saja.
Menurut Fajar Rakhmadi selaku Direktur Research Institute Of Scio-Economic Development, beliau mengatakan bahwa angkatan kerja saat ini memang sedang menghadapi tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Data dari BPS per Februari 2024 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia lebih banyak yang bekerja pada sektor informal yaitu sebanyak 84,13 juta orang atau 59,17% dari total penduduk bekerja. Fajar mengatakan banyaknya masyarakat yang masuk bekerja pada sektor informal dikarenakan adanya ketidakcocokan antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan industri atau pasar tenaga kerja (Liputan6.com, 21/5/2024).
Di sisi lain, pada faktanya banyak tenaga kerja yang terserap dalam pekerjaan informal, tetapi rentan dengan upah minim dan fasilitas yang jauh dari kata layak. Belum lagi dengan adanya kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang berpotensi untuk menggantikan peran manusia pada mayoritas sektor pekerjaan.
Menurut Ahmad Najib Burhani selaku Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) angkatan kerja Indonesia harus bekerja dengan layak. Saat ini rentang upah pekerja di Indonesia masih kurang layak dan kurang produktif. Oleh karenanya perlu ada upaya dalam menurunkan angka pengangguran terbuka.
Menurut Asisten Deputi Bidang Ketenagakerjaan pada Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Chaerul Saleh, beliau mengatakan bahwa Indonesia perlu memaksimalkan potensi bonus demografi saat ini dan untuk di masa depan agar dapat mengakselerasi perekonomian nasional dalam mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045. Serta harapannya agar masyarakat mampu keluar dari _middle income trap_ (jebakan kelas menengah) dengan cara penyiapan tenaga kerja yang terampil. Di samping itu, Indonesia masih memiliki lima kelompok besar isu tantangan ketenagakerjaan, di antaranya, yaitu: rendahnya kualitas SDM, belum optimalnya penciptaan kesempatan kerja, belum maksimalnya perlindungan tenaga kerja, belum terjaminnya keberlanjutan pekerjaan, serta belum optimalnya sistem informasi pasar kerja (Kompas.com, 17/5/2024).
Akibat dari sulitnya mencari pekerjaan yang layak di Indonesia, banyak Gen-Z yang akhirnya memilih untuk menjadi pengangguran, sehingga angka NEET _(not in employment, education, and training)_ terus meningkat. Bila dilihat dari data sebanyak 22,5% dari total penduduk yang berusia sekitar 15-24 tahun berstatus NEET. Artinya, dari 100 pemuda yang berumur sekitar 15—24 tahun terdapat 22 orang yang tidak memiliki kegiatan (cnbcindonesia.com, 21/5/2024).
Sungguh miris bila melihat fakta yang ada. Peran pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan bagi masyarakat telah sirna. Fakta yang ada menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan jaminan pekerjaan yang layak dan mencukupi bagi kebutuhan rakyatnya. Akibatnya kehidupan masyarakat semakin pelik.
Dengan kondisi kehidupan yang semakin sulit, mahalnya harga bahan-bahan pokok, mahalnya biaya pendidikan, serta mahalnya biaya kesehatan, akan sangat mempengaruhi kondisi masyarakat. Penderitaan, baik secara fisik dan psikis akan terus dihadapi oleh masyarakat Indonesia karena sulitnya mencukupi kebutuhan sehari-hari dikarenakan masalah perekonomian. Seharusnya pemerintah membuka lapangan sebesar-besarnya dan menggaji pekerjanya dengan upah yang dapat mencukupi kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Hal ini membuktikan bahwa sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia adalah permasalahan struktural yang berakar dari sistem pemerintahannya sendiri. Kita tahu bahwa pemerintah kita masih menggunakan sistem kapitalisme liberalisme untuk mengatur pemerintahannya. Sistem yang hanya memandang asas untung-rugi dari sisi materi saja. Tanpa peduli apakah kebijakannya dapat menyejahterakan rakyatnya atau tidak. Kemunduran kualitas masyarakat Indonesia pun tak mampu terelakkan.
Sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia ini merupakan buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan SDA (sumber daya alam) hanya sebagai bahan komoditas belaka. Pemerintah mengobral SDA Indonesia yang melimpah seperti gas alam, batu bara, emas, nikel, hasil laut, dan hasil hutan kepada korporasi yang rakus nan tamak akan kekayaan. Diperparah dengan adanya regulasi yang makin menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akibat terjadinya deindustrialisasi.
Sedangkan Islam menerapkan sistem politik dan ekonomi Islam, termasuk dalam pengaturan dan pengelolaan SDA. Sumber daya alam merupakan milik umum, sehingga hasil pengelolaan SDA tersebut, akan dikembalikan kembali kepada rakyat untuk memenuhi hajat hidup masyarakat umum. Pengelolaan SDA oleh negara akan menjadikan tersedianya lapangan kerja yang memadai serta jaminan kesejahteraan untuk rakyat.
Wallahualam bissawab. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: