Headlines
Loading...
Oleh. Ratih Fn

Hari ke-2 ujian akhir semester. Andara ingin lebih menikmati sarapan paginya di kantin kampus. Karenanya, ia sengaja membelah kemacetan ibukota lebih awal dibanding hari sebelumnya. 

Lagi pula saat Ahad pagi, jalanan ibukota lebih bersahabat bagi pengendara motor sepertinya. Lalu lintas lebih lengang. Tak banyak mobil pribadi maupun motor para pekerja melintas. Mungkin pemiliknya masih bersantai di rumah masing-masing, menikmati libur sekolah ataupun kerja. 

Begitu juga yang biasa Andara lakukan saat akhir pekan. Kembali memeluk guling kesayangan, selepas salat subuh. Atau sekadar rebahan di kasur kos-nya menonton drakor kesayangan, sembari menanti penjual lontong opor langganannya lewat. Kecuali saat akhir bulan begini, ada jatuh tenggat laporan bulanan, persiapan program baru, sampai-sampai sering tak sempat makan siang, apalagi sarapan. 

"Wuidiiiiih ... Rajin amat kamu, Ra? Dah selesai sarapan?" Meganita menyapa sahabatnya, Andara, yang tampak lahap menghabiskan seporsi nasi uduk favoritnya. 

"Iyaa lah, niat banget nih, aku berangkat lebih awal, biar nggak buru-buru sarapannya. Sayang kan kalo nasiku sisa, kata ibuku nasinya nangis kalo disisain."

Mereka terkekeh bersama, saat terdengar suara seorang laki-laki menyapa seseorang. 

"Assalamualaikum, Safia. Kamu udah sarapan?" Andara dan Meganita refleks menoleh ke asal suara.

"Wa'alaikumussalam, alhamdulillah sudah." Safia menjawab singkat sapaan laki-laki itu dan segera berlalu. 

Seorang mahasiswa yang cukup tenar di kampus, Alvaro Prayoga, menyapa seorang gadis berkerudung lebar. Alvaro yang terkenal tajir, setidaknya sudah empat kali dalam setahun belakangan ini, Andara dan Meganita mengindera Alvaro berganti mobil. Belum lagi outfit dia yang selalu fashionable dan branded, dari mulai sepatu, celana, baju, tas, hingga jam tangan. 

"Haisssh ... Alvaro tuh, Ra. Dan dia menyapa Safia? Mereka saling kenal, Ra? Bukannya Alvaro dari kelas malam, ya? Kita aja yang udah setahun sekelas sama dia, boro-boro disapa, dilirik aja nggak." Meganita kasak-kusuk.

"Eh, Mega, kamu tahu, enggak? Kan Safia satu ruangan sama aku, ujiannya."

"Oh ya, terus?" 

"Kemarin kan kita lihat dia jalan ke arah masjid waktu bel masuk. Nah, benar saja dia jadi terlambat 15 menit. Eeeh, 45 menit kemudian dengan santainya dia ngumpulin lembar jawaban. Soal susah kayak gitu selesai secepat itu?"

"Sumpah loh?! Dia cerdas juga ternyata!" Meganita terheran-heran mendengar cerita Andara. 

"He ehm, keren lhoo dia. Udah gitu kayaknya di kalangan dosen juga terkenal lho," Andara menimpali.

"Iya lah pasti, mahasiswa cerdas sudah jelas dikenal sama dosen-dosen, emang kita?" Meganita dan Andara tertawa bersama. 

Adzan ashar sedang berkumandang merdu dari masjid kampus, bersamaan dengan para mahasiswa yang berhamburan keluar dari ruangan ujian. Mereka telah menyelesaikan mata kuliah terakhir untuk ujian semester ini. 

"Alhamdulillah... Akhirnya selesai juga ujian kita, ya." Andara memulai pembicaraan dengan Meganita, sembari merapikan tasnya di bangku depan ruangan ujiannya. 

"Assalamualaikum, Dara, Mega. Ke Masjid yuuk, udah adzan ashar tuh. Salat Ashar sekalian sebelum pulang." Andara dan Meganita terkejut, saat tiba-tiba Safia sudah berada di samping mereka.

"Eh, wa'alaikumussalam. Ngagetin aja nih Safia." 

"Eh, Afwan yaa, kalo aku ngagetin kalian." Senyum Safia kembali tersungging dengan manisnya. 

"Hayuuuk lah, Ra. Biar tenang juga perjalanan pulang kita. Lagian kalo sore gini sudah mulai macet, takut nggak keburu nanti waktunya kalo salat di rumah." Meganita menyambut riang ajakan Safia. 

"Ya udah lah, yuuk." Andara pun mengiyakan. 

Mereka bertiga berjalan bersama menuju masjid kampus. Sembari mengobrol tentang ujian hari ini. Dan saat hendak masuk ke dalam masjid, usai mengambil wudhu. 

Tak sengaja mereka bertemu Alvaro di serambi masjid, "Safia, nanti pulangnya aku antar ya?" 

Andara dan Meganita saling pandang, terhenyak mendengar pertanyaan Alvaro ke Safia. 

"Nggak, makasih," Safia menjawab singkat dan segera berlalu masuk masjid. 

"Safia pulang kemana sih?" Andara bertanya ke Safia saat mereka berjalan keluar masjid bersama. 

"Ke Jatinegara, Ra. Kamu kemana?" 

"Searah dong kita, aku ke Otista. Mau barengkah?" Andara menawarkan tumpangan ke Safia. 

"Bolehkah? Alhamdulillah, dengan senang hati. Jazakillah khair, Ra." Safia tampak sumringah menerima tawaran Andara. 

"Eh, tapi Mega gimana?" 

"Aku bawa motor sendiri, Safia. Lagipula, rumahku daerah Pasar Senen, beda arah sama kalian." 

"Ooh,  ya ya ... alhamdulilah kalo begitu." 

Mereka pun kembali berjalan beriringan menuju tempat parkir motor. Sekali lagi mereka dibuat terbengong-bengong dengan sikap Alvaro ke Safia. 

"Safia, nanti aku temuin kamu di rumah, kalo kamu nggak mau ngomong sama aku di kampus!" 

"Astaghfirullah ... Terserah kamu lah!" Safia menjawab dengan ketus.

Rasa penasaran Andara dan Meganita semakin memuncak. Bagaimana tidak, jelas sekali terlihat bahwa Alvaro ada rasa ke Safia. Dan sikap Safia juga jelas sekali menampakkan ketidaksukaannya.

"Safia, maaf nih. Aku sama Mega penasaran banget, itu Alvaro suka, ya, sama kamu? Tapi kenapa sikap kamu kayak nggak suka gitu?" 
Akhirnya keluar juga apa yang ada di benak Andara dan Meganita.

"Iyaa, kamu nggak suka, Fia? Dia kan tajir melintir, ganteng pula." Meganita turut menimpali. 

"Panjang ceritanya." Raut muka Safia tampak murung setelah menjawab singkat pertanyaan Andara dan Meganita. 

Jawaban singkat Safia menyisakan tanda tanya besar di kepala Andara dan Meganita. 

Bersambung.

Cilacap, Oktober 2022

Baca juga:

0 Comments: