Headlines
Loading...
Ilusi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Demokrasi

Ilusi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Demokrasi

Oleh. Syamsiah, S.Pt (Aktivis Muslimah)

Indonesia bebas dari korupsi seperti mimpi di siang bolong. Ungkapan tersebut tidaklah berlebihan jika melihat realitas tingginya angka kasus korupsi yang terjadi hingga saat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menerima ribuan laporan dugaan korupsi dari masyarakat sepanjang 2023. Total, ada 3.544 aduan kasus dugaan korupsi yang diterima hingga Agustus tahun ini. Direktur Pelayanan Pelaporan dan Pengaduan Masyarakat KPK, Tomi Murtomo dalam keterangannya menjelaskan laporan itu masuk melewati berbagai macam aduan. Di antaranya melalui email, whistleblower system, datang langsung, pesan, surat, hingga telepon. Dia menyebut sebanyak 3.052 aduan yang diterima sudah diverifikasi (Liputan6.com 8/10/2023).

Korupsi merupakan masalah yang sulit untuk dihilangkan di negeri ini, yang mana tidak lagi bersifat kasuistik atau individual, tapi sudah bersifat sistemik dan dilakukan secara berkelompok. Korupsi di alam demokrasi telah merasuk ke setiap instansi pemerintah (eksekutif), parlemen (legislatif), peradilan (yudikatif) dan juga pihak swasta. Kasus korupsi yang lagi hangat jadi bahan perbincangan adalah yang menjerat Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, sehingga menambah daftar para menteri di era Jokowi yang masuk dalam pusaran korupsi. SYL diketahui sedang terseret kasus dugaan pemerasan dalam jabatan, gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Kementrian Pertanian yang ditangani KPK. Sejauh ini, sekitar Rp. 4,9 miliar pungutan dari pejabat Kementrian yang disetor untuk kebutuhan SYL beserta keluarganya, (Liputan6.com 8/10/2023).

Secara umum, pengertian korupsi adalah semua tindakan tidak jujur yang memanfaatkan jabatan atau kuasa untuk mendapatkan keuntungan bagi pribadi atau orang lain. Di Indonesia, tindak korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut, korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

Menurut Sudarsono (Kamus Hukum, hlm.231), korupsi didefenisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. Defenisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya (Erika Revida, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm 1).

Adapun penyebab timbulnya korupsi setidaknya ada empat faktor yakni pertama, faktor lemahnya karakter individu, seperti sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya tanpa memperhatikan halal haramnya penghasilan yang diperolah. Kedua, faktor lingkungan atau masayarakat yang menganggap bahwa suap atau memberi hadiah itu adalah boleh-boleh saja selama tidak merugikan orang lain. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, yang tidak memberi efek jera bagi para pelakunya hingga ada juga yang terbebas dari hukuman karena adanya “orang dalam”. Keempat, adalah faktor ideologis dimana tumbuhnya nilai-nilai kebebasan dari setiap individu, gaya hidup hedonis serta diterapkannya sistem sekuler demokrasi yang mendorong terjadinya tindak pidana korupsi.

Sebenarnya, pemerintah sendiri telah berupaya melakukan tindakan pemberantasan korupsi yang sudah menyasar pada seluruh lingkup masyarakat dari lapisan atas hingga masyarakat kecil agar negara Indonesia tidak mengalami kemerosotan di berbagai aspek dan bidang karena dampak dari adanya korupsi. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi terdiri dari upaya pencegahan, upaya penindakan, dan upaya edukasi. 

Adanya lembaga independen Komisi Pemberantasan Korpusi (KPK) pun dibentuk dalam rangka untuk memberantas tindak pidana korupsi. Hanya saja pada perjalanannya lembaga ini belum berhasil merealisasikan tujuan dari berdirinya. Ditambah lagi sanksi yang diberikan pada pelaku korupsi tidak memberikan efek jera, sehingga muncul koruptor-koruptor baru, Maka tidak heran jika jumlah kasus korupsi bertambah dari tahun ke tahun. Sehingga pemerintah dinilai terkesan setengah hati dalam menyelesaian permasalahan ini.

Dengan mencermati berbagai kasus korupsi yang ada hari ini, dimana jumlahnya bukan menurun justru kebalikannya, semua menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini hanya ilusi.

Pembentukan KPK nyatanya tak mampu menghentikan laju korupsi. Apalagi dengan adanya berbagai pelanggaran yang terjadi di lembaga anti ‘riswah’ ini. 

Diterapkannya sistem demokrasi kapitalis yang menjadikan materi sebagai tolak ukur kebahagian dan pencapaian/kesuksesan duniawi (faktor ideologis) adalah faktor utama muncul dan berkembangnya kasus korupsi. Terlebih lagi dalam sistem ini untuk memilih penguasa yang akan duduk di pemerintahan dan juga anggota dewan yang duduk di parlemen mengharuskan mereka untuk mengeluarkan biaya yang begitu besar, Sehingga ketika terpilih, sudah barang tentu berusaha untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat kampanye.

Sementara itu, dalam perspektif syariah Islam, korupsi disebut dengan perbuatan khianat, termasuk didalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau diercayakan kepada seseorang. Tindakan ini tidak termasuk dalam pengertian mencuri (sariqah) dalam syariah Islam, karena makna mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam. Sedangkan khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tetapi tindakan penghianatan yang dilakukan oleh seseorang yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepeda orang tersebut. Jika hukuman yang diberikan kepada pencuri adalah dengan memotong tangannya maka berbeda halnya dengan korupsi.

Dengan demikian, maka sanksi yang diberikan kepada pelaku khianat bukanlah potong tangan bagi pencuri sebagaimana dalam QS. Al Maidah ayat 38, “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, pontonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbatan yang mereka lakukan dan sebagai sisksaan dari Allah”, melainkan sanksi ‘takzir’ yakni jenis dan kadar sanksinya ditentukan oleh seorang hakim. Termasuk didalamnya adalah para koruptor. Adapun bentuk sanksinya bisa dimulai dari yang paling ringan seperti hanya dinasehati, atau ditegur hakim, dipenjara, pengenaan denda, hukum cambuk, hingga hukum yang paling tegas yakni hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ‘takzir’ disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm 78-89).

Islam memiliki langkah-langkah preventif untuk mencegah korupsi diantaranya adalah pola rekrut SDM aparatur negara yang wajib berlandaskan pada integritas dan pofesionalitas, bukan karena faktor hubungan kedekatan, suka atau tidak suka. Terkait hal ini Umar bin Khaththab pernah berkata, “Barangsiapa mempekerjakan seseorang karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin”. Sehingga orang-orang yang bekerja adalah yang memiliki kualitas dan mampu bekerja sesuai dengan kapasitasnya.
Selanjutnya dilakukan pembinaan terhadap para pegawai pemerintah terkait amanah serta tanggung jawab yang diemban yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban disisi Allah. Disamping itu Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para pegawai negara, sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil di luar itu adalah harta yang curang” (HR Abu Dawud). 

Islam juga memerintahkan untuk dilakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara, disamping adanya keteladanan kepemimpinan serta pengawasan yang begitu ketat oleh negara dan masyarakat. Sehingga berbagai langkah ini dapat mencegah terjadinya korupsi. Begitulah Islam mencegah terjadinya kasus korupsi dan bagaimana menyelesaikannya jika korupsi terlah terjadi, sungguh Islam begitu sempurna. 

Maka sudah saatnya kaum muslim mencampakkan sistem demokrasi yang menumbuh suburkan  korupsi dan menggantinya dengan Islam. Wallahualam bisshawab. [Ma]

Baca juga:

0 Comments: