
Cerbung
Mata Bening: Bukan Sok Ngustadz
Oleh. Desi
SSCQMedia.Com- Alifa menuntun sepedanya menemani Bening berjalan menuju gerbang sekolah. Mereka telah berjanji akan menjaga persahabatan mereka apa pun yang terjadi.
Bening telah mantap menemukan sahabat sejati dalam diri Alifa. Tidak peduli berapa banyak kata yang menyinggung hatinya. Toh, bagian hati yang lain mampu menerima tutur Alifa sebagai kebenaran.
Begitu pun dengan Alifa, kedekatannya dengan Bening sebagai rasa tanggungjawabnya sesama muslimah. Asanya menggebu menggandeng Bening dalam satu jamaah.
Tak peduli betapa sulitnya meruntuhkan benteng pertahanan ego Bening. Dia tak alpa merapalkan untaian doa terbaik. Berharap penuh kesungguhan Allah akan kabulkan.
Bayangan indah kebersamaan mereka dalam sebuah majelis ilmu selalu menghiasi kepala Alifa. Dia begitu rindu kehadiran Bening di sisinya dalam satu kajian. Dia pun yakin karakter Bening akan mampu memperkuat perjuangannya.
Tangan Bening ikut memapah sepeda Alifa dari sisi kanan. Tawa keduanya sesekali terdengar. Hingga sampailah keduany di mulut gerbang sekolah. Bening mengangkat lututnya, mendongakkan dagu mencari seseorang yang diutus ibunya untuk menjemput.
"Duduk di halte, yuuk, Ning. Aku temenin kamu sampe dijemput," ucap Alifa mengajak Bening duduk di sebuah bangku besi yang dicat biru. Mereka memarkirkan sepeda di samping halte.
Bening mengekor langkah Alifa. Duduk bersebelahan menatap lapangan sepak bola yang ada di seberang kanan dari tempatnya berada.
Nampak ramai anak-anak remaja dengan seragam kesebelasan dan juga sebagian berseragam identitas dari SMA 1 yang merupakan sekolah Dirga dan SMA Karya Taruna. Terlihat dominan merah di sebelah kanan dan hijau di sebelah kiri.
"Kayaknya mau tanding bola, Put," ujar Bening.
"Iya, rame banget," jawab Alifa.
"Ah kalo naik sepeda sendiri, aku mau nonton dah," celetuk Bening.
"Kalo aku mending pulang ngerjain sesuatu yang lebih bermanfaat dan berpahala," ucap Alifa sambil tersenyum dengan tangan mendarat di paha Bening.
"Hidupmu serius amat, sih," ujar Bening kesal.
"Sebab Allah tidak main-main menciptakan kita. Makanya aku engga mau main-main mengisi usia." Alifa menggenggam tangan Bening dan menatap wajahnya dalam-dalam.
Untuk kesekian kalinya kalimat Alifa menampar akal Bening. Ia selalu kagum dengan kecerdasan Alifa yang mengerti banyak hal tentang agama. Tidak seperti dirinya yang dangkal perihal agama.
Meski sadar dirinya jauh dari pemahaman Islam, tetapi masih saja mengabaikan ajakan Alifa untuk mengkaji ilmu Islam. Dia lebih memilih menikmati arus kesenangan dunia yang menghanyutkannya.
"Aku punya pandangan jauh ke depan melampaui alam ini. Itu sebabnya aku selalu berusaha menjauhi perbuatan sia-sia karena ada pahala dan dosa," jelas Alifa.
"Terus saja ceramah. Sok ngustadz," ucap Bening dengan bibir monyong. Hatinya dongkol tetapi dia mengakui jika Alifa bagaikan alarm yang siap berbunyi kala lakunya mengindikasi keliru.
"Eeeh, bukan aku yang sok ngustadz tapi baqo kamu yang ketinggian. Turunin dikit ngapa!" santai Alifa menimpali. Alifa yakin cepat atau lambat ucapannya akan disambut kesadaran Bening.
"Apa itu baqo," banyak bahasa Alifa yang tidak dimengerti Bening. Dia heran Alifa punya vocabulary yang begitu luas.
"Makanya kalo aku ajak ngaji jangan ditolak terus," jawab Alifa.
"Ah, paling juga gitu-gitu aja," tukas Bening.
"Eeh, jangan salah. Sekali kamu mempelajari ilmu Islam pasti akan ketagihan," ucap Alifa.
Kemudian Alifa melanjutkan ucapannya, "Seperti nonton drakor, satu episode berakhir, ingin buru-buru nonton episode selanjutnya," sejenak Alifa berhenti untuk meneguk air minum yang disimpan di samping tasnya.
"Sama-sama merasakan candu tetapi yang satu mencerdaskan, bermanfaat dan berpahala yang satunya engga," ucapan Alifa berhasil mengerutkan dahi Bening.
"Ilmu Islam itu ibarat cahaya yang siap menyinari siapa saja yang mempelajarinya. Sehingga jalan kebenaran itu jelas terlihat. Jadi engga mungkin tersesat," jelas Alifa diiringi doa yang mendayu-dayu dalam hatinya.
Bening terdiam dan melemparkan pandangannya ke arah lapangan sepak bola. Sesekali terdengar yel-yel penyemangat tim mereka. Beberapa pedagang kaki lima nampak dipadati para pembeli berseragam sekolah.
Ketika sedang mengedarkan pandangannya, mata Bening menangkap sesosok dambaan dari kejauhan. Wajahnya jelas rupawan meski tak menatap dari dekat. Hidungnya yang mancung nampak bercahaya terkena sinar matahari.
Lambaian tangan disertai senyum mengembang menambah pesona kegantengan. Bening memindai wajah elok limited edition milik Dirga. Dia membingkai wajah rupawan itu dengan apik di dalam dadanya.
"Eeh, dia ke sini!" spontan Bening berdiri melihat Dirga melambaikan tangan sedikit berlari ke arahnya.
Kedua tangan Bening menyatu di depan dadanya. Matanya berbinar, disusul rona pipi yang memerah. Segala rasa bercampur ada mengalirkan bahagia. Jantungnya berdendang bertalu-talu. Tetapi iramanya hanya terdengar di telinga Bening.
"Hai, Alifa. Hai, Bening," suara seksi Dirga menyapa mereka berdua.
"What, Dirga kenal Alifa? Mereka kenal di mana, sejak kapan?" ucapnya dalam hati penuh tanda tanya. (Bersambung)
Cilacap, 9 Oktober 2022
Baca juga:

0 Comments: