Mengembalikan Peran Qawwam di Tengah Gelombang Fatherless
Oleh: Lilis Hy
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Pernahkah kita melihat seorang anak yang menatap kosong ke arah jalanan, seolah menunggu seseorang yang tak kunjung pulang? Banyak di antara mereka menanti figur ayah—sosok yang seharusnya hadir memberi teladan, perlindungan, dan kasih sayang. Namun di balik wajah-wajah kecil itu tersimpan luka sosial yang makin menganga: fenomena fatherless atau ketiadaan peran ayah dalam keluarga.
Kini, fatherless menjadi alarm keras bagi masa depan generasi. Data menunjukkan jutaan anak Indonesia tumbuh tanpa peran ayah yang utuh, baik secara fisik maupun psikis. Mereka hidup dalam keluarga yang secara struktur lengkap, tetapi secara fungsi pincang. Sang ayah ada, namun jiwanya jauh. Di sisi lain, ada pula yang benar-benar ditinggal karena perceraian atau tekanan ekonomi.
Menurut laporan Kompas.id (6 Juli 2024) dan VOI News (9 Juli 2024), jutaan anak Indonesia kini hidup tanpa sosok ayah karena perceraian, migrasi kerja, dan tekanan ekonomi. Para ayah tersita oleh sistem kerja kapitalistik yang menuntut produktivitas tanpa batas. Sementara di rumah, anak-anak kehilangan panutan, dan ibu menanggung beban ganda. Akibatnya, muncul generasi yang rentan secara emosional dan moral, kehilangan arah, bahkan mudah terjerumus pada krisis identitas.
Ironisnya, kondisi ini justru dianggap normal di tengah masyarakat modern. Ayah yang jarang di rumah dianggap “bertanggung jawab”, sementara ibu yang menanggung semua urusan dianggap “kuat”. Padahal, dalam pandangan Islam, keluarga adalah institusi dengan peran khas masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Ketika fungsi ini dikacaukan, lahirlah kekacauan sosial yang meluas sebagaimana yang terjadi hari ini.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, ukuran keberhasilan hidup hanyalah materi. Para ayah bekerja tanpa henti untuk mengejar target ekonomi, sementara negara abai terhadap kesejahteraan rakyatnya. Akibatnya, peran ayah menyempit menjadi sekadar “pemberi nafkah”, bukan qawwam yang membimbing dan melindungi keluarganya. Padahal, Allah Swt. telah menetapkan:
“Kaum laki-laki adalah qawwam (pemimpin dan pelindung) bagi kaum wanita...”
(QS. An-Nisa: 34)
Dalam kitab Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa qiwamah bukanlah bentuk dominasi laki-laki atas perempuan, melainkan amanah kepemimpinan dan tanggung jawab syar’i untuk menunaikan hak-hak keluarga. Beliau menegaskan:
“Laki-laki dijadikan qawwam atas perempuan bukan karena lebih mulia, tetapi karena Allah telah mewajibkan atasnya tanggung jawab menafkahi dan memimpin rumah tangga dengan aturan syariat.”
(Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam)
Konsep qawwam ini mencerminkan keseimbangan yang indah dalam sistem Islam. Ayah menjadi pelindung, pemberi nafkah, dan pendidik moral, sementara ibu menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Keduanya saling melengkapi dalam membangun peradaban Islam yang kokoh.
Namun, ketika sistem sekuler mencabut nilai qiwamah ini, laki-laki kehilangan makna kepemimpinannya. Mereka hanya menjadi roda kecil dalam mesin ekonomi kapitalistik. Tak heran jika banyak ayah hadir secara fisik, tetapi absen secara jiwa—tak lagi menjadi penuntun, pelindung, atau pembentuk karakter bagi anak-anaknya.
Islam hadir untuk menyembuhkan akar masalah ini. Dalam Islam, keluarga bukan sekadar hubungan biologis, tetapi unit terkecil dari masyarakat yang diatur berdasarkan hukum Allah. Karena itu, Islam tidak hanya menyeru individu agar menjadi ayah dan ibu yang baik, tetapi juga membangun sistem yang memungkinkan mereka menjalankan perannya.
Dalam Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, Syaikh Taqiyuddin menjelaskan bahwa stabilitas keluarga hanya dapat terwujud bila hukum Islam diterapkan secara menyeluruh. Negara wajib menjamin kesejahteraan, menyediakan lapangan kerja halal, serta memastikan peran laki-laki dan perempuan berjalan sesuai fitrahnya. Dengan begitu, keluarga akan hidup dalam suasana kasih sayang, tanggung jawab, dan ketenangan (sakinah).
Sistem Islam memastikan peran qawwam berjalan melalui tiga aspek utama:
-
Negara menjamin kesejahteraan rakyat.
Negara Islam membuka lapangan kerja halal, memberi upah layak, dan menjamin kebutuhan dasar rakyat sehingga ayah tidak diperbudak sistem ekonomi. Ia memiliki waktu dan ketenangan untuk mendidik keluarganya. -
Sistem sosial Islam menumbuhkan ketakwaan dan solidaritas.
Masyarakat Islam saling tolong-menolong dalam kebaikan, menegakkan amar makruf nahi mungkar, dan menjaga kehormatan keluarga. -
Sistem perwalian menjamin perlindungan bagi anak-anak.
Bila seorang ayah wafat atau tidak mampu, wali keluarga atau negara akan mengambil peran sebagai pelindung dan pembimbing anak. Tak satu pun anak dibiarkan tanpa figur qawwam.
Dengan demikian, Islam tidak hanya memperbaiki perilaku individu, tetapi juga menata sistem agar manusia bisa hidup sesuai fitrahnya. Ayah tidak kehilangan peran qawwam, ibu tak menanggung beban sendirian, dan anak tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara ruhiyah, akhlak, dan sosial.
Fatherless bukan sekadar fenomena sosial, tetapi cermin kegagalan sistem sekuler yang menolak aturan Allah. Selama kapitalisme sekuler tetap menjadi pijakan, ayah akan terus tersingkir dari perannya, dan generasi akan terus kehilangan arah.
Sudah saatnya umat kembali kepada sistem hidup yang Allah ridhai—yang menegakkan peran ayah sebagai qawwam, memuliakan ibu sebagai madrasah utama, dan melahirkan generasi kuat dalam iman, ilmu, dan kepemimpinan.
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit...”
(QS. Thaha: 124)
Baca juga:
0 Comments: