
Oleh. Ratty S Leman
Alhamdulillah, Faiz sejak kecil harus sudah masuk play grup untuk sosialisasi dan interaksi dengan anak-anak lain. Cukup sulit waktu itu mencari play grup karena belum familiar anak-anak usia 2 tahun harus 'sekolah', lebih tepatnya bermain yang terstruktur dan terarah.
Alhamdulillah bersyukur ketika TK ada TK baru di depan rumah sehingga Ning tidak kesulitan ketika harus berbagi tenaga dengan bayi yang dikandungnya.
Alhamdulillah, SDIT baru pun hadir relatif dekat dengan tempat tinggal mereka. Tak ada hambatan berarti untuk mencari sekolah bagi Faiz saat itu. Kesulitan baru di dapat ketika Faiz lulus SD dan harus mencari SMP.
*
"Mau SMP mana Mas nanti sekolahnya?" tanya Ning pada Faiz.
"SMP Insan," kata Faiz tegas.
Mengapa harus SMP Insan?" tanya Ning lagi pada anaknya.
"Kata Pak Jafar, kalau anak SD Insan sebaiknya meneruskan ke SMP Insan agar sholatnya terjaga dan pergaulannya terjaga," begitu jelas Faiz.
Ning pun merasa biasa mendengar arahan guru seperti itu. Perjuangan untuk mencari SMP pun dimulai. Mendaftar, test tertulis dan test wawancara. Sampai pada saat pengumuman, ternyata nama Faiz dan seorang temannya tak tercantum di papan pengumuman. Kagetlah Ning dan suami. Mereka meminta pihak sekolah menjelaskan mengapa Faiz tidak diterima? Apakah hasil testnya jelek dan tidak lulus wawancara? Jika melihat hasil nilai ijazah dan ujian nasional nilai Faiz lebih tinggi dari teman-temannya yang lain yang diterima.
Akhirnya pihak sekolah menjelaskan jika di SMP tidak ada guru yang kompeten untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus.
Ning dan suami pun bertanya, "Memang selama ini, di sekolah SD ada guru yang berkompeten mendampingi Faiz?" Toh pada faktanya Faiz diperlakukan sama dengan siswa yang lainnya dan Alhamdulillah dia sanggup. Faiz didampingi 'shadow' hanya sampai kelas 3. Itulah sekolah inklusi, menerima IBK (Insan Berkemampuan Khusus) di dalam kelas biasa.
Namun ternyata managemen dan kebijakan SD dan SMP berbeda. Ning dan suami harus menerima kenyataan pahit itu. Belum ada kesepakatan antara SD dan SMP meski dalam satu yayasan. SD sangat menginginkan lulusannya bisa masuk SMP yang sama, namun pihak SMP belum siap. Akhirnya Ning dan suaminya Kenang mencari sekolah lain. Di dapatlah sekolah SMP Negri. Ternyata Faiz belum mau ke SMP Negri tersebut. Faiz masih teringat dengan pesan gurunya tersebut bahwa anak SD Insan sebaiknya masuk SMP Insan. Faiz menanyakan mengapa dia tidak diterima sedangkan temannya yang nilainya lebih kecil dari dia diterima. Ning menjelaskan jika SMP belum siap menerima dia.
Namanya anak-anak. Sudah dijelaskan belum paham-paham juga. Faiz masih berpedoman dengan kata-kata gurunya. Seharusnya saat gurunya menjelaskan hal itu, Faiz tidak sedang di tempat itu. Tapi qadarullahnya begitu, gurunya menjelaskan di kelas sehingga semua siswa mendengar nasehat itu. Sebenarnya tidak ada yang salah. Yang salah adalah ketidaksepakatan antara SD dan SMP dalam menerima siswa yang masuk kategori IBK dan Faiz adalah korbannya.
Susah payah Ning dan Kenang menjelaskan kepada Faiz mengapa dirinya tidak diterima di SMP pilihannya dan menjelaskan juga SMP Negri yang juga sekolah yang bagus dan tepat untuknya. Hatinya masih di nama sekolah yang lama, belum bisa 'move on'. Pelahan-lahan dipahamkan kepadanya.
*
Hingga suatu siang ada telpon dari Bu Sri sesama orangtua IBK yang anaknya juga tidak diterima di SMP yang sama. "Bu, kita ke Dinas Pendidikan yuk. Ini saya disuruh Pak Adi dari Yayasan ke Dinas untuk mencari informasi tentang SK keharusan semua sekolah menerima IBK" kata Bu Sri." O, boleh" sahut Ning.
Pergilah mereka keesokan harinya ke Dinas Pendidikan. Alhamdulillah mereka ditemui Bu Atit ketua dinas dan Pak Ari ketua kurikulum. "Ada keperluan apa ibu-ibu ke sini" tanya Bu Atit ramah. Bu Sri menjelaskan keperluan mereka ke dinas ini adalah saran dari yayasan sekolah untuk menanyakan apakah ada ketentuan SK bahwa setiap sekolah harus menerima anak IBK.
Pak Ari tersenyum dan bertanya, "Ibu-ibu punya nomor yayasan yang menyarankan ibu-ibu ke sini?" Bu Ning dan Bu Sri saling berpandangan, mereka ternyata belum punya nomor dari pihak yayasan yang menyuruh mereka mencari info ke dinas. Bu Sri menjelaskan, kebetulan jika no telpon bapak yayasan mereka belum punya. Tapi nomor telpon kepala sekolah SMP ada. Maka diberikanlah nomor kepala sekolah SMP itu kepada Pak Ari bagian kurikulum.
Pak Ari segera menghubungi nomor tersebut. Tak disangka tak diduga, kagetlah Bu Ning dan Bu Sri ini ketika mendengar percakapan Pak Ari dan kepala sekolah. Pak Ari langsung mengatakan, "Siang Pak, ini dari Dinas. Bagaimana ini sekolah kok menyuruh ibu-ibu ke dinas untuk mencari tahu ada tidaknya SK bahwa setiap sekolah harus menerima IBK. Bagaimana sekolah mau diakreditasi jika untuk urusan SK saja tidak tahu. Apa tidak bisa mencari diinternet?"
Dug, kagetlah mereka. Bu Ning dan Bu Sri menjelaskan bahwa bukan kepala sekolah itu yang menyuruh mereka ke dinas ini, tapi salah seorang bapak dari pihak yayasan yang menyuruh.
Ternyata Pak Ari mengatakan, "Tidak apa-apa Bu, sama saja. Intinya mereka tidak mau menerima IBK. Sudahlah, ibu-ibu ini sekarang tidak usah berharap kepada sekolah yang belum mau menerima IBK. Cari sekolah yang mau menerima. Jika ada sekolah lain lagi yang tidak mau menerima IBK ini lapor lagi ke kami. Nanti akan kami tegur."
Wah, tak diduga ternyata begini akibatnya. Bu Ning dan Bu Sri pergi ke Dinas Pendidikan semata-mata karena saran pihak yayasan untuk mencari info SK tentang keharusan sekolah menerima IBK, namun ternyata yang ditelpon bukan bapak yang menyarankan kami, tapi bapak lain yakni kepala sekolah SMP. Wah, nanti pasti jadi bahan pembicaraan.
Ternyata dugaan mereka betul. Di sekolah beredar isu jika Bu Ning dan Bu Sri melaporkan kasus anak mereka yang tidak diterima ke pihak Dinas Pendidikan. Ada ibu-ibu yang judes bicara, "Gak diterima mah, terima aja kenyataan. Cari sekolah lain. Jangan asal main lapor."
Isu semakin melebar dan Ning merasa terpojok. Ning berdoa kepada Allah. Dirayunya dan dipahamkannya terus ke Faiz tentang makna mencari ilmu. Di sekolah mana pun Faiz akan bisa menjaga sholatnya dan menjaga pergaulannya.
"Di SMP yang baru guru-gurunya lebih senior dan lebih berpengalaman dalam mendidik siswa. Pasti Faiz suka," kata Ning meyakinkan anaknya.
Beberapa kali Faiz diajak ke SMP yang dituju. Mengenal lingkungan sekolah dan berkenalan dengan para guru. Alhamdulillah akhirnya dia mau. Alhamdulillah, Ning dan Kenang lega, akhirnya anaknya mendapatkan hak untuk bisa bersekolah sesuai kemampuannya.
Baca juga:

0 Comments: