Oleh: Nunik Umma Fayha
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Sudan adalah negeri besar penuh berkah yang dikoyak keserakahan. Sebelum pemisahan Sudan Selatan pada tahun 2011, wilayah Sudan mencapai 8% wilayah daratan Afrika. Negeri ini termasuk wilayah luas hasil pecah belah Sykes–Picot. Selama ini kita mengasosiasikan Sungai Nil sebagai ikon Mesir, padahal wilayah Sudan justru lebih panjang dialiri Sungai Nil dibanding Mesir. Begitu pula dengan piramida yang identik dengan Mesir, ternyata jumlah piramida di Sudan jauh lebih banyak.
Sudan difutuhat (ditaklukkan) oleh kaum Muslim pada masa Umar bin Khattab di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid. Setelah itu, bumi Sudan melahirkan banyak Muslimin hebat, baik dalam ilmu agama maupun ketangguhan sebagai prajurit.
Sejak beberapa tahun terakhir, Sudan terus menjadi medan perang. Pasca terpecah menjadi Sudan Utara dan Sudan Selatan, kini Sudan Utara masih terus membara. Perebutan kekuasaan antara Tentara Pemerintah (SAF) dan milisi RSF, yang sebelumnya bersatu untuk menggulingkan pemerintahan sipil, membuat Sudan terpuruk dalam berbagai bencana.
Rakyat kecil yang berada di tengah pusaran perebutan kuasa terpaksa mengungsi demi menyelamatkan diri. Kondisi ini diperparah oleh kelaparan akibat kelangkaan bahan makanan. Tanah subur tak dapat diolah karena rakyat sibuk bertahan hidup dan menjauh dari konflik. Ironisnya, milisi RSF yang ditengarai mendapat dukungan UEA memburu warga sipil, menyiksa secara tidak manusiawi, dan membantai dengan kejam.
IOM (International Organization for Migration) melaporkan lebih dari 60 ribu orang mengungsi setelah RSF menduduki El Fasher, ibu kota Darfur Utara. Pengungsian besar-besaran ini menyebabkan krisis pangan, air bersih, serta tempat tinggal yang aman. Belum lagi berbagai kekejaman milisi RSF yang dengan sengaja mendokumentasikan penyiksaan terhadap penduduk, baik laki-laki, perempuan, lansia, maupun anak-anak. Tidak ada yang luput dari kebengisan milisi pimpinan Dagalo ini (minanews.net, 5 November 2025).
Konflik yang sekarang mencuat bukanlah hal baru, melainkan rangkaian perebutan kekuasaan dari dua kubu besar yang masing-masing didukung kepentingan global. Amerika, Inggris, UEA, hingga Israel ikut berebut sumber daya alam Sudan yang begitu kaya. Dan pada akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban penindasan, penyiksaan, dan pembantaian.
Rezeki dari Bumi
Allah akan melimpahkan rezeki dari langit dan bumi bila penduduk suatu negeri beriman (QS. Al-A’raf: 96). Tidak dapat dipungkiri, negeri-negeri Muslim memiliki kekayaan alam yang melimpah, mulai dari minyak bumi, berbagai bahan tambang, hingga tanah yang subur. Sudan adalah salah satunya.
Tanah subur Sudan menghasilkan kapas, kacang, wijen, gom Arab, hingga sorgum. Kini, sumber daya mineral menjadi rebutan banyak pihak. Emas yang beredar di Uni Emirat Arab sebagian besar berasal dari Sudan.
Ujian bagi suatu kaum dapat berbentuk kepemilikan harta. Kekayaan alam yang besar, jika disertai keserakahan penguasa, akan menjadi pintu kehancuran. Sudan sedang merasakan akibat buruknya. Perebutan kekuasaan antara dua kubu militer yang mendapat dukungan asing (Amerika, Inggris, UEA, Arab Saudi, hingga Israel) memicu gelombang besar pengungsian. Perang dan pengungsian berujung pada krisis keamanan, pangan, serta air bersih.
Milisi RSF yang menguasai tambang emas terus memperkuat diri sembari membantai rakyat yang tidak sejalan. Emas dijual untuk membeli senjata yang digunakan kembali untuk menumpas rakyatnya sendiri.
Kekuasaan dalam Islam
Kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Para sahabat mulia pun takut ketika diberi jabatan karena memahami beratnya tanggung jawab seorang pemimpin di hadapan Allah.
Namun saat ini, ketika Islam hanya dipahami sebagai agama ritual dan tidak diterapkan sebagai aturan kehidupan, keimanan merosot hingga titik terendah. Banyak umat merasa cukup hanya dengan menjalankan shalat, puasa, zakat, dan haji. Kesadaran tentang beratnya amanah kepemimpinan dikalahkan oleh nafsu dunia. Segala cara ditempuh demi mendapatkan kekuasaan, meski harus mengorbankan banyak nyawa tak berdosa.
Islam mengatur sifat dan sikap seorang pemimpin. Kepemimpinan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan (HR. Bukhari dan Muslim). Pemimpin wajib berlaku adil (HR. At-Tirmidzi), menjadi pelayan rakyat (HR. Muslim), serta tidak boleh berkhianat (HR. Bukhari dan Muslim).
Umat terlalu lama hidup tanpa pemimpin yang menaungi mereka, laksana anak ayam kehilangan induk. Kekosongan ini dimanfaatkan Barat, terutama Amerika, untuk terus melanggengkan hegemoni. Meski berada di ambang kebangkrutan, Amerika tetap bertindak sebagai penguasa dunia, dan tak ada negara yang berani menentangnya.
Karena beratnya amanah kepemimpinan itulah, syarat utama seorang pemimpin adalah keimanan. Pemimpin yang beriman tidak akan berkhianat kepada umat, tidak menyalahi rasa keadilan, dan tidak menjadikan jabatan sebagai alat memenuhi ambisi pribadi. Ia tidak akan menggadaikan rakyat dan negerinya demi kepentingan pihak asing.
Dalam kasus Sudan, para pemimpin harus menyadari bahwa mereka sedang dijadikan pion oleh kekuatan global. Mereka dipaksa mengotori tangan demi kepentingan besar pihak lain, sementara dunia tetap menganggap pihak asing “bersih” dan tidak terlibat.
Sebagai negeri yang pernah menjalankan syariat Islam, Sudan perlu kembali menyadari bahwa mereka menjadi target penghancuran. Barat tidak pernah menginginkan Islam kembali tegak memimpin dunia. Sekulerisasi menjauhkan keberkahan, bahkan membawa kehancuran.
Pemimpin yang tidak amanah adalah mesin penghancur negeri. Umat harus bangkit merebut kembali kendali negeri. Dua pihak yang bertikai harus disadarkan bahwa hanya aturan Islam yang dapat mengembalikan kejayaan Sudan. Hanya Islam yang mampu menjahit kembali robekan luka Sudan menjadi negeri yang kembali baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri penuh rahmat dan ampunan Allah. [Rn]
Baca juga:
#AllEyesOnSudan
BalasHapus#SudanNeedsJihad
#JihadNeedsKhilafah