Headlines
Loading...
Kampanye 16  HAKTP, Berdampakkah pada Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan?

Kampanye 16 HAKTP, Berdampakkah pada Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan?

Oleh. Irawati Tri Kurnia
(Aktivis Muslimah)
 
Kampanye 16 hari HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan), adalah kampanye untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Sebagai institusi Hak Asasi Nasional di Indonesia, Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia. 
 
Aktivitas ini pertama kali digagas oleh Womens Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Centre for Women Global Leadership. Setiap tahunnya kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan hari Internasional penghapusan kekerasan terhadap perempuan, hingga tanggal 10 Desember yang merupakan hari Hak Asasi Manusia (HAM Internasional). 
 
Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM. Serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM (www.komnasperempuan.go.id).
 
Kekerasan pada perempuan memang harus diselesaikan. Hanya saja fakta kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan bahkan  makin meningkat. Pada tahun 2022 saja Komnas Perempuan mencatat ada 457.895 kasus kekerasan (www.cnnindonesia.com). Perlu diperhatikan bahwa solusi kasus kekerasan pada perempuan tidak akan pernah selesai hanya dengan kampanye dan peringatan seremonial belaka. Apalagi menggaungkan kesetaraan gender. Karena langkah tersebut bukanlah solusi yang tepat, karena tidak menyasar pada akar masalah. 
 
Akar masalah kekerasan pada perempuan saat ini adalah sistem kapitalisme, yang memandang perempuan sebagai komoditas dengan menganggapnya sebagai barang. Selain itu, perempuan dianggap berdaya dan dihargai, ketika bisa menghasilkan materi, seperti menjadi penopang ekonomi keluarga bahkan negara, memiliki kecantikan fisik yang bisa dieksploitasi, atau pun bisa berdikari tanpa bergantung pada siapa pun. Tolak ukur demikian makin tersuasanakan, karena negara kapitalisme mendukung pemberdayaan perempuan, tidak menjamin hak-hak mereka, dan lepas tanggung jawab dari mengurus urusan rakyat. Sehingga berbagai kekerasan terjadi, baik di ranah domestik karena masalah ekonomi, pelecehan di tempat publik, dan lainnya. 
 
Berbeda dengan Islam ketika memperlakukan perempuan. Dalam Islam, perempuan dipandang sebagai kehormatan yang harus dijaga dan kaum yang dimuliakan. Dan ini akan diwujudkan oleh Khilafah sebagai penerap Islam secara menyeluruh (kaffah). Rasulullah saw bersabda :
Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat lebih baik kepada para perempuan.” (HR. Muslim : 3729). 
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah : 285).

Dari dalil-dalil tersebut, terlihat jelas bahwa Islam memperlakukan kaum perempuan dengan benar sesuai fitrahnya. Menjaga mereka, menyayangi mereka, dan berbuat baik kepada mereka. 
 
Tidak ada diskriminasi yang mengharuskan kaum perempuan memperjuangkan hak-haknya, sebagaimana nasib perempuan dalam sistem kapitalisme. Sebab dalam Islam, tolak ukur kemuliaan bukan pada gender, kekayaan, paras, derajat sosial, dan sejenisnya. Melainkan pada ketakwaannya, yang berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Hujurat ayat 13 : 
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
 
Hanya saja memang ada beberapa hukum dalam Islam yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan ini bukan untuk dipersaingkan atau bahkan disetarakan. Perbedaan ini justru dirancang Allah agar kehidupan laki-laki dan perempuan bisa saling bersinergi. 
 
Fitrah seorang perempuan adalah sebagai ibu dan pengurus rumah tangga (ummun wa rabban al-bayt). Perempuan dikatakan mulia, ketika mereka mampu menunaikan tugas tersebut dengan seoptimal mungkin. Agar perempuan bisa melakukan tugas ini, Islam memberikan ketentuan hukum, seperti wanita tidak wajib bekerja, karena nafkah mereka dibebankan kepada wali mereka; yaitu ayah, suami, saudara laki-laki, maupun wali lainnya. Sementara para wali ini tidak merasa berat, karena mereka memahami tugas tersebut sebagai kewajiban dan Khilafah mempermudah mereka untuk mencari nafkah, dengan disediakan lapangan kerja seluas mungkin. Seandainya ingin bekerja, dorongan mereka bukan karena gaya hidup (lifestyle), ekonomi, atau kesetaraan; namun karena ingin mengamalkan ilmu mereka agar bermanfaat bagi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. 
 
Penafkahan pun tidak sebatas dari segi materi semata, namun juga pendidikan dan kasih sayang. Ketika seorang perempuan berstatus masih anak, kedua orang tua wajib menyayangi mereka dan memberikan hak-hak mereka sebagai anak. Ketika berstatus menjadi istri, suami wajib berinteraksi dengannya secara ma’ruf (baik). Ketika berstatus menjadi ibu, baik anak-anaknya dan suaminya juga wajib memperlakukan mereka dengan ma’ruf. 
 
Aturan lainnya adalah perempuan berhak mendapatkan pendidikan, agar siap menjadi sosok ummun wa rabbatul al-bayt. Mereka akan mendapat pendidikan untuk menjadi ibu yang baik, juga pendidikan kerumahtanggaan agar rumah tersistem dan tertata rapi. Jika saat ini, bisa dikatakan ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Pendidikan ini diperoleh dari keluarga, masyarakat dan Khilafah negara yang mengupayakannya melalui kurikulum pendidikannya yang diselenggarakan baik secara formal maupun non formal, yang bisa dijangkau kaum perempuan secara gratis dan berkualitas.
 
Selanjutnya, untuk menjaga kehormatan baik perempuan maupun laki-laki, Islam memiliki Nizham Ijtima’i (sistem pergaulan), yang oleh Khilafah yang akan menegakkan aturan ini di tengah kehidupan. Dari aturan ini, tidak ada interaksi seperti khalwat (berdua-duaan), ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa tujuan syar’i, perzinaan dan tabarruj (berhias berlebih yang menarik perhatian laki-laki). Mereka diwajibkan menutup aurat secara Syar’i di kehidupan publik dengan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, baik kepada sesama maupun penguasa. Suara mereka mendapatkan tempat dan dihargai di kehidupan publik. 
 
Dengan demikian Islam memuliakan dan menjaga kehormatan perempuan di ranah domestik maupun publik. Jika masih ada pihak yang berbuat kekerasan dan pelecehan kepada perempuan, maka Islam mewajibkan negara, yakni Khilafah, untuk menerapkan sanksi Islam untuk menjatuhkan uqubat pada pelaku. Mereka bisa dijatuhi hukum hudud, jinayat, ta’zir, mukhalafat; sesuai dengan pelanggaran yang mereka lakukan. Dengan uqubat, pelaku akan mendapatkan ampunan dosa. Inilah efek jawabir. Dan pelaku akan jera serta masyarakat akan terlindungi dari kejahatan. Inilah efek zawajir. Dan negara yang bisa menerapkan ini hanyalah daulah Khilafah. 
 
Dengan sempurnanya pengaturan Islam untuk menjaga kaum perempuan, maka tidak diperlukan lagi kaum perempuan menyuarakan slogan kosong ala barat demi mengejar kemuliaan, jika cukup Islam saja yang mampu memuliakannya. Apalagi dalam kapitalisme ala barat, keadilan hanya ilusi. 
 
Wallahualam bissawab. [Ys]
 

Baca juga:

0 Comments: