
Cerbung
Ketika Hidayah Menyapa Part 9 (Cemas)
Oleh: Muflihah S Leha
Rasa lapar yang ia rasa sejak siang kini menghilang, serasa hatinya tercabik-cabik ketika melihat anak yang baru pulang sekolah rambutnya berwarna.
Entah mengapa dada ini serasa geram, sejak saya masih kecil sampai sekarang gak suka dengan rambut yang berwarna-warni.
Mereka pikir keren, justru seperti anak nakal yang tak bermoral. Anis menggerutu dalam hatinya.
Dengan buru-buru, ia membuka pintu rumah usai menjemput anak-anaknya. Ia hanya minum seteguk air mineral untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering. Perut keroncongan tak ia hiraukan. Nafsu makannya berubah menjadi kegundahan.
Usai menjemput anak-anak, Anis melanjutkan pekerjaan, sembari mengumpulkan kekuatan untuk melawan rasa kemarahan yang menghujam. Walau capek tak ia rasakan untuk mencuci baju dan seabreg pekerjaan lainnya.
Menjadi seorang ibu yang mengurus rumah tangga sendirian. Dengan ekonomi yang serba pas-pasan, baginya bisa memberinya makan, membiayai sekolah anak-anaknya, adalah suatu hal yang harus disyukuri. Suami yang rela banting tulang dengan penyakitnya yang kadang _ngedrop_ dan butuh perawatan, membuat mereka tegar dalam setiap cobaan.
Menyadari anak adalah sebuah titipan yang harus senantiasa ia arahkan ke jalan yang benar. Namun ketika diuji dengan anak, hati terasa tersayat-sayat.
Kegundahannya mulai menyeruak.
Usai menuntaskan pekerjaannya, ia baru kepikiran Dika.
"Sudah semakin sore Dika kok belum pulang, seharusnya ia sudah pulang dan mengaji" keluhnya dalam hati.
Menyadari kemarahan yang dialami tadi siang, membuatnya galau.
Lamanya menunggu anak sulungnya pulang, membuat dadanya terasa sesak, pikirannya mulai tidak karuan, mondar-mandir ia keluar masuk menjaga pintu,
menahan kegundahan.
"Tadi aku sudah mengusirnya," sesalnya dalam hati.
Tampak Aldan dari kejauhan, baru pulang mengaji tangan kanannya mendekap mushaf, mengenakan peci hitam lengkap dengan sarung favoritnya.
Aldan melemparkan senyuman sembari bertanya,
"Lik Dika kok nggak ngaji,"
Di serang pertanyaan yang sedang mengganjal di hatinya, Anis mencoba sabar.
"Dika dari tadi belum pulang koh, kemana ya, aku kira sama kamu," Anis kembali bertanya, dengan menyembunyikan kekesalan hatinya.
"Coba Al kamu carikan sana, tanyain Rama sama Epan, mbok ada yang tahu di mana Dika," pinta Anis yang semakin gelisah.
"Iya Lik, sebentar ya aku pulang dulu" sahut Aldan.
Usai meletakkan mushaf, Aldan keluar
untuk mencari Dika.
"Lik...," teriak Aldan.
"Piwe Al," tanya Anis.
"Dika bawa motor nggak,"
"Nggak, coba tanya bonceng siapa, atau pinjam motor siapa, tolong ya Al," pinta Anis memohon.
"Ya Lik," sahut Aldan sembari berlalu.
Aldan mengayunkan kakinya menyusuri jalan-jalan yang berkelok, berharap mendapat petunjuk di mana Dika berada.
Di pintu keluar gang, terlihat Rama dan Epan berboncengan dari kejauhan, arahnya semakin dekat hanya hitungan detik motor berhenti tepat di depan Aldan.
"Ram Lu gak bareng sama Dika," tanya Aldan.
"Nggak,"
"Dika belum pulang dari tadi siang, yuk kita cari," pinta Aldan.
"Nyari kemana ? tempat yang biasa kita nongkrong ? kita baru saja pulang, Dika gak ada di sana," ujar Rama.
"Iya di lapangan juga gak ada," pungkas Epan.
"Coba kamu cari kerumah teman-teman, Lu kan pake motor, tanya informasi teman-teman yang lain," pinta Aldan
sembari berjalan.
"Aku nyari ke depan mau tanya sama Rizal siapa tahu ada yang melihatnya," ucap Aldan.
"Oke aku kerumah Agung," sahut Rama
sembari menancapkan gasnya dan berlalu.
Sinar mentari semakin redup perlahan, Aldan berjalan menyusuri jalanan, tak ada petunjuk yang ia dapatkan.
Ia kembali melewati tempat yang biasa nongkrong bermain game bersama Dika.
"Kemana sih Lu Dik..." gumamnya dalam hati.
Tampak dua anak kecil keluar dari toko sedang berlarian menenteng jajanan.
"De kamu tadi melihat mas Dika di sekitar sini gak," Aldan bertanya sekenanya.
"Ah anak kecil mana tahu," bisiknya dalam hati.
"Mas Dika tadi siang naik mobil hitam," sahut anak kecil yang lain sembari berlarian.
"Naik mobil," Aldan tersentak dan mengulang.
"Kamu beneran De ngeliatin, apa itu mas Dika apa gak salah," Aldan bertanya memastikan.
"Iya beneran sama siapa gak tahu, tapi aku liat di depan rumah, dia masuk ke mobil," jawab anak kecil sambil berlalu.
Mendengar jawaban anak itu Aldan bergegas pulang, setengah berlari Aldan masuk gang. Suara motor berhenti dari belakang.
"Dan gak ada yang tahu di mana Dika berada," ucap Epan.
"Semua teman sudah dichat gak ada yang tahu," pungkas Ramadan.
"Iya aku sudah tahu, kata adiknya Rizal Dika naik mobil,"
"Naik mobil," tandas Epan tak percaya.
"Mobil siapa, apa bukan penculik ?"
cetus Epan sembari cengengesan.
Aldan menghempaskan kakinya membonceng di belakang Rama, dengan kaki menggantung.
Epan menarik gasnya perlahan, motor pun melaju dengan pelan.
Epan mematikan mesinnya tepat di depan rumah Dika, tampak wajah-wajah keluarga Dika dengan penuh kecemasan.
"Gimana Al," tanya Anis tak sabar.
"Ada yang ngeliat katanya Dika naik mobil hitam tadi siang," jawab Aldan meyakinkan.
"Naik mobil...," pungkas Anis tak percaya.
Azan magrib berkumandang, ditengah kecemasan mereka.
Semua pergi mengambil air wudu menuju ke masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Usai berjamaah Anis tak langsung pulang.
Mencoba mengingat saat-saat terakhir ia memarahi anaknya.
Hatinya remuk redam saat mendengar kembali kata-kata yang tak sadar ia lontarkan, kata-kata yang terngiang di telinga anaknya,
Ia menyuruhnya pergi jangan kembali lagi kalau tak mau nurut.
"Apa yang harus aku lakukan,"
"Lindungilah anakku ya... Rabb di mana pun dia berada,"
"Dik ..., apa yang sedang kamu pikirkan,"
Bulir-bulir air mata mulai menetes beriringan, semakin deras tak dapat di bendung, lamunannya kembali teringat beberapa tahun yang silam. Dika kecil pergi tanpa arah dan tujuan.
Ia sadar saat itu Ia masih kecil gak mungkin pergi jauh, kini Ia sudah dewasa pergi kemana. Hanya lantunan doa yang ia panjatkan.
Semua masalah ia adukan kepada sang Kholiq.
Malam semakin pekat, langit putih menghitam, disertai kilat, angin menderu semakin kencang, saat mata lelah memikirkan Dika yang belum pulang, matanya terasa berat.
Terdengar suara motor, suaminya yang mencari Dika selepas salat Isya. Anis bergegas keluar berharap suaminya berhasil membawanya pulang.
"Gimana Pa,"
"Gak ketemu, sudah muter-muter setiap toko, lampu merah, tempat remaja nongkrong-nongkrong tak ada yang kenal Dika, kuhampiri gak ada wajah Dika," belum selesai ngomong, hujan deras mengguyur.
Tangisan Anis pecah membayangkan anaknya.
"Ya Allah di mana kamu Dik..., Hujan deras pasti kamu kedinginan..."
Bersambung
Baca juga:

0 Comments: