Headlines
Loading...
Part 4
 *Terpikat*

Penulis: Desi

Sebuah keindahan dambaan yang biasa Bening nikmati di layar kaca, kini menjelma nyata. Wajah menawan memancar karisma rupawan. Bukan plastik tapi molek estetik. 

Kulit putih bersih, tinggi semampai dengan dada bidang berisi. Menatapnya lekat, menggetarkan hati dalam dada Bening. Semua indera sepakat satu suara, terpikat.

"OMG, guanteng banget" mata Bening tak berkedip, mulut pun tak kuasa merapat. Suara pujian berkumpul dalam benak. Dalam pandangan Bening, cowok di hadapannya itu bagai keajaiban sempurna yang nyaris tanpa cacat.

"Kamu engga apa-apa, Dik," makhluk tampan itu berjongkok di hadapan Bening yang masih terduduk di antara bebatuan kecil di pinggir jalan. 

Beberapa teman yang melihat kejadian itu menghampiri Bening penuh khawatir. Kemudian pergi lagi meneruskan perjalanan pulang setelah Bening meyakinkan mereka bahwa dirinya tidak apa-apa.

"Hampir saja aku menabrakmu, untung keburu ngerem. Lain kali hati-hati ya, Dik!" ucap cowok tampan itu, kemudian ia berdiri menghampiri sepeda Bening yang tergeletak satu meter dari tempatnya berjongkok. Sepeda dibangunkannya berdiri, dilihatnya dari segala sisi. Mengecek bagian kanan dan kiri, lalu membetulkan rem yang sedikit melenceng dari posisi.

"Maaf ya, Kak," suara Bening bergetar menahan irama jantung yang tiba-tiba tidak beraturan.

Bening berdiri sambil menepuk-nepuk rok dan bajunya yang nampak berdebu pada beberapa bagian. Dirga Candra S, sebuah nama yang berhasil Bening lirik pada seragam SMA makhluk tampan itu.

"K. Ayu Bening. Nama yang cantik secantik orangnya, Bening sebening bola matamu," pujian dari lelaki yang bernama Dirga itu sontak membuat Bening berhenti dari kesibukan membersihkan bajunya itu.

Mulut Bening tergagap. Jantungnya berdegup kala sesuatu berhasil menyelusup bersama desiran yang mengerucut dingin di ujung jemarinya. Debar gemetar menyesak nafas tapi merekah cerah di bibir Bening.

Pohon mahoni yang berjejer rapi di pinggir jalan seolah mengerti yang dirasakan Bening. Daunnya melambai-lambai gemulai damai. Sepoinya menyelinap masuk melalui celah kerudung Bening. Hembusannya berhasil sedikit menenangkan gejolaknya.

"Nah, sudah bener remnya, Dik!" Dirga mempersilahkan Bening untuk menaiki sepedanya dengan bahasa isyarat.

"Terimakasih ya, Kak," ucap Bening diiringi anggukan kepala Dirga.

"Pulangnya ke mana?" Dirga bertanya saat Bening sudah menaiki sepedanya.

"Ke rumah, Kak." Bening menunjukkan giginya yang rapi kemudian melaju menjauh dari tempat Dirga berdiri. Begitu pun Dirga tersenyum lebar mendengar jawaban Bening.

Sepanjang perjalanan, senyum Bening terus menyungging di bibirnya. Pesona ketampanan Dirga menari-nari di kepalanya. Suara beratnya terngiang lekat di telinga. Dia bertanya-tanya dalam hati "Apakah ini cinta?" 

"Aduh," ada rasa perih pada bagian lututnya. Tepat setelah Bening memarkirkan sepedanya di halaman rumah, 

Dia membuka sepatu kemudian menarik celana panjang yang mirip celana dalaman gamis, untuk melihat lututnya. Benar saja lututnya terluka, ada bercak-bercak darah menempel di celana panjangnya yang berwarna abu-abu itu.

"Aneh, kenapa dari tadi aku engga ngerasa ada yang sakit, ya," Bening keheranan sendiri.

"Loh kamu kenapa, Neng," suara Mbah Uki, kakeknya Bening mengagetkannya.

"Tadi jatuh di jalan, Mbah," jawab Bening.

Mbah Uki melihat luka Bening kemudian bergegas masuk mengambil obat tetes khusus untuk luka. Di tiupnya lutut Bening setelah obat itu diteteskan.

"Nanti lagi lebih hati-hati kalo naik sepeda ya, Neng," nasehat Mbah Uki.

"Iya, Mbah," jawab Bening yang masih duduk di lantai keramik depan rumah, kakinya lurus membaur dengan rumput yang mulai meninggi. 

"Mbah ke dalem ya, mau istirahat dulu," pamit Mbah Uki diiringi anggukan kepala Bening.

Bening teringat saat hendak jatuh, dia merasa ban belakangnya ada yang mendorong. Terasa seperti beradu dengan sesama ban. Bening menerka-nerka, jika dikaitkan dengan sikapnya kepada Aldo. Mungkin saja pelakunya adalah Aldo.

Jika iya, maka Aldolah yang menyebabkan dia terjatuh. Tiba-tiba Bening tersenyum saat pita rekaman dalam memori otaknya di _pause_ tepat pada adegan sang tokoh pria muncul.

"Si tampan Dirga itu seperti obat bius, saat biusnya hilang baru terasa deh sakitnya. Benar-benar ajaib," ucap Bening dalam hati. 

Bening beranjak dari duduknya berjalan menuju kamar. Dia berdiri di depan cermin setelah mengganti bajunya. Memandangi wajahnya yang cantik, mengamati sendiri bola matanya "Benarkah bola mataku bening?" tanyanya dalam hati.

Kini pandangannya tertuju pada poster yang terpampang indah menghiasi dinding bernuansa pink. Poster foto Cha Eun Woo yang belum lama dibelinya. 

Foto sederhana hanya berbalut kaos hitam dengan tangan menggunakan jam berwarna silver menyangga dagu terlihat begitu mewah dan istimewa di mata Bening.

Tangan Bening meraba wajah idolanya dalam poster itu. Lalu menyandingkan wajah Dirga yang langsung terekam dengan sempurna dalam otaknya. 

"Tunggu, kok Dirga mirip dengan idolaku yang satunya, ya," lirih Bening berbicara sendiri.

bersambung

Baca juga:

0 Comments: