
Cerbung
Mata Bening Part 13 (Salah Mengeja Kata)
Oleh : Desi
Baru kemarin Bening merasa melayang di udara. Menatap segala arah bagai nirwana. Alam pun seolah memberi sokongan sukarela. Tanpa ragu angannya telah merajut mimpi bersanding bahagia.
Keramahannya bagaikan benang yang menyulam mimpinya kelak menjadi nyata. Ketampanannya laksana tempat baginya meraih tujuan. Namanya telah akrab Bening rapalkan bak mantra.
Nyatanya itu hanya luapan cinta yang membuncah milik Bening seorang. Menganggapnya memiliki perasaan yang sama ternyata sebuah kesimpulan prematur belaka.
Lara kini menyapa, merampas senyum dari bibirnya. Kecewa kini ia rasa, buah dari salah mengeja kata, perhatiannya bukanlah rasa serupa. Sebab ia salah mengira makna.
"Neng," panggil ibunya yang mendaratkan tangan ke kaki Bening.
"Ibu panggil-panggil dari tadi kok diem aja. Nglamunin apa sih?" ucap ibunya heran.
"Maaf, Bu. Engga denger," jawab Bening singkat sembari bangun dari sofa. Ia memegang gelas berisi teh yang suhunya sudah mulai turun.
"Minum obat ya, Neng. Biar cepet sembuh," ucap ibunya sembari menyodorkan obat generik pereda nyeri.
Bening menuruti kata ibunya. Kemudian menyandarkan kepalanya di bahu ibunya. Ibu Eli membelai rambut lurus Bening dengan penuh kasih sayang.
"Mba Bening tadi ke pasar malam, kan. Kok dicariin engga ketemu," ucap Salman yang tiba-tiba masuk ke rumah Bening.
"Mba pulang duluan, Mon. Kepala Mba sakit," dahi Bening mengkerut memperlihatkan kondisi orang sedang sakit.
"Kamu sakit apa, Neng?" kini giliran mang Udin yang masuk rumah tanpa permisi. Tanyanya dijawab bahasa isyarat Bening.
"Mbah Uki udah tidur?" tanya Mang Udin yang membawakan beberapa makanan untuk mbah Uki.
"Udah kayaknya," jawab Ibu Eli.
Mang Udin meletakkan keresek berisi makanan di meja. Kemudian mengajak Salman pulang untuk tidur.
"Udah, tidur sana," ucap Mang Udin menyuruh Bening tidur.
Bening berjalan ke kamarnya setelah tehnya habis. Ia melihat pohon mungil sri rezeki yang tegak di atas vas transparan di pojok ruang tamunya. Daunnya bergoyang seolah sedang menari.
Bening memiringkan bibirnya merasa ditertawakan oleh sri rezeki yang melambai. Segera ia benamkan wajahnya dalam kasur, sesekali tangannya memukul-mukul guling yang tak bersalah.
Ia teringat saat pertama bertemu Dirga yang begitu membahagiakan sampai luka di lututnya sama sekali tak terasa sakit. Tapi saat kecewa melanda badan yang sehat pun seketika menjadi sakit.
Rasa bersalah sebab kebohongan pun bergelayut. Nafsunya telah memenangkan pangeran yang membuatnya kepincut. Prioritasnya pun lebih menjatuhkan pilihan untuknya mengecap nikmat.
Kini, harapan seakan sirna saat mata melihat Mila membersamai mesra Dirga sang pujaan hati. Tiba-tiba ia bangun dan mengambil handphonenya. Dilihatnya kembali potret digital kebersamaan mereka. Ia berpikir mungkin ada foto yang menunjukkan status mereka tanpa ia sadari.
Benar saja ada beberapa foto yang mengisyaratkan keakraban mereka. Bening merasa begitu naif tidak menyadari sinyal cinta di antara mereka. Dia begitu lugu mengartikan keramahan Dirga sebagai rasa yang akan berbalas.
Lelah dengan apa yang ia rasa membuatnya terlelap mendengkur. Hingga cahaya pagi yang menyapa melalui jendela kaca tak mampu membangunkannya.
"Neng, udah mau jam 6. Bangun kamu belum salat Subuh." Ibu Eli kewalahan membangunkan Bening.
"Bangun, mau berangkat sekolah engga," teriakan ke sekian kali dari ibunya baru mendapat respon.
Bening bangun dan segera ke kamar mandi. Dia tetap melaksanakan salat Subuh meski jarum panjang jam mendekati angka 12.
"Makan dulu, Neng," ucap ibunya begitu melihat Bening sudah siap berangkat sekolah.
"Engga keburu, Bu," jawab Bening.
"Ini dibawa. Kayaknya masih keburu makan dulu sebelum bel masuk. Jangan sampe sakit lagi," beberapa potong roti bakar dimasukkan ke dalam tas Bening.
Bening segera berlalu mengayuh sepedanya dengan kencang. Kakinya terasa begitu panas penuh keringat saat turun dari sepeda, di pintu gerbang sekolah. Sedikit bergetar menapaki paving yang tertata rapi menuju parkiran sepeda.
Keindahan taman sekolah tak lagi nampak dimatanya. Sejuknya hembusan udara pun tak bisa menjadi lagu pelipur lara. Cerahnya langit terpancar matahari pagi tak bersambut senyum di bibir Bening.
"Temenin aku sarapan, Put!" ajak Bening ketika mengeluarkan wadah berisi roti bakar.
"Tadi kesiangan?" tanya Alifa yang dijawab anggukan kepala Bening.
Meski nafsu makannya sedikit hilang, ia tetap memakan bekal dari ibunya. Dia tidak mau ibunya sedih jika melihatnya sakit lagi seperti semalam.
"Put, kamu pernah berboncengan motor dengan cowok yang bukan muhrim engga?" tanya Bening saat berada di kantin sekolah setelah jam istirahat berbunyi.
"Mahram bukan muhrim." Alifa meluruskan ucapan Bening.
"Aku sudah dapet informasi itu jauh sebelum aku baligh. Jadi alhamdulillah sejauh ini aku engga pernah berboncengan sama cowok yang bukan mahram," ucap Alifa.
"Islam itu sangat memuliakan perempuan," lanjut Alifa sambil menunggu _corndog_ nya dingin.
"Demi menjaga kehormatannya, Allah telah atur banyak hal agar perempuan selamat." Alifa berhenti sejenak untuk menyantap beberapa suap _corndog_ mozarella yang ia pesan.
"Tentang pakaian, tentang pergaulan, engga boleh pacaran dan termasuk engga boleh boncengan dengan cowok bukan mahram," ucap Alifa yang merasa bahagia atas pertanyaan Bening. "Sapa tahu aja Bening mau bertanya lebih banyak lagi tentang ilmu Islam," gumamnya dalam hati.
"Kamu merasa ribet engga, sih?" tanya Bening.
Bersambung..
Baca juga:

0 Comments: