
Oleh. Noviana Irawaty
Resolusi itu merupakan suatu janji pada diri sendiri atau keputusan untuk melakukan sesuatu dalam rangka memperbaiki diri. Biasanya resolusi dibuat di akhir tahun demi menyambut awal tahun dan mengisi tahun berikutnya dengan lebih baik.
Seseorang yang membuat resolusi, maka dia memiliki targetan-targetan yang harus dipenuhi. Salah satu yang ingin saya angkat di sini adalah penghargaan kita terhadap waktu. Atas nikmat usia yang telah Allah berikan pada kita. Apa yang sudah dilakukan, kita isi waktu dengan hal-hal apa saja. Tentu kita tak ingin merugi sebagaimana QS. Al-Ashr ayat 1-3:
وَا لْعَصْرِ
"Demi masa."
اِنَّ الْاِ نْسَا نَ لَفِيْ خُسْرٍ
"Sungguh, manusia berada dalam kerugian,"
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَا صَوْا بِا لْحَقِّ ۙ وَتَوَا صَوْا بِا لصَّبْرِ
"kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."
Maka marilah kita mensyukuri nikmat waktu yang penuh keberkahan ini, sehatnya jasad serta nikmatnya beribadah. Mari kita belajar dari ulama zaman dulu bagaimana mereka memberi penghargaan kepada waktu.
Dalam kitab Qimatul Zaman Indal ‘Ulama, karya Syekh Abu Wud, kita akan menjumpai kisah-kisah yang menarik dan penuh inspirasi.
Ada riwayat dari Amir bin Abdi Qois, beliau seorang tabi'in yang zuhud. Ia berkata, ada seorang pria berkata pada dirinya untuk mengobrol dengannya. Lalu Amir bin Abdi Qois, beliau menjawab: “Amsiki syamsa”, tahanlah mentari. Artinya, tahanlah mentari, baru engkau boleh ajak aku berbincang-bincang.
Maksudnya adalah coba hentikanlah perputaran waktu. Kalau kamu bisa menghentikan perputaran waktu, baru aku akan berbincang-bincang denganmu. Karena sesungguhnya waktu itu senantiasa merayap dan bergerak maju. Dan setelah berlalu, waktu tidak akan bisa kembali. Maka kerugian akibat tidak memanfaatkan waktu adalah jenis kerugian yang tidak dapat diganti dan dicarikan kompensasinya. Karena setiap waktu membutuhkan amal sebagai isinya. Itulah yang mengakibatkan ulama di kalangan tabi’in yakni Amir bin Abdi Qois menolak ajakan untuk sekadar berbincang-bincang.
Kisah berikutnya, dari al Jalil Hasan Al-Basri r.a. seorang tabi’in yang agung, beliau mengatakan: “Yabna Adam, innama anta ayyam, fa idza dzahaba yaumun, dzahaba ba’duka.”
Yang artinya, “Wahai Anak Adam, semata-mata kamu ini kumpulan hari, jika satu hari berlalu, berlalulah sebagian dari dirimu.”
Jika satu hari berlalu, maka berlalulah sebagian dari dirimu, karena engkau kumpulan hari.
Di dalam kitab karya Abu Khilal Al-Asykari, beliau mengutip perkataan seorang ulama yang bernama Kholil bin Ahmad, “Astqolu sā’ati ‘alaiya, sā’atun akulu fiha.” Artinya: Waktu terberat bagi Kholil bin Ahmad adalah waktu ketika dia harus makan. Masyaallah kebalikan dari kita ya, yang suka menunggu-nunggu kapan waktu makan. Bagi para ulama, untuk sekadar makan saja itu bisa cukup atau sangat mengganggu.
Kholil bin Ahmad adalah ulama yang sangat cerdas, lahir pada 100 H, wafat 170 Hijriah. Abu Khilal Al-Al-Asykari menanggapi perkataan Kholil bin Ahmad di atas: “Allahu Akbar, betapa fana dunia dalam ilmu yang dimilikinya, betapa hebat kecemburuan atas lenyapnya manfaat waktu di sisinya.”
Betapa fana dunia ini di hadapan Kholil bin Ahmad sampai-sampai makan saja menjadi sesuatu yang mengganggu khidmatnya kepada ilmu dan khidmatnya kepada umat.
Ada pula kisah Muhammad bin Hasan, diceritakan bahwa beliau termasuk yang tidak banyak tidur malam, kecuali sangat sedikit.
Masya Allah Tabarakallah, semoga dengan beberapa kisah Inspiratif para ulama saleh di atas menambah semangat kita agar semakin pandai memanage waktu. Pandai menghargai waktu dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Tidak terlena dengan fananya dunia, belajar dari zuhudnya para ulama.
[Ma]
Baca juga:

0 Comments: