Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
SSCQMedia.Com—Air merupakan elemen paling dasar dari kehidupan yang tidak hanya menjadi sumber daya vital bagi setiap makhluk hidup, tetapi juga fondasi bagi berbagai aspek kehidupan, mulai dari kesehatan, pertanian, hingga industri.
Namun di banyak daerah, mata air yang dulu bisa diakses bebas oleh warga kini dikontrol oleh perusahaan besar air minum dalam kemasan (AMDK). Bahkan, perusahaan tersebut mengambil air tanah dalam melalui pengeboran artesis lebih dari 100 meter.
(Media Indonesia, 25 Oktober 2025)
Dampak Privatisasi Air
Pemanfaatan air tanah secara besar-besaran oleh industri air kemasan menimbulkan dampak serius bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat. Sumur-sumur warga di sekitar lokasi eksploitasi mulai mengering, lahan pertanian kehilangan kelembapan, dan kualitas air tanah menurun akibat perubahan tekanan hidrologi. Kondisi ini menyebabkan pencemaran dan kerusakan ekologis.
Pengambilan air dari akuifer dalam berisiko menurunkan muka air tanah, menghilangkan mata air di sekitar, serta berpotensi menyebabkan amblesnya tanah. Lapisan air tanah yang seharusnya menjadi cadangan alami bumi kini menyimpan risiko besar bagi keseimbangan lingkungan.
Ketika industri air minum menyedot air tanah secara besar-besaran, air perlahan turun dan menyebabkan hilangnya mata air alami di sekitar lokasi eksploitasi. Dalam jangka panjang, kondisi ini memicu amblesan tanah (land subsidence) yang merusak infrastruktur dan mengancam keselamatan warga.
Lebih jauh, air permukaan seperti sungai dan sumur masyarakat ikut mengering. Hal ini menandakan terputusnya siklus air alami yang seharusnya lestari. Kerakusan industri dalam mencari keuntungan telah menimbulkan dharar ekologis yang nyata.
Akses air di sekitar kawasan pabrik menjadi tidak merata. Warga yang hidup berdekatan dengan sumber mata air kesulitan memperoleh air bersih, sementara ribuan galon air dikirim ke luar daerah untuk dijual dengan harga tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme menjadikan sumber kehidupan sebagai komoditas ekonomi, bukan hak publik.
Patut disayangkan lemahnya regulasi negara terhadap batas penggunaan sumber daya alam, yang memperparah praktik kapitalisasi air di negeri ini. Perusahaan besar dapat dengan mudah memperoleh izin eksploitasi, sementara mekanisme pengawasan sering kali hanya formalitas.
Regulasi terkait batas pemanfaatan sumber daya alam masih lemah, sehingga potensi penyalahgunaan dan eksploitasi tetap terbuka. Sistem ekonomi pasar saat ini yang berlandaskan kapitalisme sekuler menjadikan investasi sebagai payung hukum legal dalam merampas kekayaan alam negeri. Sumber daya alam bukan lagi untuk kesejahteraan rakyat, melainkan sebagai aset produksi yang diperjualbelikan.
Negara seharusnya bertindak sebagai pengatur sekaligus penjaga agar kepemilikan umum seperti air, hutan, dan tambang tidak jatuh ke tangan individu atau korporasi. Kelemahan hukum hari ini mencerminkan rapuhnya kedaulatan negara dalam melindungi hak rakyat, akibat tunduk pada logika pasar global yang menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sebagai lembaga yang bertanggung jawab di bidang tersebut, hingga kini belum mampu menghentikan praktik kapitalisasi air yang terus berlangsung. Izin eksploitasi masih diberikan dengan mudah kepada korporasi besar, sementara masyarakat di sekitar sumber air justru mengalami kesulitan akses. Alih-alih menjadi pelindung kepentingan publik, lembaga ini sering kali tampil sebagai pemberi legalitas bagi privatisasi sumber daya alam.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kerangka hukum dan kelembagaan yang ada masih beroperasi dalam logika kapitalistik. Selama investasi mengalir, eksploitasi dianggap sah. Padahal fungsi utama negara seharusnya menjaga kemaslahatan seluruh rakyat, bukan menyerahkannya kepada mekanisme pasar yang menindas.
Solusi Hakiki
Dalam Islam, air termasuk dalam kategori sumber daya alam milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh dimonopoli oleh individu maupun korporasi. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Al-Anbiya ayat 30:
𝘋𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘢𝘪𝘳 𝘒𝘢𝘮𝘪 𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱.
Ayat ini menegaskan bahwa air adalah hak publik yang harus dikelola negara untuk kemaslahatan masyarakat luas, bukan untuk keuntungan segelintir pemilik modal. Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai pengelola (ra‘in) yang memastikan distribusi air berjalan secara merata dan mudah diakses tanpa eksploitasi berlebihan yang merusak ekosistem.
Negara juga wajib menjaga agar debit air tetap terjaga, sumber air bersih, dan bebas dari pencemaran. Dalam sistem Islam, negara tidak hanya memperketat pengelolaan sumber daya alam agar tidak disalahgunakan, tetapi juga memastikan seluruh mekanisme bisnis dan distribusi kekayaan sesuai dengan syariat.
Tugas negara adalah menetapkan aturan yang mencegah penyalahgunaan dan kerusakan lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem, serta memenuhi kebutuhan umat secara berkelanjutan. Penegakan aturan yang transparan dan adil akan mencegah monopoli dan eksploitasi yang merugikan rakyat, sehingga manfaat sumber daya alam dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pengelolaan sumber daya alam berbasis syariat bukan hanya melindungi hak milik umum, tetapi juga mewujudkan kedaulatan negara dan kemaslahatan umat secara luas. Oleh karena itu, dalam sistem kepemimpinan khilafah, negara memiliki kewajiban untuk mengawasi setiap transaksi dan aktivitas ekonomi agar tidak menimbulkan kezaliman atau eksploitasi.
Sumber daya air adalah milik umum yang tidak boleh diprivatisasi atau dijadikan alat akumulasi kapital. Hanya dengan penerapan syariat Islam, keberlangsungan sumber daya air akan tetap terjaga hingga akhir masa.
Wallahualam bissawab. [US]
Baca juga:
0 Comments: