Headlines
Loading...
Banjir Merata, Jangan Ulangi Kesalahan Sama

Banjir Merata, Jangan Ulangi Kesalahan Sama


Oleh Izza

Banjir menggenangi berbagai  wilayah di tanah air. Tercatat sejak Januari hingga 9 Oktober 2022, sudah terjadi 1.083 kali bencana banjir. Antisipasi telah dilakukan. Akan tetapi, kejadian demi kejadian memakan korban semakin banyak. Lalu, apa yang  salah?

Sejak Selasa (4/10/2022), banjir menggenang di Kabupaten Aceh Utara. Banjir yang meluas hingga 12 kecamatan itu disebabkan ketidakmampuan sungai-sungai besar menampung debit air. Hal ini diperparah dengan jebolnya tanggul Daerah Aliran Sungai (DAS). Tim gabungan yang menyisir lokasi terus melakukan evakuasi. Sebanyak 5.104 KK terpaksa mengungsi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan kejadian bencana yang dipicu oleh faktor cuaca sudah mendominasi sejak awal tahun ini. Tidak hanya banjir, tapi juga  cuaca ekstrem, tanah longsor, karhutla hingga gelombang pasang dan abrasi yang  mengakibatkan 160 jiwa meninggal dunia. Belum lagi,  sebanyak 3.193.001 menjadi korban terdampak bencana. Rentetan kejadian ini  mengakibatkan kerusakan pada  31.170 rumah, 882 fasilitas, 501 sekolah, 306 rumah ibadah, 137 jembatan dan 75 fasilitas kesehatan.
Menurut Deputi III BNPB Brigjen TNI Fajar Setyawan, ada 7 provinsi yang menyumbang lebih dari 75% kejadian bencana dalam 10 tahun terakhir. Di antaranya: Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi lantaran ketujuh provinsi  tersebut memiliki catatan kejadian bencana hidrometeorologi basah paling tinggi.

Tak bisa dipungkiri, kondisi letak geografis Indonesia memang berpotensi menimbulkan bencana. Pegunungan vulkanik dan dataran rendah yang didominasi rawa-rawa membuat wilayah rawan banjir dan longsor. Namun penyebab banjir bukan hanya faktor cuaca maupun geografis. Perubahan populasi, infrastruktur, dan  kejadian tak terduga seperti tanggul jebol juga memainkan peranan.
Apalagi faktor ekonomi yang kurang diperhitungkan turut menyumbang luasnya genangan dan jumlah korban terdampak.

Area atau lahan yang kerap terdampak banjir memiliki harga lebih murah untuk pembangunan. Masyarakat tak menyadarinya karena keterbatasan pilihan. Padahal, tak ada orang yang mau tinggal di daerah rawan bencana. Masyarakat dipaksa menerimanya. Pemerintah berdalih bahwa semua ini disebabkan faktor cuaca.
Padahal faktor cuaca ekstrem bukan sekadar rutinitas tahunan.

Ulah tangan manusia turut andil dalam meningkatkan potensi  bencana ini. Berdasarkan data yang dipaparkan 'Carbon Brief', 79% dari 405 kasus cuaca ekstrem semakin parah karena perubahan iklim. Perubahan iklim tersebut disebabkan perilaku manusia dalam konsumsi dan produksi, sehingga banyak meninggalkan jejak karbon yang memicu kenaikan suhu bumi.
Salah satunya adalah deforestasi. Kerusakan dan hilangnya hutan yang disebabkan perubahan alih fungsi hutan, eksploitasi sumber daya alam menjadi perkebunan, pertambangan hingga pembalakan kayu sesungguhnya adalah aktivitas yang membahayakan manusia. Hal ini karena tidak adanya dukungan kebijakan pemanfaatan kekayaan alam secara bijaksana dan berkesinambungan. Kapitalisme telah mencengkeram negeri ini. Akibatnya, eksploitasi besar-besaran terus berlangsung tanpa henti. Analisis mengenai dampak lingkungan seolah tak berlaku lagi. 
Semua ini disebabkan oleh kapitalisasi. Penguasa telah menutup mata. Kepentingan pemilik modal menjadi hal yang utama.
Oleh sebab itu, jangan heran jika mitigasi bencana berjalan tidak optimal. Padahal dengan teknologi saat ini, tiga wilayah terdampak bencana mudah dipetakan. Namun, kemudahan ini jadi tak berarti jika manusia masih terjebak dalam aturan yang bukan berasal dari wahyu Ilahi.

Maka dari itu, diperlukan perubahan total (revolusioner) dalam sistem ini. Dunia membutuhkan sistem yang mampu memberikan aturan yang tidak hanya mampu menyejahterahkan manusia, melainkan juga menyelamatkan lingkungan tempat hidupnya. Sementara pengelolaan sungai dan hutan diserahkan kepada negara. Eksplorasi dilakukan untuk urusan kerakyatan yang semua hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Eksploitasi serampangan dilarang, bahkan pelakunya dijatuhi sanksi tegas karena merusak alam.
Setiap pembangunan dan infrastruktur akan dikaitkan dengan rencana penanggulangan bencana. Kepala negara maupun daerah pun paham benar bagaimana pengawasan perizinan bangunan maupun usaha. Semua ini dilakukan, karena pemimpin dididik dengan standar keyakinan iman kepada Allah. Pemimpin akan merasa khawatir tentang pertanggungjawaban mereka atas urusan rakyatnya di hadapan Allah.  
Sesungguhnya musibah juga memberikan hikmah bagi manusia. Musibah seharusnya membuat manusia semakin dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan malah melalaikan -Nya. Sudah saatnya kedurhakaan manusia harus diakhiri dengan bertaubat bersama, melalui penegakan syariat-Nya, dan meninggalkan  kehidupan sekuler dengan segenap kemampuan, serta  menjadikan Islam sebagai jalan kehidupan.

_Wallahu a'lam bishawwab_.

Baca juga:

0 Comments: