Headlines
Loading...

Part 4
*Telat Salat Berjamaah*
Oleh: Muflihah S.Leha

Ayam jantan berkokok bersahutan, angin kencang menembus hingga ke tulang, pagi yang dingin AC alami dari alam pegunungan. Ibu masih khusuk dalam balutan mukena di atas sajadah yang membentang, terdengar azan subuh berkumandang.
Dika masih terlelap dengan tidurnya, berkali-kali suara Ibunya memanggil tak di hiraukan.

"Dik ..., azan," pinta Ibunya.

Entah mengapa semenjak naik kelas kemalasan Dika bertambah, padahal waktu kecil sangat rajin azan, kini dibangunin cuma mengerang,
sesekali bergerak hanya menarik selimut, dan meringkuk kembali. Setiap waktu salat harus diingatkan, seharusnya lebih semangat karena waktu kecil sudah terbiasa salat berjamaah.

Semakin besar justru jarang salat tepat waktu, apalagi waktu subuh, rasa kantuk, rasa dingin, dan berbagai rasa menyerang raganya.

Adik-adiknya yang masih kecil sudah bangun sendiri tanpa diminta, semua dilatih untuk taat beribadah, mereka bersiap menuju ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
Suara riuh adik-adiknya usai shalat berjamaah tak juga mampu membangunkan tidur kakaknya.

Mendapati Dika masih tertidur sepulang dari masjid, kemarahan Ibunya tak bisa di redam, ditariknya selimut Dika disertai dengan omelan yang memaksa Dika untuk segera membuka mata.

Dengan terpaksa Dika menuruti Ibunya, segera mengambil wudu dan salat Subuh, mencoba menarik badannya yang terasa begitu berat.
Usai salat Dika bermain-main.
Ibunya yang mendengar suara Dika, keheranan.

"Baru saja selesai wudu kok sudah bermain, cepet sekali salatnya," 

Melihat Dika meledek  si kecil, tangisannya membuat bising.
Ibunya spontan mengambil handuk dan melempar ke arah Dika dan memarahinya.

"Kamu sudah salat apa belum sih..., segitu kilatnya," 

"Iya udah," jawab Dika.

"Salat segitu cepatnya?" gumam Ibunya.

"Lah kan cuma 2 raka'at," jawab Dika dengan enteng.

"Apa dua raka'at secepat itu ulangi!" pinta Ibunya memaksa.

"Ya elah Mama aku kan sudah hafal doanya, jadi bisa cepat, yang salatnya lama itu... karena belum hafal," cetus Dika sambil cengengesan.

"Hust ..., sembarangan kamu, setiap hari disuruh ngaji, ngomong masih sembarangan," bentak Ibunya.

"Mandi cepat, sudah sekolah SMP seharusnya lebih pagi berangkatnya, sekolahannya kan lebih jauh,"
sembari menyalakan kompor menyiapkan air panas.

Nasehat Ibunya tak digubris masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Dika segera mandi, usai berpakaian lengkap Ia menuju dapur mengambil sarapan. Dika terbelalak ketika menengok jarum jam. 

"Wah cepat sekali jarum jam melaju,"
Bergegas Ia menaruh piring ke tempat cucian.
Semenjak Gurunya melihat Dika tidak ikut shalat Duha, hari ini dia  berusaha agar ikut berjamaah shalat Duha seperti biasa.

"Jangan sampai aku kesiangan," keluhnya dalam hati.

Bergegas Dika mengambil sepatu dan meraih tas, Ibunya menyalakan mesin motor dengan ngedumel.

"Coba berangkatnya tadi sama Aldan gak perlu repot-repot dianterin. Emangnya Mama ngurusin kamu saja, adik-adikmu juga harus diurusi juga kan,"

"Biasanya berangkat pagi, seharusnya sudah bisa lebih mandiri, berangkat sendiri pagi-pagi jalan kaki lebih sehat." 

Dika menghempaskan badannya ke atas motor tanpa sepatah kata, berharap Ibunya berhenti menasehatinya.
Wajahnya merasakan kekhawatiran karena takut kesiangan.

Jalanan tampak sepi, tak terlihat lalu lalang  yang biasa padat merayap oleh pejalan kaki dan motor mengantar anak sekolah.

Motor berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang hampir tertutup, dengan cepat Dika menjulurkan tangannya menyalami Ibunya sembari mengucapkan salam,
Anis menyambut tangan anaknya.
Dan menjawab salamnya.

"Belajar yang sungguh-sungguh," pinta Anis sembari melambaikan tangan.
Dilihatnya Dika dari kejauhan. 
Setelah jauh Anis segera memutar motornya dan meninggalkan tempat itu.

Dika memasuki gerbang yang setengah tertutup, dengan bergegas, sepasang netra menatap arah masjid sekolah yang bertebaran siswa-siswi keluar dari pintu masjid usai berjamaah.

"Duh gak ikut jamaah hari ini," sesal Dika.
Dengan cepat Dika masuk kelas tanpa menoreh.
Melihat Dika yang sedang berjalan menuju ke kelas, Epan berlari mengekor.

"Gak ikut jamaah Lu," sambut Epan dari belakang dengan menepuk punggungnya.
Dika tak membalas sapaannya.
Ngapain dibalas dah tahu gue kesiangan, dengan terpaksa
Dika melemparkan senyuman,
bersama memasuki ruang kelas.
Baru sampai di pintu masuk mereka mendapati Rama sedang duduk di bangkunya.

"Loh kamu gak salat Duha Ram," tanya Dika bergumam.

"Kamu kan berangkat bareng sama aku masih pagi, kok bisa gak salat sih," ucap Epan.

"Aku lagi _badmood_," jawab Rama
Sembari menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Hu hu lagi sakit hati ni ye," ledek Dika.

"Huh apaan sih," sembari menyoyorkan tangan ke muka Dika.

"Iya aku tahu sepucuk surat kata putus, yang kau buang," ledek Dika.

"Hah Gue buang surat itu di mana ..." tanya Rama penasaran.

"Adikmu yang nemu, gue gak sengaja baca, iya kan Lu lagi sakit hati," cetus Dika.

"Enak aja Lu, sembarangan," sergah Rama.

"Putus  satu tumbuh seribu, yuk cari yang baru," sahut Epan.

"Ish, ish, ish..., nyari satu saja belum nemu, mau nyari seribu...," keluh Dika terkekeh.

"Mau nyari ke mana?" tanya Rama.

"Tuh banyak tinggal milih," sembari mengacungkan jari kearah siswi putri,

"Yang dipilih mau kagak," sahut Rama.

"Coba nanti aku tanyakan," potong Dika.
Sembari berdiri menyambut Pak guru masuk ke ruang kelas. 

Ada pemandangan yang tak biasa ketika pak Sodri masuk di kelas 2A.

"PR silahkan dikumpulkan," pinta Pak guru.

"PR ..., apa ada PR," tanya Dika panik.
Mereka saling melotot satu sama lain.

"Ada PR kok aku bisa gak tahu," Epan menatap Rama yang tak kalah panik.

"Wah ada yang gak beres ni," cetus Dika.

"Lu kali yang gak beres."

"Ayo kumpulkan, yang gak ngumpulin silahkan keluar sampai jam pelajaran saya selesai" pinta pak Sodri dengan tegas.

Seketika ruang kelas 1A riuh, tumben pak Sodri yang hampir tak pernah marah tampak serius.

"Jangan bercanda Pak," ucap ketua kelas.

"Kapan bapak ngasih PR,"

Rasa plong dihati Dika dan timnya melesat.
Mereka sudah yakin kalau tidak ada PR.

Pasalnya kemarin saat pak Sodri masuk Dika dan Rama memilih pelajaran Bahasa Indonesia di kelas 1B, merasa tak ketahuan 
Tapi ternyata di ketahui pak Sodri.
Mereka tak merasa bersalah karena bu Rahmi tak melarangnya waktu mengikuti jam pelajarannya. 

"Siapa yang tidak menginginkan jam pelajaran saya silahkan keluar," pinta pak Sodri yang terkenal ramah dan humoris. Cara menyampaikan pelajaran yang dikenal membosankan membuat anak didiknya ngantuk.
Dan tak bersemangat
Tidurpun di biarkan.
Karena sifatnya yang membuat muridnya tak ada yang takut, hari ini semua muridnya baru merasakan keseriusan. Dengan sikapnya yang berubah drastis
Sampai pelajaran berganti guru, kelas tampak sepi, semuanya memperhatikan gurunya.

***

Bel berbunyi, semua siswa bertebaran keluar gedung.
Dengan cepat Dika keluar mencari tumpangan, siapa tahu ada teman yang kosong, untuk menghemat uang saku yang tidak cukup untuk naik angkot, terpaksa Ia harus nebeng.

"Dik hayuk," pinta Aldan, menawarkan tumpangan, dengan girang dan bergegas Dika menghempaskan pinggulnya ke atas motor Vega milik Aldan.
Dengan perlahan Aldan melaju.
Tampak Epan dan Rama melambaikan tangan dengan cepat melewati motornya, merasa tersalib
Aldan menarik gasnya dan mengejarnya dari belakang.

**

Sesampai di rumah mereka hanya makan. Sudah terbiasa mereka berkumpul kembali.
Aldan keluar melewati rumah Dika dan Rama sembari memanggil-manggil nama yang terlewati rumahnya.

"Dik, Yuh"

Dika keluar tengak-tengok, mendengar suara Aldan memanggil.

"Hah di mana orangnya," sembari keluar menyusul Aldan yang sudah bisa di terka kemana arahnya.

Dika mengayunkan kakinya sembari membuka gedjed di tangannya,
Rama keluar dari rumahnya.

"Tadi aku dengar suara Aldan kok Lu sendirian," ucap Rama.

"Iya tadi juga memanggilku, dah ke sana duluan paling,
Dika dan Rama bergegas menyusul, Aldan mereka berkumpul di kebun tempat nongkrong dan bermain game online, karena hanya di belakang rumah mbok Hadiyah sinyal bisa penuh, demi bisa bermain game mereka harus keluar mencari sinyal.

Cukup sulit mencari sinyal di kampungnya, karena berada di dataran tinggi, rumah mbok Hadiyah meski di pinggir pereng, namun bersebelahan dengan pereng seberangnya yang tampak terlihat beberapa tower berdiri kokoh di ujung sana. mereka berkumpul bukan hanya satu kampung, tapi dari luar pun berkumpul bercanda dan bermain bersama.

Merasa bosan dengan game, mereka mencari ide.

"Bosen ngapain ya," keluh Rama.

"Main sepak bola yuh," ajak Aldan.

"Ayuk," semua kompak menyambutnya.

"Oke, kita bagi tim,"

"Setuju,"

Dengan adil tim terbagi. Pertarungan baru akan dimulai, tidak sengaja bola ditendang Dika kearah jurang.

"Aduh, piye iki," keluh Dika sembari menepuk jidatnya sendiri dan berlari meraih bolanya sambil berteriak.

"Woi ... Bolanya ngglundung woi ..." 

"Piye to Dik ... Dik..." Keluh Aldan melihat Dika berlari dan spontan ikut berlarian menolong.

Semua berlarian mencari bola ke tepi jurang, dengan asyik tangan bertumpu ke pohon-pohon kecil gelantungan, pohon-pohon kecil yang berjejer memudahnya mereka lompat dari satu arah ke arah berikutnya, tampak riang suara bersahutan. 

"Ketemu woy," teriak Farih dari bawah.

"Lempar Rih," pinta Epan.

"Jangan woi, nanti jatuh lagi," sergah Rama

"Asyik koh," sahut Dika.

"Asyik pala lu," Aldan sedikit sewot.

"Yuk kita cari tempat yang datar, jangan disini, capek nanti bentar-bentar bola jatuh," pinta Aldan.

Semua setuju, mereka berjalan mencari sasaran. 

"Nah di sini cocok nich," 

"Yuk kita bersihkan,"

Dengan kompak semua membersihkan karangan kosong, tak peduli tanah siapa yang mereka bersihkan, mereka bersatu kerja bakti, untuk membuat lapangan sepak bola.

Dengan senang mereka bermain sepak bola setiap pulang sekolah.
Aldan menjadi tim yang membuat suasana makin ramai.
Mengetahui kegiatan generasi anak-anak suka dengan sepak bola, perangkat desa setempat mengadakan perlombaan antar desa.

Bersambung

Baca juga:

0 Comments: