PLTSa Jabar: Solusi Energi atau Ilusi Investasi Asing?
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memastikan bahwa Danantara akan membiayai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di seluruh wilayah Jawa Barat. Komitmen tersebut disampaikan Dedi sebagai langkah konkret dalam menangani persoalan sampah sekaligus penyediaan energi alternatif yang ramah lingkungan.
Sebagaimana dikutip dari Bisnis.com pada 10 Oktober 2025, Dedi menyebut Danantara siap menanggung seluruh biaya proyek tersebut. Namun, di balik optimisme pemerintah, kritik tajam datang dari berbagai pihak.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan Global Alliance Incinerator Alternative (GAIA) menilai proyek PLTSa bukan solusi sejati. Dalam laporan Pikiran-Rakyat.com (10 Oktober 2025), Walhi menyoroti bahwa proyek ini berisiko memperparah kerusakan lingkungan. Kajian mereka sejak awal 2024 menyoroti aspek pendanaan, iklim, hingga dampak sosial. Bahkan, mereka menyebut PLTSa sebagai “solusi palsu” yang hanya menunda bencana ekologis.
Di sisi lain, CEO dan Founder Waste4Change, Mohamad Bijaksana Junerosano, mengingatkan pentingnya arah kebijakan yang jelas. Ia menegaskan, “Tidak adanya panduan yang tegas menyebabkan pengelolaan sampah menjadi tumpang tindih antara pemerintah dan pihak lain,” ujarnya sebagaimana dilansir Muslimahnews.net (17 Februari 2024).
Pandangan ini membuka mata publik bahwa persoalan utama bukan hanya pada teknologi PLTSa, tetapi pada ketidakteraturan tata kelola. Pemerintah cenderung fokus pada proyek besar tanpa membenahi sistem dasar pengelolaan sampah. Akibatnya, berbagai pihak berebut peran, sementara sampah tetap menumpuk di berbagai sudut kota.
Ketika Kapitalisme Mengatur Sampah
Keterlibatan pendanaan asing dalam proyek PLTSa menjadi catatan tersendiri. Pemerintah tetap ngotot membangun meski risiko kerusakan lingkungan telah diingatkan. Fenomena ini memperlihatkan wajah sistem kapitalisme yang memandang sampah bukan sebagai persoalan sosial, melainkan peluang ekonomi.
Proyek-proyek seperti PLTSa kerap dibungkus dengan jargon energi hijau, ekonomi sirkular, dan pembangunan berkelanjutan. Padahal, di baliknya tersimpan motif investasi yang membuka lebar pintu penjajahan ekonomi. Alih-alih memberdayakan rakyat, negara justru tunduk pada kekuatan modal.
Dalam sistem kapitalisme, negara sering kali lebih peduli pada investor ketimbang rakyatnya. Pembangunan dijadikan alat promosi ekonomi, bukan sarana pengurusan urusan umat (riayah syu’unil ummah). Akhirnya, sampah tidak benar-benar dikelola, melainkan dipolitisasi menjadi proyek profit.
Krisis yang lebih dalam dari sekadar sampah adalah krisis ideologi. Negara kehilangan arah pandang moral terhadap alam. Dalam logika kapitalisme, bumi hanya bernilai sejauh ia bisa menghasilkan keuntungan. Rakyat dibiarkan menjadi korban kebijakan yang berpihak pada korporasi.
Solusi Islam untuk Krisis Sampah
Islam, sebaliknya, memandang alam sebagai amanah, bukan komoditas. Kebijakan lingkungan harus berakar pada kesadaran bahwa manusia adalah khalifah di bumi, bukan penguasa yang bebas mengeksploitasi. Dalam pandangan Islam, setiap kebijakan negara harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat dan keberlanjutan kehidupan.
Islam memiliki solusi komprehensif dan realistis dalam mengatasi masalah sampah. Negara dalam sistem Khilafah memegang tanggung jawab penuh terhadap pengelolaan lingkungan. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini tergambar jelas bahwa pengelolaan lingkungan bukanlah urusan proyek, melainkan amanah kepemimpinan. Negara dalam sistem Islam bukan sekadar regulator atau fasilitator investasi, tetapi pelindung dan pengurus rakyat. Ia wajib memastikan setiap kebijakan berpihak pada kemaslahatan umat dan kelestarian alam.
Dalam pandangan Islam, sampah bukan sekadar persoalan teknis, tetapi bagian dari tanggung jawab moral dan sosial. Negara tidak boleh menyerahkan urusan lingkungan kepada swasta atau asing, sebab hal itu dapat mengancam kedaulatan dan keseimbangan ekologi. Islam menuntun agar negara hadir sebagai pengatur utama yang menegakkan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan tanggung jawab kepada Allah.
Dengan landasan itu, negara dalam sistem Khilafah akan menempuh langkah-langkah nyata berikut ini:
-
Mengembangkan riset terpadu untuk menemukan teknologi mutakhir dalam pengolahan limbah dan penyediaan kemasan alternatif yang ramah lingkungan.
-
Mendanai inovasi nasional dari Baitulmal tanpa ketergantungan pada modal asing.
-
Membangun sistem daur ulang menyeluruh agar limbah aman sebelum dibuang.
-
Membentuk tim ilmuwan khusus guna menciptakan metode pembersihan limbah yang efektif dan aman.
Langkah-langkah ini dilakukan bukan demi citra, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab terhadap rakyat dan alam.
Islam menolak setiap bentuk kerusakan lingkungan. Allah Taala mengingatkan dalam firman-Nya,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rum: 41)
Khilafah akan menegakkan prinsip pengelolaan lingkungan berbasis kemaslahatan. Tidak ada ruang bagi kapitalisasi alam, apalagi penjajahan ekonomi atas nama investasi hijau.
Kini, negeri ini membutuhkan sistem yang menjadikan negara sebagai pelindung rakyat dan penjaga bumi, bukan makelar proyek asing. [Rn]
Baca juga:
0 Comments: