Headlines
Loading...

Oleh: Muflihah S Leha

Dengan bergegas bu Alfi keluar dari kelas 2A, mimik wajahnya menunjukan kemarahan sekaligus kekesalan.
Hatinya mendengus kesal, bukan kali pertama muridnya bertingkah. Hukuman tidak menjadikan siswanya jera.

Hampir setiap malam 
Dika dan teman-temannya menghabiskan waktu untuk bermain game. Akibatnya, saat  pelajaran sedang berlangsung, rasa kantuk tak bisa ia tahan, begitu beratnya membuka mata, dengan sekuat tenaga ia kerahkan agar fokus dengan pelajaran, namun gagal, anggukan kepala yang semakin menurun ke bawah membuat lehernya terasa pegal. Memaksa tangannya mendarat ke meja menelungkup  menopang kepalanya, dengan nyaman ia terlelap dalam mimpi.

Kejahilan temannya tak ia sadari ketika tiba-tiba bu Alfi memotong rambutnya.

Suara gunting dan pedasnya rambut saat ditarik, sontak membuatnya panik dan gelagapan.

"Ish... apaan si," ucap Dika spontan, sembari mengayunkan tangannya menangkis gunting yang di pegang gurunya.

Ketika ia mendongakkan kepalanya, ia terperanjat, serasa tak percaya dengan apa yang sedang di alaminya. Apakah ini dunia mimpi. Dika mencoba menyatukan nyawa yang seolah belum genap ditepuknya kedua pipinya.

"Auw sakit," 

Dika mencoba mengarahkan pandangannya, tak kuasa menatap wajah wali kelasnya yang sedang bergejolak hatinya, menahan kesal yang memompa jantungnya, kemarahannya menghujam batinnya ketika mendapati murid yang dibanggakan, kini rambutnya berwarna pirang mencolok mata.

"Maaf Bu, saya... saya..." belum sempat Dika meneruskan kata-katanya, bu Alfi sudah berlalu meninggalkannya.

Baru satu jam kelas 2A riuh akibat kejahilan siswanya.
Dasi Dika terpotong menjadi dua, bukan hanya satu kali, tapi ini adalah kali yang kedua bu Alfi menggunting dasinya.
Menurut pengakuan siswinya, dasi Dika itu di pake untuk menjepret punggung mereka. 

Rasa penasaran menyelimuti batinnya.
Tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.
Dika mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi.

"Pasti ada yang mewarnai rambutku saat aku sedang tertidur," 

Dengan sejuta pertanyaan mengganjal dibenaknya, dia menatap satu per satu temannya. 
 
Ia tak berani bertanya karena keadaan kelas yang tiba-tiba hening tanpa suara.
Ia hanya meratapi kekesalannya, rambutnya yang baru saja digunting membuat kelu dan sesak dadanya.

Bel berbunyi tanda usai pelajaran telah berakhir, semua siswa-siswi berhamburan.
Dika bergegas melangkah keluar tanpa menoleh sahabat yang lain.
Dengan langkah yang setengah berlari, Dika keluar gerbang menuju angkot yang sedang terparkir, sengaja sang supir menunggu penumpang.
Hanya hitungan menit angkot ungu langsung penuh, tak butuh waktu lama angkot melaju perlahan.

Dengan bibir yang masih merapat, Dika masuk ke rumah dengan ucapan salam yang tak terdengar oleh ibunya.
Rasa panik dan syok membuat ibunya histeris.

"Astaghfirullah hal'adzim," keluh Ibunya sembari memegang kepalanya sendiri, sapu yang sedang Ia pakai terjatuh ke lantai tanpa disadari.

Dika hanya terdiam menahan kekesalannya, namun tak menyadari rasa kesal di hatinya belumlah sebanding dengan apa yang juga dirasakan ibunya.

Tanpa menjelaskan apa yang baru saja dialaminya, Dika mengambil ponsel sembari melemparkan tas dan  pergi ke rumah eyang yang tak jauh dari rumahnya.

"Dika...," teriak Ibunya
sembari menarik lengannya.

"Kamu pikir disekolahkan, di ngajikan agar kamu jadi anak gaul!" tandas Ibunya yang mulai tersulut emosi. Tangannya meremas rambut Dika, serasa tercabik-cabik melihat kelakuan anaknya.

"Hhhaaaah," Dika mengeluarkan suara kekesalannya.

"Sejak kapan kamu jadi anak pemberani hah," sentak Ibunya.

Omelan ibunya tak ia hiraukan, tangannya menjulur keatas meja mengambil kontak motor.
Hanya hitungan detik Dika pergi dengan menarik gas.
Teriakan ibunya tak didengar lagi.
 
**
Dada serasa sesak.
Motor yang akan dipakai untuk mengantar adik-adiknya mengaji dibawa Dika entah kemana.
Kemarahan kian memuncak, rasa cemas dan khawatir menghinggapi relung batinnya.

"Anak-anak yuk kita berangkat jalan kaki," pinta Anis kepada anaknya yang sudah siap berangkat mengaji. Mencoba menahan rasa yang makin bergejolak.

"Aah... capek Ma, nanti aja tunggu mas Dika," ujar Afra.

"Nanti kamu terlambat, mas Dika gak tahu kemana," . Awas saja nanti kalau sudah pulang, bisiknya dalam hati.

Usai mengantar anak-anaknya, Anis bergegas pulang, berharap Dika sudah ada di rumah, di tengoknya sekeliling halaman, namun tak ada motor terparkir, ternyata belum juga pulang. 
Mondar-mandir ia keluar masuk menunggu kedatangan anaknya.

Hanya hitungan menit suara motor terdengar di telinganya yang semakin mendekat.
Benar saja, baru Dika memarkirkan motor, Anis sudah menghadang di depan pintu.

"Kalau kamu gak betah di rumah, gak nurut sama Mama, pergi sana! gak usah pulang," cetus Mama memekik gendang telinga Dika.

Dika duduk di kursi jarinya memencet-mencet ponsel.
Dika masih terdiam mendengarkan ocehan ibunya, rasa lapar memaksa ia pergi ke dapur mengambil makanan.

Seolah tertutup telinganya, Dika terus menikmati makanannya dengan lahap. Ibunya meninggalkannya karena harus menjemput adiknya.

Usai makan Dika keluar mencari udara segar, berjalan menuju ke tempat  nongkrongnya.
Sampai di sana tak ada satu pun teman di sana.

"Huh sepi," ia duduk sendirian, rambutnya yang pirang tertutup oleh topi favoritnya. 

Hatinya gundah, tiba-tiba terngiang suara Ibunya yang menyuruhnya pergi, ada rasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Relung hatinya tiba-tiba menghujam tak karuan, otaknya tak bisa lagi berpikir.
Tatapannya menerawang entah kemana, hatinya kacau tak tahu apa yang di rasakan.
Lamunannya semakin jauh melambung ke awan. Matanya kosong menatap burung-burung yang sedang beterbangan.

"Hai," suara Sahal membuyarkan lamunannya.

"Mikirin apa Lu, tumben sendirian, mana yang lain" tanya Sahal yang tiba-tiba datang ketempat itu.

"Iya gak tahu, aku lagi bete," keluh Dika.

"Sama gue juga, bete setiap hari," sahut Sahal.

"Yuk kita pergi kemana gitu," ajak Dika.

"Hayuk, pergi yang jauh," sahut Sahal dengan girang.

"Kemana ya," balas Dika sembari berpikir.

"Ke Slawi, yuk" ajak Dika.

"Lu bawa uang berapa," tanya Sahal.

"Sepuluh ribu," 

"Sama gue juga punya uang segitu."

Tak butuh lama mereka bergegas menuju jalan raya.

"Ada mobil lewat, yuk kita lambaikan tangan siapa tahu mau berhenti"  

"Berhenti woi," ucap Dika kegirangan.

"Mau kemana De," tanya laki-laki setengah baya usai membuka kaca yang tertutup, begitu ramah dan sopan.

"Ee... mau numpang ke depan boleh," jawab Dika memelas.

"Boleh silahkan masuk," sambut pemilik mobil itu.

Dengan bergegas Dika dan Sahal masuk ke dalam mobil. Hanya hitungan detik mobil meluncur dengan cepat.

"Mau turun di mana De," 

"Di mana aja boleh Om," sahut Dika spontan.

"Loh, Ade pada mau kemana?," 

"Mau ke Tegal Om,"

"Jauh banget, mau kerumah siapa?" 
Pertanyaan belum terjawab sampai di perempatan yang memaksanya untuk berhenti.

"Arah Tegal lewat kanan saya mau belok ke kiri," 

"Yaudah Om, turun di sini saja," pinta Dika.

"Oke, hati-hati ya," pesan pemilik mobil sembari tersenyum. Mereka turun dan melambaikan tangan.

Tepat di lampu merah Dika berdiri menggandeng tangan Sahal, banyaknya mobil lalu lalang dengan sabar mereka menunggu lampu berganti warna.
Hanya hitungan menit lampu hijau berganti merah.
Banyaknya mobil yang mulai terhenti satu per satu, sepasang mata tertuju pada sebuah truk bercat kuning berhenti tepat di depannya, tanpa menoreh kanan dan kiri, mereka langsung menghempaskan kakinya naik ke atas truk, hanya hitungan detik truk melaju dengan kencang.

Mentari menyingsing, sinarnya mulai redup, dengan perlahan sinarnya menghilang terdengar alunan suara azan Maghrib menggema dikejauhan.

Hari mulai malam namun tak juga mereka temui lampu merah agar ia bisa turun dari truk itu.

Tampak lampu merah dari kejauhan, di saat sedang bersiap-siap untuk turun lampu kembali hijau, dengan tenang mereka duduk kembali menikmati udara malam.

"Gimana nih, gak ada lampu merah, dari tadi hijau terus," tanya Dika.

"Gimana lagi ya ikutin aja," jawab Sahal.

Hanya hitungan menit sampai di lampu merah, dengan cepat Dika turun dengan ke-dua kakinya.
Sahal yang kurang persiapan turun dengan kaki yang tak seimbang.

"Aduh," keluh Sahal.

Dika segera menolong Sahal yang terkilir kakinya.

Dengan kaki tertatih mereka menepi tanpa tahu di mana mereka kini berada.

Bersambung

Baca juga:

Related Articles

0 Comments: