
OPINI
Hipokrit Rasisme dan HAM, Cerminan Sistem Tambal Sulam
Oleh. Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Prancis tengah dirundung duka. Pasalnya, kerusuhan besar terjadi di Kota Paris. Kejadian bermula saat seorang pria keturunan Afrika Utara, Nahel M (17) ditembak polisi secara brutal karena melanggar lalu lintas (republika.co.id, 2/7/2023). Kejadian ini terjadi pada 27 Juni 2023 lalu (Radar Bogor, 8/7/2023). Alasannya, remaja tersebut melanggar lalu lintas dan menolak penahanan. Sontak tragedi ini memantik aksi protes publik.
Rasisme, Konsep Merusak ala Sekulerisme Liberal
Dilansir dari AntaraNews.com (30/6/2023), ibu Nahel M, mengungkapkan bahwa motif penembakan dipastikan rasialisme. Ibu Nahel mengungkapkan bahwa polisi itu melihat seorang wajah, anak kecil Arab dan ingin mengambil nyawanya.
Polisi Prancis dianggap menjadi biang kerok kerusuhan. Aksi rusuh yang membara semakin mengeruhkan suasana. Puluhan ribu pasukan keamanan dikerahkan oleh pemerintah setempat. Tak tanggung-tanggung ada sekitar 3000 remaja ditahan karena melakukan aksi protes sekaligus aksi penjarahan yang menimbulkan kekacauan di tengah kota (Radar Bogor, 8/7/2023). Kerusuhan terjadi di 13 titik di pusat Kota Paris. Kerusuhan ini berdampak serius. Setelah hari keempat kerusuhan terjadi kebakaran yang mencapai 2.560 di area publik. Dilaporkan ada sekitar 1.350 kendaraan dan 235 gedung rusak dibakar.
Badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengaku prihatin atas tragedi yang menimpa Prancis. PBB pun mengharapkan agar Prancis sigap menangani isu rasisme dan diskriminasi dengan solusi yang mendalam di lembaga-lembaga hukum mereka (republika.co.id, 2/7/2023).
Peristiwa tersebut membuktikan betapa buruknya konsep HAM yang diterapkan saat ini. Tragedi ini jelas menggambarkan hal yang paradoks. Konsep yang menjunjung tinggi kebebasan, nyatanya tak berlaku bagi ras kulit hitam dan muslim.
Konsep HAM digadang-gadang negara Barat untuk mewujudkan kedamaian dunia. Karena Hak Asasi Manusia dianggap hal paling penting yang harus diperjuangkan. Semua konsep di dalamnya dipercaya dapat memberikan kebahagiaan kepada seluruh manusia karena seluruh manusia mendapatkan segala yang dibutuhkannya.
Namun sayang, ternyata konsep ini keliru. Konsep yang diusung oleh sistem sekularisme yang meniadakan agama dari kehidupan, segala prinsipnya didasarkan pada hasil pemikiran akal manusia. Dengan adanya konsep ini, rasialisme tercipta. Setiap manusia menganggap setiap rasnya lebih baik daripada ras lainnya. Semua ini muncul sebagai hasil dari ikatan emosional.
Dalam Kitab Nidzamul Islam, Syekh Taqiyuddin An Nabhani mengungkapkan bahwa ikatan emosional umumnya terjadi pada masyarakat primitif. Taraf berpikir yang rendah dan wawasan yang sempit. Sehingga jika rasnya atau keluarganya memiliki kekuasaan maka secara wajar mereka menginginkan perluasan kekuasaan. Perasaan demikian akan semakin tumbuh subur dalam demokrasi kapitalisme.
Setiap aturan yang tercantum dalam sistem demokrasi meniscayakan setiap aturan dibuat oleh manusia. Sekumpulan manusia dapat dengan mudah bersepakat membuat aturan sesuai kepentingan yang dikehendakinya. Sehingga wajar adanya saat rasisme terus ada dan muncul dimana-mana. Alhasil, perselisihan dan pertikaian terus terjadi di tengah kehidupan masyarakat.
Sistem Islam Meniadakan Rasisme
Konsep rasisme tak ada dalam syariat Islam. Meskipun Islam dilahirkan di negeri Arab, namun Allah Swt. menegaskan tak ada beda antara orang Arab dan bukan Arab. Kedudukan manusia sama di hadapan Allah Swt. Tak ada perbedaan pada diri manusia. Yang menjadi pembeda hanyalah ketakwaan individu.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."
(TQS. Al-Hujurat: 13)
Tercatat dalam sejarah kegemilangan Islam selama 1300 tahun, terwujud kerukunan dan keharmonisan antara berbagai ras, suku bangsa, berbagai bahasa hingga warna kulit yang berbeda. Semua menerapkan konsep syariat Islam yang mengutamakan ketundukan kepada Allah Swt. semata. Alhasil, ketundukan tersebut melahirkan pribadi-pribadi yang taat syariat. Sehingga tercipta perilaku positif berdasarkan standar syariat Islam yang shahih.
Sesuai dengan kisah seorang Bilal bin Rabah, seorang yang awalnya adalah budak dari Habasyah (Ethiopia), negara Afrika yang potensial mendakwahkan Islam. Menjadi muadzin pertama saat ajaran Islam baru tumbuh. Tugas ini diamanahkan Rasulullah saw. kepada Bilal bin Rabah karena kekokohan imannya kepada Allah Swt. Kisahnya abadi hingga kini.
Wallahu a'lam bisshowwab. [my]
Baca juga:

0 Comments: