
Cerbung
Mata Bening Part 16 (Pita Kusut)
Oleh : Desi
"Sabar, Neng. Istighfar," ucap bibinya.
"Sebel sama orang kaya gitu," mata Bening melirik ke arah ruang tamu dengan bibir dimonyongkan.
"Kamu seneng engga liat Mbah Uki pulang?" tanya bibinya.
"Ya seneng lah."
"Apa kamu mau kalo Mbah Uki masuk rumah sakit lagi?" Bibi Ois kembali bertanya.
"Bibi aneh-aneh aja. Ya jelas engga lah," jawab Bening.
"Menurutmu, bagaimana perasaan Mbah Uki liat sikap kamu kaya gitu?" sengaja Bibi Ois mengajak Bening untuk berfikir melalui pertanyaan.
Bening terdiam mendengar ucapan bibinya. Dia merasa perkataan bohongnya penyebab kakeknya sakit dan kini setelah kakeknya dibolehkan pulang oleh dokter, dia berucap kasar di depan kakeknya. Bahkan baru hitungan detik kakeknya menginjakkan kaki ke rumah.
"Mungkin iya Mamang salah, tetapi jangan jadikan kesalahan orang lain menarik kita untuk berbuat hal yang sama." Bibi Ois merapikan rambut Bening yang sedikit berantakan setelah kerudung yang menutupinya dilepas.
"Berpikir sebelum bertindak dan berucap. Apakah akan menguntungkan atau merugikan orang lain," lanjut Bibi Ois yang berharap ucapannya benar-benar didengar Bening.
"Jika merugikan orang lain maka kitalah yang jauh lebih merugi. Sebab kita ikut ambil bagian dosa," jelas Bibi Ois.
Bening tidak mampu berkata-kata lagi. Dia diam seribu bahasa. Merenungi apa yang telah ia lakukan. Merasakan kesal atas tingkah lakunya sendiri. Marah terhadap dirinya yang selalu tidak berhasil menahan keinginannya untuk berbuat brutal setiap kali mendapati sikap orang lain yang baginya tak sesuai.
Hal yang sama juga sedang dilakukan oleh Ibu Eli. Ia menenangkan adiknya dan menasehati agar tidak terpancing emosi Bening.
"Omongan anakmu itu yang keterlaluan, Mba," kilah Mang Udin yang diminta sabar menghadapi Bening oleh kakaknya.
"Itu menjadi tugas kita sebagai orang tua untuk menyadarkannya. Tetapi bukan dengan cara yang sama dengan apa yang dilakukan Bening," ucap Ibu Eli.
"Sekalipun Bening arogan tetapi dia juga mudah tersentuh. Kalo kita balas tindakannya dengan kelembutan, dia pasti luluh," lanjut Ibu Eli.
"Ya mungkin butuh kesabaran ekstra tapi itu pilihan terbaik untuk menaklukkan egonya. Mohon kerja samanya ya, Mang," pinta Ibu Eli sambil memegang tangan adiknya.
Bening mendekati Mbah Uki yang masih duduk di sofa ruang tamu. Dia memeluk tubuh renta kakeknya, meminta maaf telah mempertontonkan sajian yang tidak mengenakan hati.
"Cucu Mbah sudah besar, cantik dan salehah," ucap Mbah Uki yang menyambut hangat pelukan Bening.
Matahari telah tenggelam ditelan malam. Heningnya tak jua mengantarkan Bening ke alam mimpi. Matanya enggan terpejam, gelap telah membawanya pada memori usang dalam otaknya.
Memperlihatkan cacatnya setiap adegan. Laku lampahnya buas bagaikan anak urakan. Netranya bak proyektor, memunculkan gambar-gambar nyata dalam ingatan Bening.
Terlihat muka masam ayahnya berulang kali saking banyaknya ia torehkan luka di hatinya. Helaan nafas panjang dari orang-orang terdekatnya terasa begitu nyata menyapa telinganya.
Cuplikan demi cuplikan dalam episode hidupnya bagaikan pita kusut yang berserakan tak beraturan. Seberantakan itu ia merasa, tidak sekedar buruk tetapi busuknya menusuk menghujam benaknya.
Indahnya bulan bersanding bintang tak mampu merapikan pita kusut itu menjadi utuh. Tak ada yang mampu membalikkan keadaan menjadi indah di pandang.
"Andai waktu bisa kuputar kembali, ku ingin perbaiki kesalahan biar engga ada yang terluka olehku," lirih suara Bening beradu dalam isak.
Angin yang berlarian ke sana kemari berhasil menghantam tubuh Bening. Membuatnya bersembunyi dibalik selimut. Memaksa matanya untuk terpejam memanggil kantuk yang belum juga hadir.
Sebuah permohonan terucap dari mulut Bening, berharap esok akan lebih baik. Memohon solusi terbaik untuk dirinya. Dan memohon ada seseorang yang bersedia membantunya lepas dari belenggu yang membelit tubuhnya.
"Neng, bangun sudah pagi," suara ibunya membangunkannya.
"Jam berapa, Bu," tanya Bening.
"Udah mau setengah enam, cepetan bangun salat dulu." Ibu Eli membantu Bening bangkit dari kasur busa yang dibiarkan menyentuh lantai.
"Aku berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum," ucap Bening sambil menyalami tangan ibunya kemudian menciumnya.
Bening mengeluarkan sepeda dari ruang tamu. Saat keluar rumah, dia melihat pamannya sedang merapikan meubelnya. Bening berlalu begitu saja tanpa menyapa.
Dia telah menciptakan ketidaknyamanan untuk dirinya sendiri. Setelah semua terjadi, nyatanya dia kebingungan menghadapinya. Bibirnya tak kuasa menyapa sekalipun ia sangat ingin berbasa-basi seperti biasa dengan pamannya.
"Ning, hayu ke lapangan. Upacara," ajak Alifa.
Bening berjalan di samping Alifa yang menggandeng tangannya. Tak sepatah kata pun keluar dari lisan Bening. Bahkan saat diajak berbicara oleh Alifa pun dia tidak begitu merespon.
"Apa kamu sakit, Ning?" tanya Alifa yang merasa aneh dengan sikap Bening.
Bening hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Jauh di dalam hatinya, ia ingin saat ini juga berbagi beban dengan sahabatnya yang cerdas itu. Bening yakin Alifa mampu mengurai apa yang ia rasa.
Bersambung
Baca juga:

0 Comments: