
Cerbung
Ketika Hidayah Menyapa Part 12 (Sekolah Diliburkan)
Oleh: Muflihah S.Leha
Senyum Dika mengembang, kegusaran hatinya seketika menghilang.
"Yes, besok aku tidak di hukum,"
Sembari berlari ke rumah Aldan mengabarkan sekolah diliburkan.
"Mas Aldan, besok gak masuk sekolah, kita gak jadi dihukum," ungkap Dika kegirangan.
Aldan yang sedang meminum air putih usai makan malam keluar menghampiri Dika.
"Sekolah diliburkan sementara, semua belajar di rumah, kita gak jadi di hukum, yes,"
Aldan mengangkat kedua belah pipinya, nafasnya lega.
"Kalau saya dihukum merokok, itu gara-gara Lu," sahut Aldan sembari menyoyorkan kepala Dika dengan candaan.
"Yang ketahuan merokok kan Lu, Gue kan dah pernah di hukum," tandas Aldan sembari keluar.
"Mau kemana kamu," tanya Dika.
"Wifi-anlah..., kan besok libur,"
"Tunggu, tunggu, tunggu, saya ambil hape dulu,"
Aldan terus melangkahkan kakinya.
"Wait lah Mas Aldan...,"
Dika membuntuti dari belakang.
Mereka menuju warung seberang jalan raya, ayunan kakinya terhenti ketika melihat banyaknya orang di teras warung.
"Penuh Dik,"
"Iya yuk kita cari tempat duduk,"
Mata mereka menyisir semua halaman, Dika mengernyitkan kening menatap segerombolan anak remaja di pinggir jalan, gelapnya pinggiran warung hanya terkena sorotan lampu jalan membuat mereka asyik bermain gawai.
"Dik..., Al..., sini," terdengar suara Rama memanggil dari
sebelah jalan.
Dika segera menghampirinya.
"Dik, Lu dah beli voucher wifi belum?" tanya Aldan.
"Nitip lah ya," jawab Dika.
"Mana uangnya,"
Dika menyodorkan uang kertas lima ribuan.
Hanya hitungan detik Aldan keluar membawa secuil kertas bertuliskan kode.
"Nih," Aldan menyodorkan voucher wifi.
Dika menyambut dengan cepat, segera memasukkan nomer ke ponselnya.
Wifi langsung on, berlaku untuk 10 jam dengan harga tiga ribu rupiah.
Dengan asyik mereka main game bersama-sama.
Malam semakin larut, keasyikan bermain game membuat mereka kecanduan, hampir setiap malam mereka bermain game online.
Anis terlelap tidur, suara kucing mengagetkan dunia mimpinya.
Sontak matanya terperanjat menengok jam dinding.
"Sudah jam 23.00, astaghfirullah," keluhnya dalam hati.
Sembari mengangkat tubuhnya memaksa berdiri, matanya tertuju pada
pintu yang sedikit membuka, piring bekas makan malam masih berantakan. Ia membereskannya dengan cepat.
"Pintu gak ditutup, tidur di mana Dika, malam-malam ngluyur ke rumah siapa...,"
"Apa di rumah Aldan, coba aku tengok,"
"Lah kok sepi,"
Ternyata Aldan gak di rumah juga, pasti kerumah Rama,"
Ayunan kakinya melangkah cepat menuju kerumah Rama, karena sudah malam ia pun tak berani mengetuk pintu rumahnya.
Matanya melotot tajam mencari sandal di depan rumah Rama.
"Tak ada sandalnya, kalau tidur di sini pasti sandalnya banyak."
"Huh dinginnya malam ini,"
sembari melipat kedua tangannya, merapatkannya ke dada mengusap-usap pipi agar sedikit hangat.
Ayunan kakinya semakin cepat, terdengar sayup-sayup suara dari seberang jalan.
Langkahnya terhenti ketika melihat banyaknya anak remaja yang sedang nongkrong-nongkrong sembari bermain game.
Detak jantungnya terpompa, emosinya tersulut, matanya jelalatan tak bisa memahami mana anaknya. Satu per satu ditatap. Dika dan Aldan terbelalak, spontan mereka berdiri, segera pergi sebelum ibunya melihat.
Aldan dan Rama pun berlari.
Kekesalannya meradang,
"Di mana mereka," gerutunya dalam hati.
"Itu kali Bu, anak Ibu di sana," suara salah satu anak yang sedang bermain game.
"Dika sama Aldan dah pulang Bu," sahut sebelahnya.
"Tadi di sini," tandas Ibu Dika.
"Iya tadi di sana Bu sama Rama, Epan, Aldan,"
Belum selesai mereka menjelaskan, Anis bergegas membalikkan badan.
Dengan cepat ia mengayunkan kakinya pulang, sampai di rumah Ia segera masuk, membanting pintu dan menguncinya.
Dika sedang berdiri di atas sajadah.
"Jam segini baru salat Isya, Subuh kesiangan" ucap ibunya menahan amarah.
Usai salat Dika membanting badannya di ranjang kecil, hanya hitungan detik sudah terlelap.
Hati Ibunya masih geram, otaknya berkelana.
Hatinya berkeluh,
Heran sama pemilik warung, semenjak ada wifi semua anak-anak gila wifi, apa aku harus menegur pemilik warung itu saja. Penghasilan yang didapat dari menjual voucher wifi sangat meresahkan.
Apa yang harus saya lakukan.
Ia menggerutu dalam hati.
Ditatapnya adik-adik Dika yang masih kecil.
Dielusnya rambut anak-anaknya.
"Zaman apa ini" gumamnya dalam hati.
Dulu aku gak tahu gadjet, gak tahu wifi, sekarang anak-anak kecil sudah bermain handphone.
Bahkan sekolah diharuskan memakai hape. Semua serba online.
Sekolah memakai hape, belajar harus dengan hape, anakku menjadi korban, menjadi anak yang gila gawai.
Belajarnya hanya selingan selebihnya pasti gak ada manfaatnya.
Anis semakin sedih, matanya menengadah ke langit-langit rumah.
Sulitnya menasehati anaknya membuatnya pasrah, bentakan tidak membuat anaknya jera.
Semakin dimarahi justru ia sering ikut mengeraskan suara.
Dika anak yang rajin, pintar, banyak guru memujinya. Semenjak sekolah diliburkan dia menjadi anak yang malas belajar.
**
Suara azan membangunkan tidurnya. Anis bergegas ke masjid untuk berjamaah, ketika wudu matanya terasa berat, usai mengenakan mukena ia berdiri di depan kaca, matanya lebam akibat semalaman ia menangis hingga tertidur.
Pagi hari ia berkumpul bercerita dengan orang tua Rama dan orang tua Aldan tentang apa yang dilihatnya semalam.
Mereka membicarakan pemilik warung yang memberikan fasilitas untuk anak-anaknya.
Menjadi pecandu game online.
"Kita demo aja apa ya,"
"Paling jawabnya lah wong saya juga lagi usaha,"
"Iya yah, terus gimana kita ngedumel juga gak ada artinya,"
"Kita konsultasi aja sama guru ngajinya anak-anak."
Bersambung
Baca juga:

0 Comments: