
Story Telling
Ibu, Membahagiakanmu adalah Cita-citaku
Oleh. Nenah Nursaadah
Teringat masa laluku yang tak pernah kuinginkan dan tak pernah kubayangkan.
Ayahku meninggal dunia dengan meninggalkan sembilan anak.
Saat itu, yang sudah menikah baru satu orang yaitu kakakku yang pertama, aku anak kelima dari sembilan bersaudara. Kakak berjumlah empat orang, adik pun empat orang.
Ayahku meninggal dunia ketika usiaku baru kelas 3 SD, di mana saat itu aku sedang masa-masanya dimanja oleh Apa, panggilan untuk ayahku. Aku teringat ketika Apa minta di pijit badannya, "Ena pijitin Apa dong, nanti Apa kasih jajan." Biasanya saat aku memijat, Apa selalu minta untuk diinjak-injak punggungnya. Setelah itu aku tidur-tiduran di punggung Apa.
Selain itu, Apa selalu membelikan mainan. Ketika beliau pulang dari pasar sehabis jualan tas di pasar, aku dibelikan boneka Doraemon karena saat itu tengah musimnya. Aku senang sekali.
Ketika aku sudah bersekolah aku dibelikan sepatu. Jika waktu itu aku lagi tidur siang, Apa memanggilku, "Ena ... Ena bangun! Itu sudah Apa beliin sepatu. Coba dulu, cukup gak?"
"Alhamdulillah, Apa. Cukup." Aku senang sekali.
Saat aku kelas 3 SD, Apa sakit karena jatuh di sawah. Sampai beliau tidak bisa jalan dan harus pakai jangka. Apa dipijit dan diperiksa ke sana ke mari sampai Apa terkena stroke.
Aku merasa sedih sekali melihat ibu yang masih punya bayi. Adik bungsuku saat itu baru berusia 1 atau 2 bulan. Aku sudah lupa. Aku pun tidak tahu berapa bulan Apa sakit.
Aku saat itu masih kecil dan tak begitu memperhatikan orang tua .
Hari yang sangat menyedihkan bagi kami pun tiba.
Apa menghembuskan napas terakhir di hadapan adik-adiknya dan kakaknya yang sedang membacakan Al-Qur'an. Tak lupa juga ada kakakku di sana. Oh ya, aku baru ingat! Sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya, Apa sempet memanggil kedua orang tuanya, "Ema .... Apa ..."
Beberapa menit setelah itu, beliau meninggal.
Kakak dan paman-pamanku saling berpelukan dan menangis. Ema sama kakaknya pun demikian. Aku pun ikut menangis.
Setelah Apa meninggal, Ema harus melanjutkan hidup dengan status janda dengan delapan anak karena Teteh, kakakku yang pertama, dibawa suaminya.
Ema adalah pangilan untuk ibuku.
Ema harus bekerja sebagai buruh tani padahal sebelum Apa meninggal
Ema belum pernah bekerja.
Ema bekerja di sawah untuk menanam padi. Dari pagi sampai Dzuhur. Ema rela kepanasan sekujur tubuhnya demi menafkahi anak-anaknya. Bahkan, ketika musim panen tiba, Ema selalu memunguti padi dari gabah yang orang panen lalu dijemurnya dan ditumbuk langsung.
Karena kalau masuk penggilingan padi, tanggung, padinya cuma sedikit.
Pada saat itu kami tak punya beras. Padi yang dipungut juga masih hijau. Jika dijemur pun susah untuk kering. Tapi aku dan Ema terpaksa menumbuknya karena kami tak punya pilihan beras lain untuk kami makan saat itu.
Allah pun uji kami dengan rusaknya rumah kami. Rumah kami rusak sebelah karena diterpa angin.
Kami berteduh di rumah yang bersebelahan dengan si pemilik rumah. Ukurannya cukup sempit bagi kami yang banyak jumlah anggotanya.
Adik laki-lakiku yang no 7 dan no 9 atau yang bungsu belum disunat.
Adikku yang no 7 saat itu sudah kelas 3 SD. Dia bertanya ke Ema, "Kenapa aku belum disunat, Ma? Aku tuh dah besar udah kelas 3 SD. Aku malu sama teman temen."
Ema terdiam dan bingung karena saat itu Ema tidak punya biaya. Ema mencoba mendiskusikannya pada keluargamya ,kakak dari Ema dan juga ke anak-anaknya yang sudah dewasa. Alhamdulillah, mereka bisa membantu Ema untuk biaya sunat adik-adikku. Alhamdulillah kedua adikku bisa disunat. Setelah disunat, adikku dibelikan sepeda. Dia bahagia sekali.
Setelah aku lulus sekolah, aku ingin melanjutkan sekolah, lalu ke pondok pesantren. Cita-citaku menjadi guru.
Tapi semua itu tinggal harapan saja dan tak pernah bisa kucapai.
Walaupun ada saudara dari bapak yang ingin mengangkatku sebagai anak dan akan menyekolahkanku, tapi Ema tidak mengizinkannya. Malah aku disuruh kerja ke pabrik. Aku kecewa sekali pada Ema .
Aku coba menuruti kemauan Ema agar aku bisa membantunya untuk membiayai adik-adikku .
Aku orangnya tidak bisa melawan orang tua. Walaupun ada rasa kecewa sama Ema.
Aku pun mencoba melamar pekerjaan ke pabrik dan alhamdulillah diterima. Melihat Ema yang buruh tani dan harus kepanasan, aku tak tegak melihatnya. Semua uang gajian pun kuberikan ke Ema. Ema yang mengatur semuanya. Ema juga yang mengatur uang gajian kakakku.
Uang kakakku Ema pakai arisan agar kami bisa membangun kembali rumah yang rusak itu. Sedangkan uang gajianku dipakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Pendapatan Ema sebagai buruh tani tak menentu, kadang ada kadang tak ada.
Singkat cerita, kakakku yang ketiga menikah, tapi sayang suaminya tak begitu sopan sama Ema. Begitu juga dengan suami kakakku yang pertama.
Aku jadi berpikir, aku ingin punya suami yang sayang sama Ema.
Usiaku mulai bertambah dewasa 20 tahun.
Ema sampai nanya, "Ena udah punya pacar belum?"
Aku malah balik bertanya balik ke Ema, "Memang Ema udah mau menikahkan Ena?" Saat itu aku sudah mengkaji Islam kaffah dan paham bahwa yang namanya pacaran tak boleh .
"Ya belum ..., ingin aja lihat Ena punya pacar." Saat itu kalau di kampung seorang gadis tak punya pacar disebut tidak laku dan orang tua pun khawatir.
Tapi aku berniat dalam hati, aku akan menikah setelah kakakku semua menikah.
Do'a itu langsung Allah kabulkan.
Selagi kakakku yang ke-4 mempersiapkan pernikahannya, semua guru menawarkan ikhwan kepadaku.
Ada yang langsung membawan ikhwan itu ke rumah, ada yang melalui hp. Aku sempat bingung, mau pilih yang mana karena semuanya Ikhwan yang saleh.
Namun, kriteriaku memilih suami adalah yang bisa sayang sama Ema. Sampai aku bertanya sama Ema, "Ema,
Ena mah gimana Ema mau pilih yang mana."
"ma mah gimana Ena saja. Takut gak cocok kalau Rma yang pilihin," kata Ema.
Datanglah seorang ikhwan bersama guru mengajiku dan terjadilah ta'aruf.
Ikhwan tersebut menyampaikan ingin mengkhitbahku.
Singkat cerita kami pun menikah dan alhamdulillah suamiku begitu sayang sama Ema dan menghormatinya .
Pernah aku kesal sama Ema. Suamiku langsung menegur dan mengingatkanku. "Tak boleh begitu kalau ke orang tua, walaupun beliau salah, kita sebagai anak tetap tidak boleh membentaknya."
Masyaallah.
Dan bukan itu saja sikap baik suamiku ke Ema.
Suamiku kalau Ema berkunjung ke rumahku selalu sibuk mencari dan menyiapkan makanan terbaik buat Ema.
Sampai-sampai Ema berkata, "Ema mah jadi malu kalau ke rumah Ena tuh. Cuncun mah suka segala dihidangkan makanan tuh."
Alhamdulillah, ya Allah. Suami yang saya dambakan, bisa sayang dan menghormati ibuku, Engkau berikan kepadaku.
Semoga kebaikan ini bisa menjadi jalan kami menuju surgamu.
اللة مغفرلي ول ول دي ورححم كم رببين صفر
Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tua ku, sebagai mana mereka menyayangi ku di waktu kecil. Aamiin. [My]
Baca juga:

0 Comments: