
cerpen
"Dimanakah Ayahku, Bu?"
Oleh. Dewi Irawati Artati
Siang itu, Aisyah pulang dari sekolah dengan berlari menuju rumahnya. Dengan mata sembab ia langsung mencari ibunya dan segera memeluk sang Ibu.
Ia pun bertanya sambil tergagap, "Ibu, di mana ayahku? Kenapa aku tidak punya ayah...?"
Arini terdiam. Bukan kali ini saja gadis kecilnya itu bertanya tentang ayahnya. Tapi, kali ini, tak seperti biasa, ia bertanya sambil menangis. Seakan menggambarkan kesedihannya.
"Tenang Aisyah, ayah masih bekerja di tempat yang jauh....sekali. Aisyah berdoa ya, semoga ayah bisa cepat pulang," Jawab ibunya sambil mengusap air mata Aisyah.
"Aisyah sedih Bu, teman-teman sekelas tadi mengejekku, katanya aku tidak punya ayah," curhat Aisyah sesenggukan.
"Sabar Aisyah, karena Allah sayang sama orang-orang yang mau bersabar," hibur ibunya sambil tersenyum.
Aisyah pun mengangguk, ia pun berkata, "Aisyah janji Bu, Aisyah kuat dan tidak akan menangis lagi."
"Hebat, anak ibu! Nah, gitu dong," puji Arini lega.
Sudah bertahun-tahun suami Arini tidak pulang dan tak tentu rimbanya. Sejak pertengkaran di malam itu, Arya, suami Arini pergi dari rumah, lantaran tak kuasa dengan kata-kata Arini.
"Lebih baik mas Arya pergi dari sini, daripada menganggur nggak jelas! Terus anak-anak mau dikasih makan apa?" Seru Arini penuh emosi.
Arya pun menanggapi perkataan Arini dengan serius, "Apa kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu itu? Kalau itu yang kau mau, baiklah, mulai detik ini jangan pernah kau tunggu kepulanganku," ujar Arya dengan suara berat. Arini hanya terdiam, dengan perasaan campur aduk.
Ia pandangi ketiga anaknya yang masih tertidur pulas. Waktu itu, Aisyah masih belum lahir. Ketiga kakak Aisyah, juga masih kecil-kecil. Bahkan Arya dan Aisyah tak menyadari kalau Aisyah telah berbadan dua waktu kejadian itu.
Dengan pikiran kalut, Arya melangkah dengan memanggul tas ransel berisi pakaian di pundaknya. Ia berjalan menembus gelapnya malam dengan hati teriris pilu, membayangkan wajah istri dan anak-anaknya yang dia tinggalkan di rumah peninggalan mertuanya itu.
"Maafkan aku Arini.." batinnya pilu.
Sementara itu, Arini baru menyadari kalau Arya benar- benar pergi meninggalkannya. Ia tak menyangka, perkataannya tadi benar-benar dianggap serius. Padahal, itu hanyalah luapan emosi seorang istri yang sedang kalut, karena pada saat itu, Arya baru saja berhenti bekerja dari perusahaannya karena perampingan karyawan. Arya pun menganggur selama satu bulan, dan belum mendapatkan pekerjaan penggantinya. Sehingga hancurlah perekonomian mereka, karena tak ada pemasukan sama sekali. Mereka hanya mengandalkan tabungan yang tak seberapa, yang hanya cukup mereka gunakan dalam waktu dua minggu saja. Begitulah awal percekcokan mereka.
Walaupun begitu, mereka tak pernah bertengkar di depan anak-anak. Hanya di waktu malam ketika mereka sedang tertidur, keduanya berkeluh kesah.
Keesokan harinya, Arini memulai kehidupan tanpa seorang suami. Ia pun mencari cara bagaimana agar ketiga anaknya bisa bertahan hidup.
Kebetulan, rumahnya dekat dengan persawahan, dan pada waktu itu sedang musim panen padi. Dengan membuang rasa malu dan tak menghiraukan teriknya matahari ia mencari sisa-sisa padi yang masih menempel ditumpukan jerami yang sudah dipanen. Ia gerakkan tangannya dengan sebilah bambu agar sisa-sisa padi itu rontok di karung yang dia gelar dibawahnya. Setelah padi-padi itu terkumpul cukup banyak, ia menjualnya kepada pengepul. Lalu hasilnya ia belikan kebutuhan sehari-hari.
Sejak kepergian suaminya, begitu sulit kehidupan mereka. Bisa makan satu kali sehari saja, mereka sangat bersyukur. Arini juga menyesali atas perkataannya pada waktu itu. Istighfar selalu ia ucapkan di setiap penghujung malam.
"Ya Allah, ampunilah hambamu ini, lindungilah suamiku dimana pun dia berada dan kembalikanlah dia kepada kami," doa Arini yang selalu terucap.
Satu bulan telah berlalu, namun sang Suami yang selalu dia nanti tak kunjung datang. Hingga suatu hari Arini jatuh pingsan akibat kelelahan. Para tetangga pun menolongnya dan memanggil perawat terdekat untuk memeriksa keadaan Arini.
Dalam setengah sadar Arini berucap,"Saya sudah 2 bulan ini telat bu."
Ibu perawat itu pun tanggap dan memeriksa perut Arini. Setelah Arini tersadar, ia juga menyuruhnya untuk mengujinya dengan test pack. Dan hasilnya menunjukkan garis dua yang sangat jelas. Perawat itu menyatakan bahwa usia kehamilannya sudah masuk dua bulan.
Ariani tak berkata apa-apa. Dia pasrah dengan keadaan itu. Namun ia tetap tegar. Sedikit pun ia tak pernah mengeluh apalagi meratapi nasibnya itu.
Tujuh bulan kemudian, lahirlah bayi perempuan, yang ia beri nama Aisyah. Kini anaknya menjadi empat orang. Artinya bertambah besarlah beban dipundaknya. Namun ia berusaha tegar demi keberlangsungan hidup bersama anak-anaknya.
Demi menyambung hidup, Arini berjualan kue kecil-kecilan. Setiap pagi, ia pergi ke pasar untuk menjajakan barang dagangannya. Walaupun hasilnya tak seberapa, tetap ia syukuri.
Kini Aisyah telah berusia tujuh tahun. Ia duduk di kelas 1 SD. Walau ia terlahir dari keluarga yang kekurangan, tak membuatnya malas ataupun malu. Ia semangat sekali untuk bersekolah, begitu juga dengan kakak-kakaknya. Masing-masing dari mereka mempunyai prestasi yang cukup baik di sekolah. Hal itu membuat Arini merasa bersyukur dan bangga terhadap mereka.
Aisyah juga periang dan mudah bergaul dengan teman-temannya. Walau terkadang ada beberapa anak yang suka mengejeknya karena ia tak pernah terlihat bersama sang Ayah.
"Aisyah tak punya Ayah...! Aisyah tak punya Ayah...!" begitulah ejekan yang sering ia dengar dari beberapa temannya.
Kalau sudah seperti itu, ia langsung menangis sedih dan pulang mencari ibunya. Ibunya pun memberi pengertian bahwa Aisyah harus bersabar, dan selalu menyemangtinya, suatu saat pasti ayahnya akan pulang.
Kini Aisyah tak lagi menanggapi bila ada temannya yang mengejek. Ia tumbuh menjadi anak yang tegar, setegar ibunya. Dalam doanya ia selalu memohon agar ayah yang dinantinya akan kembali di tengah keluarganya.
Tahun demi tahun telah berlalu, namun sang Ayah yang telah lama mereka nantikan, tak jua kembali. Tak ada kabar tentangnya, seolah telah hilang ditelan bumi. Mereka sudah terbiasa hidup tanpa sosok seorang ayah.
Malam itu, udara terasa dingin. Apalagi setelah hujan sejak sore tadi, aroma tanah yang basah pun menyebar terbawa angin malam. Arini sedang asyik mendampingi anak-anaknya belajar di ruang tengah.
"Tok,tok,tok," terdengar suara pintu diketuk.
"Tak biasanya, ada yang bertamu malam-malam begini," gumam Arini.
Seisi rumah pun saling berpandangan.
"Siapa itu, Bu?" tanya Aisyah penasaran.
"Ibu juga tidak tahu," sahut Arini sambil berdiri dan berjalan menuju pintu.
Pelan pelan dibukanya pintu itu. Nampak sesosok laki-laki di hadapannya. Arini mengamatinya dari kepala hingga ujung kakinya. Lalu kembali menatap wajah lelaki itu.
"Mas Arya?" ucapnya lirih. Seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Anak-anaknya pun segera berhamburan keluar, mendengar nama ayahnya disebut. Kecuali Aisyah.
Mereka memandangi lelaki itu. Ada yang lain diwajahnya, dagunya berjenggot, dan kulitnya nampak menghitam dan agak keriput. Namun mereka tetap mengenali wajah ayahnya. Ketiga anaknya berteriak dan memeluknya.
"Ayah...!"
Arini hanya diam terpaku. Begitu juga dengan Aisyah, dia hanya mengenali wajah ayahnya dari album photo keluarganya.
Ia menghampiri ibunya, dan memegang tangan ibunya sambil bertanya, "Siapa dia bu?"
Dengan air mata terurai, ia menjawabnya dengan tersendat-sendat, "Dialah Ayahmu, Aisyah..."
Mendengar jawaban ibunya, Aisyah terdiam dan bersembunyi dibalik daster ibunya. Perasaannya bercampur aduk, antara bahagia dan takut.
"Siapakah dia, dik?" Arya juga bertanya.
Arini pun menjawabnya dengan cerita yang sangat panjang. Suasana berubah menjadi sendu. Seolah mereka kembali dimasa silam. Arya pun tak kuasa, dan menangis menyesali apa yang telah terjadi.
"Maafkan aku Arini, seharusnya aku tak meninggalkan kalian waktu itu. Aku termakan oleh ucapanku sendiri, bahwa aku tak akan pernah kembali di sini. Tapi, hatiku tak bisa ku bohongi. Bertahun-tahun aku menahan rasa rinduku pada kalian." ucap Arya sambil beruraian air mata.
"Maafkan aku juga Mas, tak seharusnya aku ucapkan kata-kata itu," jawab Arini tak kalah deras air matanya bercucuran.
"Anak-anak, maafkan ayah dan ibu ya?" lanjut Arini.
Keempat anak itu pun mengangguk.
"Tak mengapa, ibu, mungkin ini sudah menjadi ketetapan Allah," sahut dini, si sulung, menenangkan ibunya yang semakin merasa bersalah.
"Aisyah, kemarilah, salim sama Ayah gih!" seru Arini kepada Aisyah.
Perlahan, Aisyah mendekati Arya dengan penuh rasa malu dan takut, karena baru pertama kalinya Aisyah melihat sang Ayah secara nyata.
Arya pun menghampirinya dan memeluk Aisyah. Tangisnya pun pecah lagi. Begitu juga Aisyah. Baru kali ini ia merasakan bahagia mempunyai seorang ayah. Kini ia tak lagi bertanya dimanakah sang Ayah berada.
Namun pertemuan itu hanya sebentar saja. Arya merasa tak pantas menjadi suami Arini, yang terlalu lama ia tinggalkan. Tapi ia bertanggung jawab akan memberi nafkah untuk anak-anaknya. Karena, walau bagaimana pun mereka tetap berstatus ayah dan anak. Dengan berat hati, arya pun berpamitan untuk pergi lagi.
"Arini, maafkan aku, terimakasih sudah menjadi ibu yang baik. Terimalah ini untuk kebutuhan kalian," ucap arya gemetar sambil menyerahkan sebuah tas berisi setumpuk lembaran berwarna merah dan sekotak perhiasan.
Arini tak bisa berkata sepatah kata pun. Ia hanya menatap wajah Arya, menguatkan hatinya untuk melepas kepergian Arya, untuk kedua kalinya.
"Kalian baik-baik ya, maafkan ayahmu, Ayah harus pergi sekarang," ucap Arya sambil memeluk anaknya satu persatu. Isak tangis mereka kembali pecah.
Arya beranjak dari tempatnya berdiri, dan melambaikan tangannya, dibalas dengan lambaian tangan anak-anaknya. Kedatangan Arya bagaikan mimpi bagi keluarga Arini. Kini, mereka melanjutkan mimpi itu dengan untaian doa, semoga ayah mereka selalu berada dalam lindungan-Nya. Esok, mereka harus melanjutkan hidup sebagai hamba Allah yang siap menjalankan perannya masing-masing.
Kondisi seperti ini, yaitu suami Arini yang teledor atau menelantarkan istri dan anaknya dengan tidak menafkahinya maka sejatinya suami itu tengah melakukan perbuatan dosa.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib, Imam Al Mundziri menukilkan sebuah hadits:
Rasulullah bersabda, “Cukuplah orang itu dosanya yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya (HR. Abu Dawud) dalam riwayat lain : orang yang dia tanggung."
Maka dari itu setiap orang itu memiliki kewajiban terhadap apa yang diamanatkan padanya. Karena pada dasarnya setiap individu itu adalah pemimpin yang mempunyai tanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.
Begitu pun seorang suami, dia menjadi pemimpin dari keluarganya. Dia memiliki tanggungjawab untuk memastikan kebutuhan jasmani dan ruhani istri dan anak-anaknya terpenuhi.
Peran lelaki sebagai suami akan dimintai pertanggungjawaban di yaumil hisab. Sama halnya, seorang istri pun akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dalam memanajemen keluarga, mengasuh anak-anak dan lainnya.
Rasulullah bersabda, “Setiap kalian semua itu ibaratnya orang yang memimpin gembalaan, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Kepala negara, itu adalah pemimpin dan akan ditanya mengenai rakyatnya. Orang lelaki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan ditanya mengenai kepemimpinannya. Orang perempuan (istri) adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanya mengenai kepemipinannya. Pembantu (rumah tangga) adalah pemimpin dan akan ditanya mengenai kepemimpinannya.” (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Baca juga:

0 Comments: