Cerai Massal, Cermin Gagalnya Sistem Kapitalistik
Oleh: Eny K
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com— Fenomena perceraian di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam sepanjang tahun 2025. Tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum, deretan pasangan selebritas pun ramai mengumumkan perpisahan, seperti Deddy Corbuzier dan Sabrina Chairunnisa, Raisa dan Hamish Daud, hingga Sherina Munaf dan Baskara Mahendra. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sepanjang 2024 terjadi 399.921 kasus perceraian di Indonesia, dengan sekitar 77% di antaranya merupakan cerai gugat yang diajukan oleh istri.
Angka ini sedikit menurun dibanding 2023, tetapi tetap jauh lebih tinggi dibanding masa prapandemi. Rasio perceraian kini mencapai sekitar 27 pasangan bercerai dari setiap 100 pasangan menikah. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa mendominasi angka perceraian, dengan Jawa Barat mencatat 88.985 kasus, disusul Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di luar Jawa, Sumatera Utara dan Lampung juga menunjukkan angka yang tinggi. Perceraian terjadi baik pada usia pernikahan muda maupun usia senja (grey divorce), menunjukkan bahwa keretakan rumah tangga tidak mengenal batas usia. Faktor utama perceraian meliputi perselisihan terus-menerus (63%), masalah ekonomi (25%), serta kasus KDRT, perselingkuhan, dan perbedaan pandangan hidup yang turut memperumit dinamika keluarga (cnbcindonesia.com, 30/10/2025).
Tingginya angka perceraian di Indonesia, baik secara nasional maupun daerah, mencerminkan lemahnya pemahaman masyarakat tentang hakikat pernikahan dan fungsi keluarga. Perceraian yang dipicu oleh pertengkaran, tekanan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, hingga judi online menunjukkan bahwa banyak pasangan tidak memiliki fondasi kepribadian yang kokoh untuk membangun rumah tangga yang sehat.
Ketika pernikahan menjadi rapuh, ketahanan keluarga pun runtuh, dan generasi yang lahir dari keluarga yang retak cenderung mengalami krisis emosional, sosial, dan spiritual. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari paradigma sekuler kapitalistik yang mendominasi sistem pendidikan, sistem pergaulan sosial, dan sistem politik ekonomi di negeri ini. Pendidikan yang berorientasi pada capaian materi gagal membentuk karakter yang siap berkomitmen dalam pernikahan.
Pergaulan sosial yang permisif dan individualistik merusak keharmonisan relasi suami-istri dan orang tua-anak. Sementara itu, sistem ekonomi yang menekan dan tidak menjamin kesejahteraan keluarga membuat banyak pasangan terjebak dalam konflik berkepanjangan. Ketika pernikahan tidak lagi menjadi tempat bertumbuh dan keluarga tidak lagi menjadi ruang aman, masyarakat pun kehilangan fondasi peradabannya.
Islam menawarkan solusi menyeluruh untuk membangun ketahanan keluarga dan generasi yang kuat. Dalam sistem Islam, pendidikan bukan hanya tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang pembinaan kepribadian Islam yang kokoh serta kesiapan membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sistem pendidikan Islam menanamkan pola pikir dan pola sikap islami sejak dini, sehingga individu tumbuh dengan kesadaran akan tanggung jawab sebagai suami, istri, dan orang tua. Sistem pergaulan Islam menjaga hubungan dalam keluarga dan masyarakat tetap harmonis, berlandaskan ketakwaan dan adab. Tidak ada ruang bagi gaya hidup bebas, perselingkuhan, atau kekerasan dalam rumah tangga, karena seluruh interaksi sosial diatur oleh hukum syariat yang melindungi kehormatan dan hak setiap individu.
Di sisi lain, sistem politik ekonomi Islam menjamin kesejahteraan keluarga dan masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Negara Islam (khilafah) bertanggung jawab penuh dalam menyediakan lapangan kerja, mengatur harga kebutuhan pokok, dan memastikan distribusi kekayaan yang merata agar keluarga tidak tertekan oleh beban ekonomi.
Dengan sistem Islam yang menyeluruh, pernikahan bukan hanya menjadi ikatan biologis atau administratif, tetapi menjadi bagian dari proyek peradaban yang melahirkan generasi kuat, beradab, dan bertakwa. []
Baca juga:
0 Comments: