Pentingnya Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak
Oleh: Mayza
(Komunitas Setajam Pena)
SSCQMedia.Com — Isu fatherless kembali trending di jagat media sosial. Hal ini dipicu oleh hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan angka fatherless tertinggi di dunia. Ketidakhadiran peran ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik maupun psikologis, tidak dapat dianggap sepele.
Masalah fatherless disebabkan oleh berbagai hal. Di antaranya, ayah harus berjauhan dengan anak karena tuntutan pekerjaan serta budaya patriarki yang masih kental di Indonesia. Budaya ini menempatkan pengasuhan anak sebagai tanggung jawab ibu semata.
Dilansir dari Kompas (11/10/2025), sebanyak 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. Temuan ini merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024.
Sejalan dengan pernyataan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, yang mengutip data UNICEF tahun 2021. Ia menyebut sebanyak 20,9 persen anak Indonesia mengalami fatherless. Artinya, seperlima anak Indonesia kehilangan sosok ayah yang memengaruhi pembentukan karakter, daya tahan, daya juang, dan kemampuan kepemimpinan. Dari jumlah itu, 4,4 juta anak tidak tinggal bersama ayah, sedangkan 11,5 juta lainnya memiliki ayah yang terlalu sibuk bekerja di luar rumah.
Peran ayah dalam mendidik anak sejatinya tidak sekadar sebagai ayah biologis, tetapi juga sebagai ayah ideologis yang menanamkan nilai-nilai keagamaan dan arah hidup yang benar. Namun, kenyataannya, banyak ayah hari ini hanya berfungsi sebagai ayah biologis. Kondisi ekonomi yang berat, terutama di kota besar, membuat banyak ayah harus lembur atau merantau.
Dalam situasi ini, fatherless menjadi dampak dari struktur ekonomi yang tidak berpihak pada keseimbangan hidup keluarga. Ketika waktu ayah habis untuk bekerja, hubungan emosional dengan anak pun menipis. Ayah rela bekerja jauh demi sesuap nasi, tetapi mengorbankan kedekatan dengan buah hatinya—padahal pengasuhan membutuhkan kehadiran ayah secara langsung.
Kondisi seperti ini akan terus berulang selama sistem kapitalistik diterapkan. Sistem ini menempatkan ayah hanya sebagai pencari nafkah dan memperkuat budaya patriarki yang menyatakan pengasuhan sepenuhnya tanggung jawab ibu. Para ayah diharapkan bekerja di luar rumah, sementara ibu mengurus rumah tangga dan anak-anak. Jika ibu pun harus bekerja, tetap saja tanggung jawab pengasuhan dibebankan padanya.
Padahal, peran ayah dalam keluarga tidak hanya sebatas penyedia kebutuhan ekonomi. Kehadiran ayah sangat dibutuhkan dalam pengasuhan emosional, keteladanan moral, serta interaksi sehari-hari. Hilangnya peran ayah berdampak besar terhadap keseimbangan emosional, perkembangan sosial, dan prestasi akademik anak. Anak yang kehilangan figur ayah cenderung mengalami stres lebih tinggi, berisiko melakukan kenakalan remaja, dan sulit membangun kepercayaan diri.
Salah satu dampak meningkatnya fatherless adalah hilangnya fungsi qawwam atau kepemimpinan dalam keluarga. Allah Swt. memberikan kelebihan kepada laki-laki berupa peran sebagai qawwam—pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab keluarga. Namun, kini fungsi itu sering disempitkan hanya pada urusan mencari nafkah, sehingga rasa aman dan perlindungan bagi keluarga pun memudar. Akibatnya, ikatan emosional antara ayah dan anak tidak terbangun dengan baik.
Islam sebagai agama paripurna memiliki solusi sistemik untuk mengatasi masalah ini. Pertama, melalui peran negara dalam sistem Khilafah yang bertindak sebagai raa’in (pengurus rakyat). Rasulullah saw. bersabda:
“Imam adalah raa’in (penggembala/pemelihara) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Negara dalam Islam berkewajiban memastikan setiap warganya memiliki pekerjaan layak. Negara tidak hanya membuka lapangan kerja, tetapi juga bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan. Dengan sistem ini, ayah dapat menunaikan perannya secara utuh tanpa harus kehilangan waktu berharga bersama keluarga.
Kedua, Islam menempatkan peran ayah dan ibu sebagai dua pilar yang saling menopang dalam pengasuhan. Ayah berperan sebagai pemimpin, pencari nafkah, dan pengarah nilai-nilai keluarga. Ibu berperan mengasuh, mendidik, dan mengatur urusan rumah tangga. Namun, tanggung jawab pengasuhan anak bukan berarti hanya milik ibu. Ayah tetap wajib terlibat secara aktif dalam memberikan kasih sayang, perhatian, dan keteladanan.
Sosok ayah yang ideal digambarkan dalam kisah Luqman, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an. Ia menasihati anaknya tentang pentingnya tauhid, salat, berbakti kepada orang tua, serta menjauhi kesombongan dan kerusakan. Kisah ini menunjukkan bahwa peran ayah dalam pendidikan anak sangatlah penting dan tidak bisa digantikan.
Demikianlah, Islam mengatur tatanan kehidupan secara sempurna—dari urusan keluarga hingga negara—berdasarkan hukum syara’. Hukum Allah inilah yang mampu menjaga keseimbangan hidup manusia agar tidak berjalan tanpa arah, melainkan menuju satu tujuan: meraih rida-Nya.
Mari rapatkan barisan untuk menjadi pembela Islam dan meneladani risalah kenabian Muhammad saw. Semoga sistem Islam segera hadir kembali di tengah-tengah umat, agar fenomena fatherless tidak lagi menimpa generasi penerus.
Wallahualam bissawab. [An]
Baca juga:
0 Comments: