
OPINI
"Smart City", Benarkah Kota Pintar?
Oleh. N.S. Rahayu (Pengamat Sosial)
"Smart city" adalah sebuah bentuk kota pintar yang digadang-gadang pemerintah menjadi kota modern yang maju dan semua mudah diakses dengan teknologi digital.
"Smart city" menjanjikan jaminan untuk membuat dunia termasuk Indonesia untuk memiliki pengelolaan yang cerdas dengan penggunaan teknologi digital (informasi) dan komunikasi dalam pembangunan dan pengelolaan kota.
Tidak heran, "smart city" begitu cepat merata hingga ke daerah-daerah. Konsep ini dianggap sebagai satu kemajuan dan mampu menyelesaikan permasalahan secara cepat dan tepat. "Smart city" yang digembar-gemborkan menjadi kota pintar dan bersih dari korupsi hanyalah untuk menarik agar banyak investor masuk untuk menanamkan modal, dan mengurusi apa yang dibutuhkan rakyat. Bahkan dalam bidang dasar yang menjadi hajat masyarakat.
Ada beberapa wilayah di Jawa Timur yang mengandeng investor untuk kemajuan daerahnya.
Dilansir dari Kompas.com (7/10/2022), Bupati Madiun Ahmad Dawami mengatakan bahwa dengan penggunaan PJU pintar asal Korsel dari KOTRA (Korea Trade and Investment Promotion Agency) dan Ecolant, penggunaan energi untuk PJU (penerangan jalan umum) di Kabupaten Madiun bisa hemat hingga 60 persen. Bupati Madiun menambahkan bahwa penerapan teknologi ini akan berdampak positif untuk kesejahteraan dan keamanan masyarakat, dengan membuat tata kota menjadi semakin modern dan mengurangi kriminalitas.
"Smart city" dianggap membawa kemajuan yang efisien dan efektif karena dianggap mampu memberikan kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat. Sehingga perlu dikembangkan dan digarap serius.
Pemkab Magetan secara serius ingin menerapkan program smart city di Magetan. Hingga pada Selasa (27/9) lalu, Bupati Magetan Suprawoto dan jajaran meneken komitmen bersama terhadap draf akhir masterplan "smart city" Magetan. Tenaga Ahli Pendamping Kemenkominfo Hari Kusdaryanto menghimbau untuk mengelola dengan baik semua sumber daya yang ada untuk merealisasikan cita-cita "smart city". (Jawa Pos Radar Madiun, 3/10)
"Smart City" untuk Siapa?
Layanan digitalisasi dalam "smart city" yang mempermudah akses layanan untuk kepentingan masyarakat terkesan manis dan sangat membantu. Namun yang bisa mengakses hanyalah orang-orang yang mampu dan justru menjadi beban berat bagi rakyat miskin, karena digitalisasi memaksa mereka untuk memiliki dan mengikuti perkembangan. Untuk kebutuhan makan saja mereka mengalami kesulitan, apalagi membeli gadget.
"Smart city" justru memberi peluang besar pada orang-orang yang mampu, berpendidikan, dan para pemilik modal untuk mudah mengurus kepentingan mereka dalam berinvestasi. Bahkan untuk pengembangan layanan-layanan menuju "smart city", ternyata harus mengandeng pihak-pihak lain (baca: investor). Maka, ada hal yang harus diwaspadai dari keberadaan "smart city".
Salah satu efek pengembangan "smart city" yaitu investor mudah masuk hingga ke daerah-daerah yang memiliki potensi sebagai lahan bisnis, bahkan hingga mengurusi kebutuhan rakyat. Ini sama halnya menyerahkan rakyat pada mereka, bunuh diri secara politik. Karena kepengurusan hajat hidup masyarakat seharusnya dikelola oleh negara, tidak boleh diserahkan pada pihak asing. Hal ini justru membahayakan, karena negara menjadi abai akan tanggung jawabnya.
Siapa yang diuntungkan? Jelas para kapitalis yang menguasai SDA dan hajat hidup masyarakat. Seperti itulah sistem kapitalis bekerja, akan selalu menguntungkan pemilik modal. Sedangkan rakyat tetap terjerat dalam kubang kemiskinan.
"Smart" dengan Islam
Investasi dalam Islam itu diperbolehkan selama tidak melanggar hukum atau syariat, yaitu hukum yang diturunkan Allah untuk mengatur kehidupan; baik individu, masyarakat, maupun negara. Islam sangat selektif dalam persoalan investasi, apalagi investasi asing. Islam mewajibkan negara berperan sebagai pemelihara urusan umat, bukan malah sebagai fasilitator kepentingan pengusaha.
Sistem Islam telah mengatur kehidupan secara menyeluruh. Posisi negara bertanggung jawab untuk memberikan layanan kepada publik sesuai kebutuhan masyarakat sebagai bentuk amanahnya.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)
Meskipun pihak swasta diperbolehkan untuk melakukan investasi, negara tidak diperbolehkan untuk menyerahkannya kepada swasta. Fungsi negara harus tetap menjadi pelindung terdepan bagi rakyat kecil.
Islam memiliki pandangan bahwa rakyat adalah prioritas, maka setiap kebijakan yang akan diambil oleh negara selalu mempertimbangkan kebutuhan rakyat, termasuk program "smart city" ini.
Islam menerima kemajuan teknologi, bahkan sangat mendukung perkembangannya. Kegunaannya untuk mempermudah layanan untuk masyarakat pada khususnya. Tapi bukan demi menarik investor.
Negara dalam Islam:
- Memberikan edukasi lewat sistem pendidikan, melalui media penyiaran tentang penggunaan atau pemanfaatan teknologi agar tidak terjadi penyalahgunaan.
- Memberikan filter tontonan agar penggunanya dapat menyaring arus negatif dari perkembangan teknologi, seperti liberalisme, hedonisme, dan lain-lain.
- Membuka peluang berbagai macam penemuan terbaik yang semata-mata didedikasikan untuk memudahkan urusan masyarakat.
Negara sama sekali tidak mengambil keuntungan pribadi. Semua itu dilakukannya atas dasar keimanan dan demi meraih rida Ilahi.
Kemajuan dalam masyarakat yang "smart" (pintar) ini tak datang begitu saja. Semua ini membutuhkan sistem yang kuat untuk menopangnya. Jika kita memimpikan "smart city" yang ramah bagi masyarakat, tidak ada salahnya kita belajar dan mencontoh bagaimana para Khalifah mererapkan aturan Islam di tengah masyarakat.
Telah terbukti, selama 13 abad lamanya, Islam dengan seperangkat sistemnya yang sempurna mampu menjadi mercusuar dunia. Islam berhasil membuat negeri-negeri muslim maju di saat barat masih berkubang dalam kegelapan.
Wallahu a'lam bishawwab.
Baca juga:

0 Comments: