Pendidik Sejati Mendidik Bukan Sekadar Melatih
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Langit Bandung cerah pagi itu. Di tengah semangat ribuan siswa SMK yang berkumpul di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), suara Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terdengar lantang. Ia baru saja menyerahkan sertifikat pelatihan kerja bagi 4.500 lulusan SMK yang akan ditempatkan di perusahaan otomotif BYD Subang.
(merdeka.com, 02/10/2025)
Dedi menjelaskan dengan penuh keyakinan bahwa tenaga kerja yang telah menyelesaikan pendidikan, mengikuti pelatihan, dan memiliki sertifikat kompetensi hanya memerlukan pembinaan mental lebih lanjut, yang dapat dilakukan melalui pola barak militer.
Ia menambahkan, barak militer tersebut nantinya akan difokuskan bagi calon tenaga kerja yang akan terjun ke dunia industri, sehingga perusahaan tidak perlu lagi menanggung biaya besar untuk pelatihan. Program pelatihan itu telah dibiayai oleh pemerintah provinsi.
(bandung.bisnis.com, 02/10/2025)
Ruang bergemuruh oleh tepuk tangan. Di antara ribuan siswa, tampak wajah-wajah muda penuh harapan. Mereka tersenyum, tetapi di balik senyum itu tersimpan pertanyaan yang mungkin tak terucap, “Apakah kami sedang disiapkan menjadi pekerja, atau sedang ditempa menjadi pemimpin?”
Kang Dedi bersemangat membangun karakter kuat bagi anak muda agar siap bersaing di dunia industri. Namun, gagasan “barak militer” menyiratkan sesuatu yang lebih dalam: sistem pendidikan kita kini lebih menekankan disiplin kerja dibanding visi kehidupan.
Pendidikan kita hari ini seolah menjadi perpanjangan tangan industri. Sekolah melatih, pemerintah menyalurkan, dan perusahaan memanen hasilnya. Sementara jiwa anak muda dengan idealisme, keberanian, dan kreativitas mereka mulai terbungkus dalam format karyawan.
Kebijakan pelatihan di barak militer terdengar gagah. Namun, jika kita telisik lebih dalam, arah pendidikan nasional hari ini nyaris seragam, yakni mencetak tenaga kerja, bukan pemikir atau pemimpin.
Industri membutuhkan pekerja patuh. Negara menyiapkan. Pemerintah bahkan menanggung biayanya. Sungguh ironis, ketika pendidikan yang seharusnya membebaskan malah menyiapkan manusia untuk tunduk pada sistem ekonomi kapitalistik.
Pendidikan kehilangan arah ketika ukurannya hanya produktivitas dan efisiensi. Lebih jauh, sistem ini menguntungkan para pemodal besar, bukan rakyat. Karena semakin banyak tenaga kerja siap pakai, semakin murah ongkos industri berjalan. Dan di situlah kapitalisme bertepuk tangan.
Pendidikan yang Kehilangan Jiwa
Sistem pendidikan saat ini menuntun generasi muda untuk menjadi roda kecil dalam mesin besar ekonomi global. Mereka diajarkan disiplin, tapi tidak diajarkan makna hidup. Mereka kuat secara fisik, tapi rapuh dalam idealisme. Sebuah sistem yang membuat manusia hanya menjadi alat produksi, bukan penggerak peradaban.
Padahal, dalam Islam, pendidikan bukanlah alat industri. Ia adalah sarana membentuk kepribadian Islam (syahsiyah islamiyah) yang terdiri atas akal yang berpikir dengan iman dan hati yang tunduk pada kebenaran.
Pendidikan dalam Cahaya Islam
Dalam sejarah Islam, pendidikan melahirkan generasi yang cemerlang. Al-Khawarizmi menemukan konsep aljabar yang mengubah dunia ilmu. Jabir Ibnu Hayyan menulis dasar ilmu kimia. Ibnu Sina menulis Al-Qanun fi at-Tibb, karya yang menjadi rujukan kedokteran dunia selama berabad-abad. Mereka bukan pekerja industri, melainkan pembangun peradaban.
Islam memiliki visi pendidikan yang tegas. Negara wajib menjamin hak pendidikan rakyatnya secara gratis. Kurikulum disusun berdasarkan akidah Islam, bukan kebutuhan pasar. Pendidikan tidak sekadar mencetak tenaga kerja, tetapi mencetak generasi berakhlak mulia, berpikir kritis, dan siap menjadi pemimpin.
Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim, no. 2699)
Hadis ini menunjukkan bahwa tujuan ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan semata mencari kerja.
Generasi terbaik bukan yang paling disiplin di barak, tapi yang paling teguh di medan dakwah. Bukan yang paling cepat berproduksi, tapi yang paling kokoh mempertahankan kebenaran. Islam mendidik manusia menjadi pejuang kebaikan, bukan sekadar pekerja keras.
Negara dalam sistem Islam tidak membangun barak pekerja, tetapi madrasah pejuang. Setiap kebijakan pendidikan diarahkan untuk membangun peradaban. Negara menjamin sarana, guru, dan kurikulum yang menanamkan ruh keimanan. Di tangan generasi seperti inilah dunia pernah terang selama 13 abad.
Penutup
Mendidik bukan hanya mengasah keterampilan, tetapi menumbuhkan kesadaran.
Membangun bukan hanya mencetak tenaga, tetapi menyalakan cahaya.
Sekularisme telah mengubah arah pendidikan menjadi jalur industri.
Sudah saatnya kita kembali ke jalan yang benar, yakni jalan Islam yang memadukan ilmu dan iman. Sebab hanya dalam sistem Islam, pendidikan melahirkan generasi dengan hati pejuang, akal cemerlang, dan iman yang kokoh.
Barak mungkin membentuk fisik, tetapi imanlah yang membentuk peradaban.
Dan hanya peradaban Islam yang mampu melahirkan manusia seutuhnya—bukan sekadar pekerja, tetapi pembawa cahaya. [Rn]
Baca juga:
0 Comments: