
Cerbung
Ketika Hidayah Menyapa Part 11 (Potong Rambut)
Oleh: Muflihah S. Leha
Usai mengantar adik-adiknya mengaji, Dika menancapkan gasnya menuju tempat pangkas rambut langganannya.
Butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sana.
Sesampai di tempat tujuan, ia mendenguskan nafas panjang.
"Duh ngantri banget, sampai jam berapa nanti aku pulang," keluhnya dalam hati.
"Ah, pulang saja lah...,"
Dika kembali menyalakan motornya, sembari menarik gas dengan perlahan.
Sesampai di rumah ia merebahkan badannya ke atas ranjang. Anis yang sedang bergelayut dengan pisau mengiris sayur sembari menyalakan kompor, tercium aroma bawang goreng.
Perut Dika kembali keroncongan.
Dika berjalan menuju aroma segar itu.
"Mama masak lagi, untuk siapa ma?"
Anis tersentak mendengar suara Dika.
"Lah kok cepat sekali kamu sudah pulang, sudah cukur belum sih?" tanya Ibunya tanpa menoleh, tangannya sibuk sendiri memegang alat-alat dapur.
"Belum," jawab Dika dengan nada kesal.
"Kenapa belum!" sentak Ibunya.
"Ngantri...., males banget nungguin di sana,"
"Memangnya tukang cukur di situ saja, kan banyak tuh di depan balai desa juga ada, kenapa milih yang jauh," cetus Ibunya.
"Gak _feel_," jawab Dika dengan enteng.
"Lah terus gimana, besok sekolah, rambut kamu masih botak acak-acakan, jangan bikin malu orang tua," cetus Ibunya sembari menoleh ke arah rambut Dika yang begitu ia benci.
"Ya udah ke salon saja, sini tambahin uangnya," pinta Dika
dengan menyodorkan tangan kanannya.
Tiada pilihan untuk Ibunya, Ia menuruti anaknya yang penting harus hilang rambut yang berwarna itu, karena ia tidak betah melihatnya.
Anis bergegas mengambil uang kertas lima ribuan dan memberikannya, Dika menyambutnya
sembari menarik kedua ujung pipinya.
"Hehe, kalau gak jadi ke salon, uangnya buat jajan ya,"
ucap Dika cengengesan.
"Huh, awas kalau pulang belum cukur," jawab Ibunya mengancam.
Bergegas Dika menyalakan motornya menarik gas dengan perlahan.
Sampai di tempat pangkas rambut favoritnya, senyum Dika mengembang, ternyata antrian sudah berkurang.
Ia menepikan motornya ketempat parkiran, kakinya melangkah menuju warung kecil di sebelah tempat cukur.
Hanya beberapa menit ia keluar sembari menyulut satu batang rokok.
Ayunan kakinya berhenti di depan bangku tempat mengantri.
Rasa tenang ketika menghisap rokok, dengan teratur mulutnya mengeluarkan asap secara perlahan, membulatkan bibirnya dengan tiupan yang membuat asap bulat keluar dari dalam rongganya, kedua bola matanya menatap bulatan asap yang menghilang perlahan.
Sembari mengarahkan wajahnya ke depan, matanya menyapu pemandangan, riuhnya jalan penuh keramaian, lalu-lalang kendaraan yang melintas, di bawah jembatan sungai mengalir dengan deras, cengar-cengir sendirian menikmati setiap apa yang di pandang.
Lamunannya tersentak seketika, ketika tukang cukur memanggilnya.
Dengan cepat ia melempar puntung rokok yang tersisa.
"Eh dah habis toh," ungkapnya.
"Mau potong seberapa?" tanya tukang cukur.
"Gundulin aja pak," jawab Dika meyakinkan.
Menikmati suara mesin kecil yang melaju di kepalanya, mata Dika mengecil, rasa kantuk yang datang dengan tiba-tiba membuat mata seolah ada yang menginjaknya, sungguh sulit untuk di buka, tiada terasa ia pun tertidur.
Dika tersentak ketika punggungnya di tepuk-tepuk.
"Kurang...." tanya tukang cukur itu sembari tertawa kecil.
Dika menatap kaca besar di depannya.
"Hah plontos, he..he,"
Dika berdiri.
"Matur nuwun Pak," sembari menyodorkan uang dan berlalu.
"Hizz penampilan baru," ledek Aldan ketika Dika turun dari motor.
Bergegas Dika mengambil topi guna menutupi kepalanya.
***
Pagi yang cerah, matahari bersinar dengan sempurna,
Terdengar suara sepatu vantofel masuk kedalam kelas.
Dika menyambut bu Alfi dengan wajah baru.
"Dika, Rama, Epan, maju!" pinta bu Alfi.
Dengan bergegas Dika maju ke depan.
Senyumnya mengembang di iringi suara Epan cengengesan.
"Maju siapa dulu," ucap bu Alfi.
Karena merasa sudah hafal Dika maju dengan penuh percaya diri.
"Ish, Dika berhasil euy, kamu dah hafal belum," tanya Epan dengan penuh cemas.
"Aku dah hafal," jawab Rama,
Epan semakin gusar, hatinya dag dig dug ketika Rama maju berikutnya.
"Saat Rama berhenti sejenak menatap langit-langit kelas sembari berpikir keras, Epan cengengesan membuyarkan hapalan Rama.
"Epan maju!" pinta bu Alfi.
Jantungnya berdenyut kencang, mencoba mengumpulkan segala kekuatan.
Kedua telapak tangannya di satukan menutup rapat, di angkat ke dadanya dengan mata terpejam, semua teman-temannya tertawa merasakan ketegangan Epan.
Dengan cepat Epan menghafal juz ke 30.
Bola matanya ditarik ke atas ketika mulutnya terhenti, keringat dingin keluar saat bu Alfi menatap lekat wajahnya.
Mencoba berfikir keras dengan mata melirik ke Dika memberikan sinyal minta pertolongan.
Mulut Dika memberi isyarat menuntun setiap lafadz yang terlupa dengan tertatih akhirnya mereka berhasil menjalani hukumannya. Senyum puas terpancar dari wajahnya.
**
Bel istirahat berbunyi semua siswa keluar dari kelas menuju ke kantin.
Dika masih terdiam di tempat duduknya,
"Yuk keluar," ajak Epan.
"Kemana kita," tanya Rama.
"Mau kemana aku lagi males," potong Dika.
"Nyamperin Aldan yuk, ke kelas depan,"
Dengan lesu Dika keluar menuju kelasnya Aldan.
Tampak Aldan sedang berjalan keluar gerbang belakang,
"Al, mau kemana," tanya Epan
"Mau nongkrong-nongkrong di sana," jawab Aldan sembari tangannya menunjuk ke arah rel kereta api.
"Ikut..."
"Ya, Ayuk," jawab Aldan sembari bergegas keluar menuju tepi rel kereta di belakang sekolahan.
Mereka duduk-duduk memandangi pemandangan sekelilingnya,
Datang teman Aldan menyodorkan satu bungkus rokok dan korek api.
Dengan kompak mereka mengambil satu-satu dan menyulutnya.
Dengan leluasa mereka merokok di belakang sekolahan.
Rasa nikmat ketika bersama bermain asap rokok, dengan memandangi sekeliling sawah, menambah keasyikan tersendiri.
Dengan bergegas mereka melempar rokok yang masih menyala ketika tanpa sengaja pak Maskur memergokinya.
Dika yang tak menyadari kedatangan gurunya, masih menikmati sisa rokoknya.
"Pak..." sapa Aldan.
Dika terbelalak.
"Asyik ya bersantai di sini, sambil baca-baca buku lebih enak," ungkap pak Maskur.
"Silahkan lanjutkan," ucap pak Maskur sembari berlalu.
"Nggih pak," jawab mereka.
"Hayuh, Dika. pasti besok Lu dihukum Dik," ucap Aldan.
"Duh iya lah ..., jan sial aku," sesal Dika.
"Gak papa paling hukumannya disuruh merokok di depan sekolahan," cetus Epan.
"Dihukum pasti kita bareng-bareng," sahut Rama.
"Lagian ngapain sih pak Maskur lewat sini," keluh Dika.
"Mau beli rokok kali," cetus Epan.
Terdengar bel masuk berbunyi.
Mereka bergegas berlari menuju ke kelas masing-masing.
Bersambung
Baca juga:

0 Comments: