
Oleh. Firda Umayah
Adit masih setia bersama bapak. Dia mengambil satu per satu telur dari kandang ayam mereka. Kini, ada sekitar dua ratus ekor ayam saja yang dipelihara oleh bapak. Sebab pakan ayam kian mahal.
"Pak, alhamdulillah telur panen hari ini banyak, ya," ucap Adit senang.
Bapak pun tersenyum. Ia membayangkan akan mendapatkan untung yang lebih besar dari sebelumnya. Ia juga berencana akan segera menyetorkan sebagian besar telurnya kepada tengkulak langganannya.
Keesokan harinya, Adit mengantar bapak ke tempat penyetoran telur. Hari ini hari Minggu. Adit libur sekolah. Pekan ini ia juga tidak ada kegiatan les di sekolah. Sebab guru pembimbingnya sedang sakit.
Wajah Adit sudah semringah saat melihat telur ayam hasil ternaknya ditimbang. Remaja kelas 9 SMP itu mengerti betul jerih payah seorang peternak ayam.
Namun, senyum manisnya berubah menjadi rasa penasaran. Sebab bapak tertunduk lesu setelah menerima uang penjualan telur. Adit tak berani bertanya saat itu. Ia memutuskan akan bertanya setelah mereka sampai ke rumah.
"Pak, kenapa Bapak sedih?", tanya Adit sesampainya di rumah.
"Hari ini kita rugi, Dit. Tadi kata tengkulak, harga telur anjlok. Soalnya lagi dapat serbuan telur impor," jawab Bapak lemas.
Adit terkejut, dia merasa sedih dan bingung. Mengapa bisa ada serbuan telur impor masuk? Bukankah stok telor dari petani lokal telah mencukupi kebutuhan masyarakat? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Adit.
Adit hanya bisa menyimak keluhan bapak akan sulitnya menghadapi tantangan hidup yang semakin keras. Bahkan bapak berpesan kepada Adit, agar tidak menjadi peternak telur ayam seperti dirinya.
Adit merasa kecewa. Ia merasakan ketidakadilan. Dia geram namun bingung harus disalurkan ke mana rasa kesalnya. Ia bahkan mendoakan agar Allah membalas orang-orang yang berbuat zalim kepada para peternak telur seperti keluarganya.
Pagi kembali menyapa. Bapak masih setia merawat ayam-ayam mereka. Tapi 20 ekor ayam bapak dijual hari ini. Sebab, Bapak sudah bingung bagaimana mengatasi kerugian penjualan telur ayam kemarin.
Bapak kini mengurangi jatah pakan konsentrat ternaknya. Bapak mencampur pakan ternak dengan "dedak" alias kulit gabah yang sudah digiling halus. Pemberian vitamin ke ayam juga dikurangi. Bapak lebih memilih lebih sering membersihkan kandang agar ayam-ayam Bapak tidak mudah sakit.
Saat Bapak sedang memberikan pakan, teman Bapak yang sesama peternak telur ayam berlari menuju tempat ternak. Napasnya terengah-engah. Bajunya basah karena keringat.
"Pak Joko, Pak Joko. Gawat, Pak. Bu Darmi ditemukan gantung diri di rumahnya," ucap Pak Rama.
"Innalilahi wa inna ilaihi raji'un. Gimana ceritanya, Pak?" tanya Bapak.
Pak Rama lalu bercerita bahwa Bu Darmi depresi karena harga telur ayam anjlok. Keluarganya sudah berupaya menenangkannya. Namun, entah mengapa Bu Darmi lebih memilih untuk bunuh diri.
Peristiwa Bu Darmi menghebohkan warga, khususnya para peternak ayam dan juga pemerintah setempat. Semua tak menyangka. Semua berpikir siapa yang bersalah atas kejadian tersebut.
Bu Darmi memang salah mengakhiri hidupnya. Namun bagaimana dengan para pemangku kebijakan? Apakah mereka juga bertanggung jawab atas naiknya harga pakan, impor telur ayam dan mahalnya biaya hidup saat ini? Lantas, di manakah semboyan bahwa tanah Nusantara gemah ripah loh jinawi?
Semua pertanyaan tersebut menyelimuti pikiran Adit. Setelah kejadian tersebut, Bapak mendapatkan undangan dari kepala desa setempat. Isi tulisan itu ditujukan kepada semua peternak telur ayam di desa Makmur. [ ]
Baca juga:

0 Comments: