
Oleh. Ana Mujianah
"Ah, kamu nggak akan bisa menang lomba hafiz qur'an. Kamu kan nggak belajar di Rumah Qur'an. Pasti kamu kalah!" ujar Haykal menyangsikan Aldi saat bocah sebelas tahun itu ikut mendaftar lomba tahfiz qur'an yang diadakan remaja masjid di RW tempat mereka tinggal. Namun, Aldi bergeming. Bocah laki-laki itu tetap tenang menanggapi ejekan Haykal. Tekadnya kuat untuk ikut lomba.
"Kak Ustaz, Aldi ingin ikut lomba hafiz qur'an." Aldi tetap maju ke meja panitia pendaftaran lomba. Haykal yang melihat itu semakin geram, menganggap Aldi berani menantangnya.
"Kamu dari rumah qur'an mana? Atau TPQ mana?" tanya seorang pemuda yang dipanggil Kak Ustaz itu. Aldi pun hanya bisa menggeleng lemah mendapat pertanyaan seperti itu.
"E-e, saya nggak dari rumah qur'an mana-mana, Kak Ustaz," jawab Aldi pasrah. Panitia sekilas saling pandang, tapi akhirnya meloloskan Aldi untuk ikut lomba tahfiz juz 30.
Binar semangat terpancar dari wajah polos bocah laki-laki yang duduk di kelas 5 Sekolah Dasar itu. Setelah menerima amplop sebagai bukti pendaftaran lomba, Aldi bergegas mengambil sepeda BMX-nya di parkiran masjid. Dengan senyum ceria, Aldi mengayuh sepeda menuju rumahnya yang terletak di RT sebelah dari lokasi masjid.
Tak peduli gerimis, bocah itu terus mengayuh sepedanya. Ia tak sabar menyampaikan kepada ibunya di rumah. "Ibu pasti senang, aku berani ikut lomba," batin Aldi sambil terus mengayuh sepedanya lebih kencang.
**
"Aldi, kamu yakin mau ikut lomba, Nak?" tanya Hana saat menerima kertas bertuliskan nomer urut lomba tahfiz juz 30 dari putranya. Matanya bergantian memandang Aldi kemudian beralih lagi pada kertas berkop Panitia Lomba Masjid Nurul Iman.
"Iya, Bu," angguk Aldi yakin. Namun, sesaat kemudian senyum ceria itu memudar.
"Kenapa?" tanya Hana heran melihat perubahan sikap putranya yang tiba-tiba. Wanita itu kemudian mendekat. "Sini, duduk sini, minum air putih dulu lalu cerita ke ibu," sambung Hana sambil menyodorkan air putih.
"Kenapa ... Aldi tiba-tiba seperti tidak semangat gitu? Aldi masih ragu untuk ikut lomba?" Hana mengusap punggung dengan tulang menonjol anak laki-laki sebelas tahun itu lembut.
"Kan hafalan Aldi sudah banyak. Juz 30 sudah selesai dihafal kan?" lanjut Hana.
"Iya sih, Bu. Tapi, ...." jawab bocah laki-laki itu ragu.
"Tapi apa, Nak?" desak ibunya.
"Aldi kan nggak pernah belajar di rumah qur'an seperti teman-teman, Bu. Kata Haykal Aldi pasti kalah," ucapnya lirih. Perkataan Haykal ternyata terngiang terus di benaknya.
"Teman-teman Aldi semua belajar di rumah qur'an, bacaanya bagus-bagus, Bu," lanjut bocah itu dengan wajah tertunduk sedih. Di satu sisi dia ingin sekali mengikuti lomba tersebut, tapi di sisi lain rasa minder masih menguasai kepercayaan dirinya. Hanya karena dia tidak belajar di rumah qur'an. Hana pun langsung memeluk putranya. Tak terasa, pipinya telah basah dengan bulir-bulir hangat yang tak bisa ia tahan.
"Aldi, meski Aldi tidak belajar di rumah qur'an, Aldi kan bisa menghafal sama Ibu di rumah. Insya Allah Ibu bisa mengajari Aldi membaca Al Qur'an yang baik dan benar," bujuk wanita muda lulusan pesantren itu dengan lembut.
Hana mengusap cairan hangat yang masih mengalir di pipinya. "Seandainya Mas Ilham masih ada," bisiknya lirih. Wanita itu segera memalingkan muka menyamping dari putra semata wayangnya. Hana tidak ingin Aldi melihat Ibunya sebagai wanita yang lemah dan cengeng.
Hana bukan tidak ingin memasukkan Aldi ke rumah qur'an untuk meningkatkan kualitas bacaan dan hafalan Aldi putranya. Namun, sebagai single parent, penghasilan Hana sebagai guru SD honorer hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Aldi ... menang atau kalah tidak jadi masalah buat Ibu. Yang penting, Aldi sudah berani tampil ikut mensiarkan Al Qur'an, Nak."
"Jadi, Aldi harus semangat. Jangan, belum apa-apa sudah nyerah," sambung wanita itu untuk menyemangati putranya.
"Insya Allah, nanti Ibu akan bantu Aldi murojaah. Gini-gini, Ibu dulu juga pernah juara lomba tahfiz, lho."
"Iya, Bu? Ibu menang lomba tahfiz juz berapa?" tanya Aldi antusias.
"Memang sih, Ibu belum sampai tuntas menghafal 30 juz."
"Makanya, Ibu pengen Aldi meneruskan cita-cita Ibu menjadi hafiz qur'an 30 juz." Aldi manggut-manggut mendengar penjelasan ibunya. Semangatnya kembali bangkit. Demi mewujudkan cita-cita ibunya dan membuat ayahnya bangga, Aldi berjanji ingin menjadi penghafal Al-Qur'an.
**
"Aldi Ardiansyah," panggil panitia lomba. Aldi maju dengan penuh percaya diri setelah hampir sebulan murojaah hafalan bersama ibunya di rumah. Aldi pun lancar membacakan satu surah wajib dengan bacaan yang fasih dan merdu.
Dalam sesi sambung ayat, Aldi selalu duluan angkat tangan. Setiap penggalan surat yang dibacakan oleh penguji, Aldi serasa mendengar suara ibunya membacakan ayat-ayat tersebut, karena setiap pagi sebelum berangkat sekolah hal itu menjadi rutinitas wajib bagi Aldi, yaitu sambung ayat.
Saat tiba pengumuman hasil lomba. Aldi celingukan mencari ibunya. Namun, belum nampak sosok wanita itu. Aldi pun pasrah menunggu pengumuman hasil lomba itu sendirian. "Mungkin ibu masih repot di rumah," pikirnya.
"Aldi Ardiansyah." Karena memikirkan ibunya yang belum datang, Aldi kaget namanya dipanggil lagi. Rupanya Aldi yang menjadi pemenang lomba tahfiz juz 30 tersebut. Aldi pun melangkah gontai untuk mengambil hadiah, sertifikat, dan replika mahkota untuk diberikan kepada ibu masing-masing peserta lomba.
Setelah mengambil hadiah, dari seberang jalan nampak seorang wanita berkerudung lebar tergopoh-gopoh menuju masjid.
"Ibu." Aldi segera berlari menghampiri ibunya.
"Ibu, bukan hadiah ini yang Aldi cari. Aldi hanya ingin memakaikan mahkota ini untuk ibu. Kenapa Ibu lama? Setelah ini, Aldi janji Bu, akan berusaha mewujudkan keinginan ibu, menjadi penghafal Al Qur'an." Hana langsung memeluk putranya haru. Dalam hati terselip doa, semoga Allah memudahkan jalan putranya menghafal Al Qur'an.
TAMAT
Baca juga:

0 Comments: