
Oleh. Choirin Fitri
Malam, kenapa mencekam?
Seperti saat kuharus melewati makam
Ketika kuharus menguak jejak rekam
Hati, kenapa rasanya pedih dan letih?
Menapak segala asa seakan tertatih
Sulit bedakan hitam putih
Hidup, cukupkah sampai di sini?
Hantaman keras hancurkan berbagai lini
Rasanya memilih mati harus berani
___
Bertetes-tetes air mata menjadi saksi bisu. Kuremas selembar kertas yang menguak rasaku. Kubuang sembarangan. Hanya, kulihat dengan pandangan nanar ia teronggok sempurna di sudut kamar.
Kutatap sebuah botol mungil berwarna putih. Kugenggam erat. Tanganku gemetar. Ada ribuan rasa yang berkelindan.
Kejadian malam itu seperti film siaran ulang. Jelas tampak mengerikan di mataku. Orang yang harusnya melindungi, mengayomi, nyatanya dialah yang merusak hidupku. Aku tak terima.
Sungguh, aku patah. Remuk redam. Merasa tak berharga. Saat mendapati tubuh ini tak ada sehelai pun pakaian yang menutupi.
Rasa sakit menjalari raga. Namun, tak seberapa dibanding jiwa yang meronta. Ke mana kuharus mencari kata keadilan?
Saat kumengadu, serigala berbulu domba itu tak mengaku. Ia mencercaku. Seakan akulah penyebab segalanya. Aku salah, dia benar. Tak ada yang percaya pada ceracauanku. Termasuk orang yang kusayangi, ibu.
Kutatap kembali botol mungil itu. Rasa berdebar-debar merasuki hatiku. Kupejamkan mata. Kuhembuskan nafas dalam-dalam. Aku menyeringai.
Tiba-tiba saja aku memiliki kekuatan penuh untuk membuka tutup botol. Kuambil segenggam pil yang entah berapa jumlahnya. Kumasukkan dengan sigap. Segelas air putih membuatnya hengkang dari mulutku.
Aku tertawa. Kurebahkan diriku di atas kasur yang menjadi saksi bisu perbuatan laki-laki bejat yang minta kusebut ayah. Nyatanya, dia adalah serigala. Kejam.
Mulai kurasakan sakit yang menjalar ke seluruh tubuhku. Kepala pening. Nafasku memburu. Dan, entahlah rasa yang tak mampu kujabarkan merasuk tanpa jeda.
"Mei, buka pintunya Mei. Maafkan Ibu, Mei! Ibu salah tidak mempercayaimu. Mei, ayo Mei kita perbaiki bersama!"
Suara wanita yang amat kusayangi menggema bersamaan pintu yang berdebam-debam. Isak tangisnya terdengar pilu. Aku tak peduli.
"Maaf Bu, semua sudah terlambat," ucapku dalam diam saat semua kurasakan gelap gulita.
_____
"Alhamdulillah. Akhirnya, kau siuman juga."
Suara yang tidak pernah kudengar terdengar. Kepalaku masih sangat sakit. Pun ragaku. Namun, aku sadar ini bukan di rumahku.
Keedarkan pandangan sejenak ke segala arah. Satu kesimpulanku. Aku di rumah sakit.
"Sudah lima hari kamu di sini. Alhamdulillah akhirnya kamu bangun juga. Permisi ya, Aku periksa dulu!"
Wanita cantik berkerudung merah jambu mendekatiku. Jas putih yang dikenakan di atas gamis hitam polos menunjukkan siapa dia.
Dokter. Sebuah cita-cita yang sempat kuunggah. Sayangnya, harus terkubur demi menyaksikan masa kelam yang suram.
"Alhamdulillah, semuanya normal. Nanti akan kukabari keluargamu ya, insyaallah besok sudah bisa pulang."
Senyum dokter muda itu mengembang. Bercahaya indah. Cahaya ketulusan.
Kutarik tangan kanannya saat ia beranjak hendak pergi. Entahlah, seakan ada yang memaksaku untuk meminta bantuan padanya. Mungkin, dia bisa menjadi matahariku.
"Dok, aku enggak mau pulang. Aku takut. Bawa aku pulang bersamamu. Aku mohon!"
Tangisku pecah. Dia memelukku erat. Kami menangis bersama saat rasa sakit di hatiku tiba-tiba dengan lancar menguap ke telinganya.
____
Aku jongkok di depan sebuah makam yang masih merah. Sebuah nama orang yang amat kusayangi tertera di sana. Ibu.
"Harusnya aku yang berada di dalam kuburan ini. Bukan ibu."
Tangisku pecah. Aku memeluk gundukan tanah itu. Segala rasa campur aduk.
Usapan lembut membelai punggungku, "Sabar, Dek! Ikhlaskan Ibu ya! Bukan saatnya kau meratapi kepergiannya. Kini saatnya kau persembahkan amal dan doa-doa agar Allah lapangkan kuburnya. Doa anak salihah, putrinya."
Nasehat itu bukannya membuatku bangkit. Malah semakin membuat tangisku pecah. Selama ini aku hanya sibuk dengan duniaku. Dunia masa muda yang indah luar biasa.
Aku hanya sibuk bergaul sana-sini. Menikmati eksistensi diri di sekolah dengan segudang prestasi. Pulang hanya untuk menikmati makan atau tidur. Tak lebih.
Nyatanya, aku kini menyesal. Wanita yang kusayangi itu harus meregang nyawa demi membelaku. Laki-laki serigala berbulu domba itu membunuhnya. Sungguh, kejam.
Perempuan muda di sampingku menggamitku erat. Ia memeluk tubuhku yang rapuh.
"Ikhlaskan, Dek! Semua ini sudah takdir Allah. Sekarang saatnya kamu bangkit! Biarlah masa lalu jadi pelajaran berharga agar kita bisa menapak masa depan dengan lebih baik."
___
Kutatap wajahku di depan cermin. Wajah yang dibalut kerudung jingga. Gamis berwarna sama dengan motif garis menempel di badan.
Kak Alifia, dokter muda itu mengajarkanku banyak hal. Wanita yang ternoda karena paksaan tak berdosa. Pelakunyalah yang berdosa.
Aku juga diajarkan untuk menghargai hidup yang sempat kuakhiri dengan cara konyol. Bunuh diri. Tak menyelesaikan masalah. Malah akan menambah masalah. Tahu kenapa? Karena, katanya setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban.
Kini, aku mulai menata masa depan. Kak Alifia mengangkatku menjadi adiknya. Dia memberiku suntikan semangat membara untuk melanjutkan cita. Tak hanya menjadi dokter fisik, juga harus menjadi dokter jiwa agar remaja limbung seperti aku bisa menapak rahmat Allah.
Batu, 9 Oktober 2022
Baca juga:

0 Comments: