Headlines
Loading...
Pengungsi Rohingya Terombang-ambing, Akibat Sekat Nasionalisme

Pengungsi Rohingya Terombang-ambing, Akibat Sekat Nasionalisme

Oleh. Umi Hafizha

Muslim Rohingnya, pengungsi yang terombang-ambing di lautan. Mereka menepi di wilayah saudaranya, namun hari ini mereka tidak lagi bisa leluasa, karena jumlah mereka yang cukup banyak.

Menurut catatan Amnesty, Selasa, 14/11/2023 lalu perahu yang berisi 194 pengungsi Rohingya yang berlabuh di Pidie, Aceh. Kemudian keesokan harinya kembali datang perahu berisi 147 pengungsi lagi ke Pidie. (Tirto.id, 24/11/23).

Sumber lokal di tempat kejadian menyebutkan bahwa kedua perahu tersebut diterima dengan baik dan semua pengungsi ada di tempat pengungsian. Perahu lain yang berisi 247 pengungsi Rohingya pada Kamis, 16/11/2023 mencoba turun di Bireuen, Aceh. Informasi dari sumber kredibel Amnesty menyebutkan bahwa penduduk setempat memperbaiki kapal yang ditumpangi dan menyediakan makan bagi penumpangnya.

Kendati demikian mereka ditolak dan mencoba kembali ke perairan Aceh Utara pada sore hari, namun kembali mendapat penolakan hingga Sabtu, 18/11/2023 para pengungsi Rohingya masih terombang-ambing di perairan Aceh. (BBC.News, 21/11/23).

Menanggapi hal itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lulu Muhammad Iqbal, menyampaikan bahwa Indonesia tidak memiliki kewajiban menerima pengungsi Rohingya. Hal itu berdasarkan pada aturan konversi 1951 dan Indonesia tidak ikut meratifikasi. Oleh sebab itu, Indonesia tidak mempunyai kewajiban dan kapasitas untuk menampung para pengungsi. Apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut. 

Dirinya menyindir negara lain yang meratifikasi konversi tersebut. Namun abai kepada urusan kemanusiaan Rohingya. Indonesia membuka bantuan semata karena urusan kemanusiaan. Tetapi ironisnya banyak negara berpihak pada konversi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi itu. Iqbal menegaskan jika ada banyak pihak yang akan memanfaatkan belas kasih kepada pengungsi untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Maka dari itu, Indonesia harus berhati-hati dalam menerima para pengungsi. (antaranews.com, 16/11/23).

Kondisi kaum muslimin Rohingya sudah dalam keadaan memprihatinkan, mereka terkatung-katung di lautan karena ingin menyelamatkan diri dari kejahatan rezim Myanmar. Mirisnya negara-negara tetangga justru menolak kedatangan mereka. Padahal Allah Swt. telah berfirman yang artinya, "...Akan tetapi mereka meminta pertolongan kepadamu dalam ( urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolonganmu, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Anfal: 72).

Pertolongan ini sulit dilakukan karena kaum muslimin saat ini tersandera oleh sekat-sekat nasionalisme barat. Akibat paham ini menimbulkan sikap Ashabiyah yang menghalangi ukhuwah Islamiyah antara kaum muslimin.

Sekat nasionalisme telah menghalangi negara-negara muslim, menganggap muslim Rohingya sebagai warga negaranya. Akibat nasionalisme muslim Rohingya hanya diposisikan sebagai orang-orang di kamp pengungsian, lebih dari itu kepemimpinan global yang dikendalikan oleh mindset kapitalisme semakin menambah enggannya menolong kaum muslim Rohingya.

Kapitalisme adalah paham yang berorientasi pada untung dan rugi. Maka pertolongan yang diberikan akan setengah-setengah. Mereka hanya mencukupkan pada bentuk-bentuk perlindungan melalui undang-undang, konversi dan sebagainya, namun nihil dalam penerapannya.

Kondisi pengungsi Rohingya akan sangat berbeda ketika kita berada di dalam negara Islam. Mereka akan mendapatkan jaminan keamanan dan perhatian termasuk kewarganegaraan. Negara akan mudah melaksanakan ini, sebab keberadaan negara merupakan pelindung bagi setiap muslim di manapun. Apalagi bagi kaum muslimin yang mendapatkan kezaliman. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuatannya." (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Imam An-Nawawi menjelaskan makna imam/Khalifah itu laksana perisai, maksudnya adalah tameng. Karena ia mencegah musuh menyerang (mendekati) kaum muslim. Mencegah masyarakat satu dengan yang lain dari serangan, melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekuatannya.

Apalagi Rasulullah saw. telah berpesan bahwa, "perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika ada satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan baik (sakit) demam dan tidak bisa tidur." (HR. Bukhari-Muslim).

Ketika di bawah khil4f4h kaum muslim tidak akan tersekat-sekat dengan batas-batas nation state. Mereka merupakan satu kesatuan di bawah akidah Islam dan negara Islam. Sehingga khil4f4h pun tidak segan-segan membela kaum muslimin yang teraniaya dan terzalimi. Khil4f4h akan mudah mengerahkan kekuatan para tentara untuk memerangi pihak-pihak yang melakukan kezaliman kepada kaum muslimin. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk penjagaan kemuliaan diri kaum muslimin. Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: