Headlines
Loading...

Part 5
*Malam Jum'at*
Oleh: Muflihah S.Leha

Kabut hitam di sore hari menyelimuti desa Karpuc yang sepi, suara petir memekik telinga, sore yang tampak gelap seakan langit sedang menahan beban.
Dengan bergegas Aldan menghampiri Dika.

"Dik cepetan yuk," ajak Aldan yang sudah rapi.

"Ya sebentar," sahut Dika sembari mengencangkan sarungnya.

Usai salat Ashar mereka terbiasa mengaji di pesantren Api Salaf yang kurang lebih 500 meter jaraknya.

"Pinjam payung Eyang, mau hujan," teriak Ibunya.
Dika tidak mendengar suara Ibunya karena cepatnya
mereka berlari.
Hanya hitungan menit hujan deras mengguyur desa itu.

Sore yang begitu sunyi, suara riuh adik-adiknya terendam suara derasnya tetesan hujan. Anis duduk di teras menunggu anaknya yang sedang mengaji.

Lamunannya begitu jauh membayangkan masa kecil Dika.
Anak yang selalu berprestasi, disukai oleh semua gurunya.
Bocah imut yang menyenangkan, kini sudah besar.

Bahkan ada rasa bahagia saat Dika mendapatkan hadiah-hadiah kecil, seringnya mendapat nilai 100 setiap soal yang diberikan gurunya Dika mendapatkan uang jajan dari wali kelasnya.
Hujan semakin deras, suara petir bergemuruh. 

"Duh Gusti lindungilah anakku yang sedang mengaji,"
Ia mengingat anaknya yang tidak membawa payung, di tengah kekacauan pikirannya. Dika berdiri di belakangnya. Ia tersentak dengan suara Dika yang berdiri di balik pintu dengan baju basah kuyup.

"Astaghfirullah hal'adzim..." sontak suara ibunya spontan.

"Cepetan ganti baju," pinta ibunya.
Dika hanya melemparkan senyuman dan bergegas ke kamar mandi.

"Diguyur air hangat Dik," pinta ibunya sembari menyalakan kompor merebus air.

"Gak usah, sudah selesai," sahut Dika dari dalam kamar mandi.

"Lah airnya sudah mendidih,"

"Bikin kopi saja, buat wedang," ledek Dika cengengesan, tampak kedinginan. Ibunya segera membuatkan teh hangat.

"Kok teh, aku kan minta kopi," keluh Dika sembari tersenyum.

"Kopinya habis," sahut Ibunya. 

**

Meski anak ndeso, mereka masih menjadi santri, walaupun santri k*long yang disematkan namanya.
Mereka tetap semangat.
Mereka mengatakan santri k*long, karena hanya numpang mengaji, berbeda sama santri-santri yang nonstop di pondok, mereka selalu ada karena berasal dari tempat yang lumayan jauh.
Sementara yang dari desanya sendiri hanya dicap santri k*long.

**

Pagi yang sangat cerah setelah semalaman diguyur hujan lebat, dedaunan tampak bersih, pohon-pohon terlihat segar terkena pancaran cahaya matahari pagi.

Aldan dengan rajinnya sudah bersiap untuk berangkat sekolah, dengan pelan mengeluarkan motor dari celah dinding rumah dengan pagar bolong yang di jadikan tempat parkir motornya. Ia mengeluarkan motor sembari memanaskan mesinnya, menunggu motornya panas, ia segera mengambil sepatu dan memakainya dengan cepat, mendengar suara motor yang di gas.
Dika yang sedang sarapan berlari meninggalkan sisa nasi di meja.

"Tungguin aku," pinta Dika.

"Cepetan, ntar gak ikut Duha," cetus Aldan.
Dika bergegas memakai sepatu, dan segera pamit, 
"Berangkat Ma, Assalamualaikum," teriak suara Dika yang di jawab dari dalam oleh Ibunya.

**

Program sekolah baru, meski Dika naik ke kelas baru namun wali kelasnya masih dipegang Bu Alfi, program sekolah berubah setelah kepala sekolah diganti.
Semua bersorak, pasalnya bapak Masino yang jadi kepala sekolah baru adalah kepala sekolah sewaktu SD. kini pindah ke SMP tempat mereka belajar, serasa diikuti  pak Masino yang  sangat paham dengan anak didiknya di SD, mereka sangat senang.

Dika menjadi anak teladan yang pandai dan menonjol terutama pelajaran matematika dan fikih, 
Bu Alfi adalah salah satu sosok guru yang paling garang di sekolahnya. Meski seorang perempuan, kedisiplinan bu Alfi melebihi pak Sodik yang berkumis tebal.
Namun ramah dan humoris.

Teringat dengan jelas saat pertama kali Dika mendapat pujian dari bu Alfi yang terkenal tegas dan mahal untuk tersenyum, sulit mendapatkan  simpatik darinya namun Dika bisa mendapatkan pujian darinya, kini menjadi kenangan,
Karena Dika sering kesiangan.
Mungkin karena keinginannya yang belum kesampaian.
Namun Dika selalu berusaha memperbaiki dirinya.
Dika ingin seperti yang lain punya motor sendiri. Yang sampai saat ini belum terpenuhi.
Karena rasa khawatir orang tuanya, anak baru SMP minta dibelikan motor pasti berbahaya, dan bukan karena rasa was-was tetapi juga keadaan ekonomi yang  terbatas, sehingga belum bisa membelikannya.
Ada rasa bersalah di benak Dika memaksakan diri ingin seperti mereka.
Dengan kesadarannya dia bisa melawan egonya sendiri.
Bertahan walau pahit.
Hatinya terkadang menjerit, hanya khayalan yang menghinggapinya. Berharap bisa punya motor pribadi, begitu kalau di tanya temannya saat melamun.

Dengan cepat Dika menghempaskan badannya ke atas mesin yang sedang ditunggu Aldan.

"Benerin dulu sepatunya, tuh kolornya belum diikat, nggubed ruji baru tau rasa Lu," pinta Aldan melihat keteledoran Dika.

"Katanya cepet-cepet, ngiket sepatunya sambil jalan kan bisa," 

Aldan mendengus kesal, mengembuskan napas panjang mendengar jawaban Dika anak yang aneh dan membingungkan.

Dengan perlahan Aldan menarik gas dan melaju dengan pelan.

***

Sepulang sekolah, mereka berkumpul di lapangan,
Kebun yang sudah mereka bersihkan untuk berlatih sepak bola.

"Mana yang belum setor," tanya Anam yang sedang mengumpulkan uang berencana untuk membeli seragam.

"Kurang berapa Nam?" tanya Rizal, mudah-mudahan saat pertandingan tiba uang sudah terkumpul.

Anam mengumpulkan uang dari uang saku yang mereka sisihkan.
Anam dan Rizal adalah anak yang sudah masuk SMA yang menjadi tim  sepak bola yang akan bertanding dengan desa tetangga.

Mereka sangat antusias berlatih bermain, tak peduli hujan deras mengguyur mereka, semakin asyik bereka bermain, keramaian itu makin terasa saat Dika dan Epan terjatuh, bolak-balik tabrakan dan rebutan bola membuat pertandingan makin memanas, badan penuh lumpur yang membuat andrenalin semakin naik, sampai hujan reda mereka hanyut dalam permainan yang menguras tenaga.

"Woi! jam berapa sekarang," teriak Aldan yang berdiri menjaga gawang, ada latihan di pondok buat menyambut maulidan,"

"O, iya he, latihan perjanjen," sahut Dika dari kejauhan. 

Dengan kompak mereka bubar, dan segera pulang bersiap untuk latihan salawatan.

***

Seperti biasa setiap sore santri k*long berkumpul di pondok, setelah hujan-hujanan main bola mereka berkumpul di pesantren, setelah mengaji mereka gak pulang karena latihan salawatan. 
Usai acara mereka bimbang.

"Dik pulang gak," tanya Aldan usai latihan,

"Dah malam, tidur di sini ajalah ya," jawab Dika berharap ajakannya di setujui Aldan.

"Aku mau pulang saja, Yuh Pan," ajak Rizal.

"Malam Jum'at mas Rizal," sahut Aldan memastikan.

"Memang ada apa dengan malam Jum'at," Rizal membalikan pertanyaan.

"Malam keramat," sahut Dika sembari tersenyum cengengesan.

"Pulang gak Pan," 

"Ayuk," sambut Epan,

Melihat Rizal pulang bersama Epan, Aldan dan Dika pun berpamitan, memutuskan untuk ikut pulang.

Karena berbeda jalur Rizal yang searah dengan Epan pulang lewat jalan raya.
Aldan dan Dika menyusuri jalan setapak dengan lampu yang remang-remang.

"Pan," tanya Rizal yang tiba-tiba memeluk Epan, ketika melewati jalan yang sepi, walau di atas tampak rumah namun jalan itu terkenal angker, sedikit menikung, banyak pohon rindang hanya ada sinar dari kejauhan.

"Kok bulu kudukku merinding," keluh Epan yang tiba-tiba merasakan keanehan.

"Iya aneh tak biasanya Pan," sahut Rizal yang juga merasakan, gerimis kecil membuat badan semakin dingin.

"Malam Jum'at, gerimis, biasanya juga gak seperti ini ya,"  

Tiba-tiba kaki mereka tak bisa di gerakan, rasa dingin dan aneh membuat mereka gelagapan.

"Rizal menatap pohon bambu yang begitu rindang, gelap tanpa pancaran sinar, terlihat mahluk aneh sedang berayun tertutup kain putih yang menempel dengan ikatan di atas kepala, dengan muka yang tak jelas.

"Iii itu apa Pan," sembari mengacungkan jemarinya ke arah pohon bambu yang melengkung di atas jalan.

"Po ... po ...pocong...," seketika pelukan mereka semakin erat namun kaki mereka tak bisa di gerakan.

"Epan menangis ketakutan, mahluk itu semakin mendekat dengan wajah yang hancur tak karuan.

Dengan spontan Rizal membaca ayat kursi.
Sembari berusaha berlari sekuat tenaga.
Dengan mata tertutup tak kuat mereka menatap mahluk aneh di depannya, dengan erat tangan Epan ditarik oleh Rizal yang mulai bisa berlari dengan tenaga yang ia kerahkan, mereka bisa berlari kencang setelah mengucapkan doa-doa yang ia hapal.

Dengan napas yang ngos-ngosan mereka berhenti di depan toko milik pak Sukur tetangganya, meski rumah Epan sudah kelihatan namun detak jantungnya masih terpompa kencang, banyaknya orang yang keanehan melihat Rizal dan Epan.

"Ngapain kamu, tumbenan?" tanya pak Sukur keheranan.

"Ada pocong,"

 "Nglombo," sahut pak Sukur sambil ketawa.

"Beneran," suara Rizal meyakinkan.

"Di mana," tanya pak Sukur tak percaya.

"Di sana," jawab Epan sambil menunjuk kearah yang gak jauh dari situ.

"Yuh coba kita kesana," cetus pak Sukur tak percaya.

"Percaya kek, kagak kek, aku tak peduli," sahut Rizal sembari berlalu setelah ketakutannya hilang.
Sukur mengajak orang beramai-ramai melihat tempat yang biasa di lalui orang-orang itu.

Bersambung

Baca juga:

0 Comments: