
Part 5
Sub judul: *Pangeran Rawon*
Penulis: Desi
Bergegas Bening menyabet smartphonenya yang tergeletak di meja belajar, jarinya menekan aplikasi berwarna hijau bergambar gagang telepon. Jempolnya dengan cekatan mengusap layar mencari kontak nama Alifa.
Setelah ketemu segera ia ketik, "Hai, Aliput. Aku yakin mereka asli bukan plastik seperti katamu, aku sudah bertemu langsung," lalu klik tombol kirim.
Selang berapa detik hpnya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Balasan dari Alifa telah mendarat, dia hanya mengirim sebuah emoticon bergambar wajah dengan tangan menutup mulut.
Keesokan harinya Bening bangun lebih pagi dari biasanya. Badannya terasa pegal, mungkin efek jatuh kemarin. Lututnya pun terasa begitu sakit saat tadi ia salat.
"Neng," panggil ibunya sambil mengetuk pintu kamar bening yang berukuran 3 x 3,5 itu.
"Masih sakit?" tanya ibunya setelah dipersilahkan masuk.
"Apa mau izin engga berangkat sekolah aja, Neng," belum sempat Bening menjawab ibunya sudah bertanya lagi.
"Engga apa-apa, Bu. Aku berangkat aja tapi anterin ya, Bu," jawab Bening.
"Yakin engga apa-apa?" tanya ibunya memastikan. Bening menjawab dengan anggukan kepala.
"Ya udah kamu siap-siap, nanti kalo udah beres panggil Ibu, ya!" ibunya mengalah agak siangan berangkat ke pasar demi anak tercintanya.
Bening duduk manis di jok belakang. Pikirannya masih dipenuhi wajah Dirga. Setelah motor melaju selama lima menit, ia memandangi tempat bersejarah baginya.
Bebatuan dan pohon mahoni serta semua yang berada di sekitarnya, menjadi saksi betapa hebatnya getaran aneh nan asyik mengusik kalbu. Jatuh terindah sebab mengalirkan benih-benih cinta merekah.
"Terimakasih, Bu," ucap Bening setelah turun dari motor tepat di depan gerbang sekolahnya. Bening menyalami ibunya dan melambaikan tangan melepas ibunya yang segera melesat menjauh dari pandangan.
Bening berjalan melewati tempat parkir sepeda. Dilihatnya sepeda Alifa sudah berjejer di antara sepeda lain. Sementara tangannya menyapu tanaman di pinggir taman sekolah.
Indahnya warna-warni bunga menambah keceriaan dan kebahagiaan. Langit pun seolah tahu suasana hati bening dengan memberikan cahaya cerah di pagi hari.
"Aliput," spontan Bening memeluk sahabatnya yang sedang berdiri bersama teman sekelas lainnya. Kakinya berjingkrak-jingkrak kegirangan.
"Apaan sih pagi-pagi udah kaya orang kesambet," dahi Alifa berkerut tangannya melepaskan tangan Bening yang memeluknya erat.
"Kamu harus dengerin ceritaku!" ucap Bening yang disambut muka malas Alifa.
"Ah paling juga mau ceritain si plastik kan," mata Bening melotot mendengar ucapan Alifa.
"Terserah kamu mau hina-hina yang penting kamu harus dengerin,"
"Iih, maksa,"
"Kita beda selera, aku K-drama lovers dan kamu Antis tapi kamu Antis terbaikku. Kalo orang lain yang hina udah aku jambak rambutnya."
"Serem iih." Alifa menjauh dari Bening tetapi Bening menyusul dan memeluknya lagi.
"Malu ih, diliatin temen-temen," kalimat Alifa membuat mata Bening menyisir seisi ruangan. Menatap satu persatu teman-temannya dan berhenti pada pemilik mata yang Bening yakini sebagai pelaku yang menyebabkan lututnya terluka.
Aldo yang dari tadi memperhatikan tingkah Bening seketika salah tingkah ketika Bening berjalan mendekatinya.
"Kamu pelakunya, kan?" tanya Bening.
"Apa sih?" Aldo mengelak.
"Aku yakin kalo kamu yang mendorong sepedaku," tegas ucapan Bening membuat Aldo menciut.
"Apa buktinya?" Aldo balik bertanya. Aldo tidak menyangka kalau Bening se yakin itu menuduhnya. Padahal saat roda depan sepedanya mendorong roda belakang sepeda Bening, dia langsung cepat menjauh dan membaur dengan pengguna sepeda lainnya.
Alifa segera mendekati Bening karena khawatir dia akan bersikap kasar lagi seperti kemarin.
"Ah, terimakasih, Aldo. Berkat kamu aku jadi ketemu dengan pangeran tampan," dengan centil Bening mencubit dagu Aldo dan menunjukkan wajah imutnya.
Hampir saja bola mata Aldo copot, mulutnya menganga mendengar ucapan Bening. Tak menyangka jika Bening justru mengucapkan terimakasih padanya. Begitu pun dengan Alifa keheranan.
"Ga jadi di poin dong," harap Aldo aji mumpung. Aldo mengambil kesempatan mumpung Bening sedang _happy_ kali aja bisa dirayu.
"Oh tidak bisa, itu kesalahan kamu di dalam kelas jadi poin tetep berlaku," tolak Bening.
"Ucapan kamu tadi semakin memperjelas kalo kamu pelakunya. Tapi engga apa-apa," tangan Bening menepuk pundak Aldo seraya berlalu dengan senyum sumringah.
"Kamu ketemu sama siapa?" tanya Alifa setelah mereka kembali ke meja mereka.
"Aku ketemu Ro Woon lokal. Aku yakin Ro Woon asli bukan plastik. Negara mereka memang penghasil cowok tampan. Kamu aja yang sirik," jelas Bening.
"Ooh kalo lokal berarti rawon ya," ledek Alifa.
" _What_?" Bening menaikkan setengah bibirnya ke atas kemudian tersenyum kembali dengan kedua tangan menyangga pipi menggoyangkan kepala ke kanan dan ke kiri.
"Engga apa-apa deh kamu bilang rawon. Pangeran Rawon boleh juga," senyum Bening mengembang.
"Sinting," telunjuk Alifa bergerak membelah di antara dahinya.
"Ada Bu Guru," teriak salah satu murid memberi sinyal kepada teman-teman lainnya untuk tenang dan duduk di mejanya masing-masing.
Bersambung...
Baca juga:

0 Comments: