Headlines
Loading...

Oleh : Desi

"Ribet itu pikiran orang-orang yang enggan diatur sama aturan Allah," lanjut Alifa.

"Bagi yang hatinya tunduk dalam kepatuhan, justru taat pada aturan Allah itu sebagai jalan mencari rida-Nya." Alifa berusaha memahamkan Bening semaksimal yang ia bisa.

"Kamu kok bisa pinter banget sih, Put?" tanya Bening.

"Ya karena aku rutin ngaji. Kamu kalo ngaji pasti jauh lebih pintar dari aku," ucap Alifa yang disambut tekukan bibir bawah bening.

"Minggu ini aku ikut deh," tukas Bening.

"Alhamdulillah. Tapi adanya Ahad depan, Ning." Jelas Alifa.

"Nanti aku nyamper ke rumahmu aja ya," ucap Bening .

Seketika Alifa ingin segera bersujud, mengucap beribu syukur kepada Allah yang telah membukakan hati Bening menerima dakwahnya. Butuh satu tahun Alifa merayu dan membujuk Bening agar ikut dalam kajiannya.

Hingga pada hari ini, dia mendengar ucapan Bening bersedia secara sukarela tanpa unsur terpaksa samasekali. Rona bahagia dari wajah Alifa terpancar berseri-seri.

Sepulang sekolah, Alifa menceritakan kejadian tadi siang kepada musyrifahnya dan memohon doa terbaik dengan harapan Allah teguhkan hati Bening untuk menapaki jalan ilmu Islam.

Sementara Bening yang baru sampai di rumahnya, merasa terkejut saat melihat ada mobil ambulans terparkir tepat di depan pintu masuk rumahnya. Hatinya merasa was-was, kalau-kalau ada hal buruk menimpa keluarga mereka.

Suasana sedikit ramai karena banyak tetangga yang nampak berdiri di sebelah ambulans dengan wajah cemas. Motor ibunya pun terlihat telah terparkir di samping rumah. 

"Ada apa, Bu. Kok ada ambulans?" tanya Bening pada tetangganya.

"Kakekmu jatuh, Neng. Terus pingsan sampai sekarang belum bangun," jawab tetangganya.

Bening segera berlari untuk melihat kondisi kakeknya. Belum sampai ke dalam rumah, Bening melihat kakeknya terbaring di ranjang mungil berjalan. 

"Kakek mau dibawa ke mana, Bu?" tanya Bening pada ibunya.

"Ke Rumah Sakit Harapan, Neng," jawab ibunya singkat.

Tubuh Bening terasa remuk melihat kakeknya tak berdaya. Rasa bersalah itu seakan menghantam sangat keras. Bulir air mata menetes dari sudut matanya melihat ambulans itu melaju membawa kakeknya pergi.

"Maafkan aku, Kek!" lirih ia berbisik.

Dia teringat ucapan bohongnya kepada Alifa. Demi menghindari ajakan Alifa dia rela berbohong dengan alasan kakeknya sakit. Dan hanya selang beberapa hari, kakeknya benar-benar sakit.

Bening menyesal tak terkira. Merasa apa yang menimpa kakeknya adalah ulah dirinya. Berucap tanpa berfikir dahulu dan menyepelekan sebuah kebohongan. 

"Aku begitu egois mengorbankan kakekku demi secuil kesenangan bersama Dirga," suara-suara penyesalan memadati otaknya. 

Bening merasa Allah tengah menegurnya bertubi-tubi. Mengingatkannya agar tak lagi berbohong. Tidak lagi menuruti hawa nafsu yang akan merugikannya. 

"Bu, kok engga pulang-pulang. Gimana keadaan Mbah Uki?" tanya Bening di balik gadgetnya setelah sehari berlalu.

"Ibu belum bisa pulang, Neng. Harus ngurus Mbah dulu. Kamu baik-baik di rumah, ya," pesan ibunya.

"Pulang sekolah kita ke sana yuuk, Ning," ajak Alifa setelah Bening menceritakan keadaan kakeknya.

"Hayuu," jawab Bening semangat.

Bening tidak konsen mengikuti pelajaran. Bayangan kakeknya terus muncul, segala umpat pun bertalu-talu menyalahkan tindakannya. Hatinya tersiksa penyesalan. 

Sesekali wajah Dirga pun menyapa lamunannya. Tetapi segera ia tepis kala cantiknya wajah Mila ikut serta. Baginya lengkap sudah penderitaannya. 

"Sepeda kita dititipin di mana, Put," ucap Bening saat teringat mereka datang ke sekolahan dengan sepeda.

"Kita titipin di tempat parkir stasiun aja, gimana?" ujar Alifa dengan idenya.

"Ok, deh. Kamu bawa uang lebih engga, takut ongkosnya kurang," tanya Bening yang hanya membawa beberapa recehan saja.

"Alhamdulillah bawa," jawaban Alifa melegakan hati Bening.

Alifa menyalami ibunya Bening begitu sampai di ruangan Mbah Uki. Kemudian melihat keadaan Mbah Uki dan mendoakannya. Sementara itu Bening memeluk ibunya dan menangis.

"Doakan Mbah cepet sembuh biar bisa cepet pulang," suara Ibu Eli menenangkan anaknya. 

Tangisan Bening bukan sebab kesedihan semata, tetapi rasa bersalahnya yang begitu besar. Keputusan gegabahnya menyebabkan kesulitan bagi ibunya juga.

Ibunya harus repot mengurus kakeknya dan meninggalkan kios yang penuh dagangan. Ulahnya telah membuat ibunya banyak mengeluarkan biaya dan tenaga.

"Udah sore. Kalian pulang aja, ya. Takutnya kemalaman di jalan," ucap Ibu Eli yang khawatir dengan mereka berdua.

"Iya, Bu. Saya pamit pulang. Semoga Mbah Uki cepet sembuh." Alifa menyalami Ibu Eli dan berlalu bersama Bening.

Bening harus rela berhari-hari di rumah sendirian. Membersihkan rumah dan pekerjaan rumah lainnya sendiri. Masalah makan dia tidak khawatir karena ada bibinya yang selalu menyiapkan makanan untuknya. 

Bibi Ois pun mengajaknya tidur serumah dengannya, tetapi Bening lebih nyaman tidur di kamar sendiri. Sementara ibunya tetap di rumah sakit. Sedangkan Mang Udin yang bolak-balik mengantarkan keperluan yang dibutuhkan.

Bening mulai gundah, sudah sepekan belum ada kabar baik yang ia terima dari ibunya. Keadaan kakeknya masih saja seperti itu.

Bersambung..

Baca juga:

0 Comments: