Headlines
Loading...
Fatherless: Krisis Kehadiran Ayah di Tengah Peradaban Modern

Fatherless: Krisis Kehadiran Ayah di Tengah Peradaban Modern


Oleh: Verawati, S.Pd.
(Pegiat Literasi)

SSCQMedia.Com — Permasalahan fatherless (anak tanpa kehadiran ayah) kian mengemuka, terutama setelah sejumlah kasus ramai diperbincangkan di media sosial. Dalam berbagai wacana, para pegiat dan pendukung isu fatherless menyampaikan pengalaman, dukungan emosional, serta advokasi yang mendapat perhatian luas dari masyarakat.

Salah satu akun media sosial yang menjadi sorotan adalah milik Rut Helga. Bersama ayahnya, ia membuka ruang curhat bagi anak-anak yang mengalami fatherless. Media sosial pun menjadi wadah untuk menampung suara-suara yang selama ini tersembunyi di balik citra “keluarga bahagia”. Fenomena ini tentu tidak hadir tanpa sebab. Ia muncul dari sistem yang secara tidak langsung telah menjadikan peran ayah hilang atau melemah.

Pada tahun 2017, Khofifah Indar Parawansa, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Sosial, menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga kasus fatherless di dunia. Pernyataan ini menjadi sorotan karena menggambarkan lemahnya peran ayah dalam keluarga. Banyak ayah gagal hadir, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.

Olahan data tim Jurnalisme Data berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 menunjukkan, terdapat 15,9 juta anak atau setara 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia di bawah 18 tahun yang berpotensi mengalami fatherless. Sebanyak 4,4 juta anak tidak tinggal bersama ayah, sementara 11,5 juta anak lainnya mengalami fatherless karena ayahnya sibuk bekerja atau separuh harinya dihabiskan di luar rumah (Kompas.id, 10/10/2025).

Jadi, banyak anak mengalami fatherless bukan karena ayahnya meninggal, melainkan karena ayah hadir secara raga namun absen secara jiwa. Padahal, kehadiran ayah sejatinya berfungsi sebagai pengisi “tangki cinta”, sumber kasih sayang, perhatian, dan dukungan emosional bagi anak.

Dampak Fatherless pada Anak

Menurut Ustaz Bendri Jaisyurrahman, anak laki-laki yang kehilangan figur ayah cenderung mudah terbawa arus lingkungan. Mereka berpotensi terjerumus dalam narkoba, tawuran, atau kenakalan remaja lainnya. Bahkan, untuk mengambil keputusan sederhana pun sering kali tidak mampu. Salah satu cirinya adalah terbiasa berkata “terserah”, yang menandakan kurangnya ketegasan — hal yang semestinya ditanamkan oleh sosok ayah. Jika demikian, bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi pemimpin di masa depan?

Sementara bagi anak perempuan, ketidakhadiran ayah dalam mengisi tangki cintanya dapat membuat mereka mudah tergoda rayuan lelaki. Akibatnya, kasus kehamilan di luar nikah, aborsi, hingga kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi. Jika para gadis mengalami kondisi demikian, bagaimana mungkin kita bisa berharap lahirnya generasi tangguh di masa depan?

Dengan demikian, masalah fatherless bukan sekadar persoalan individu atau keluarga, melainkan persoalan sosial yang berdampak panjang. Ia menimbulkan gangguan psikologis, rapuhnya identitas, hingga kerusakan sosial yang dapat berimbas pada peradaban umat di masa mendatang.

Fatherless Lahir dari Peradaban Kapitalis

Masalah fatherless bukanlah hal baru yang muncul tiba-tiba. Fenomena ini tumbuh dari sistem kehidupan modern yang menjadikan ayah sibuk bekerja tanpa waktu bagi keluarga. Ayah sering kali hadir sebagai sosok “misterius” — jarang di rumah, dan kalau pun ada, jarang berinteraksi dengan anak.

Seiring waktu, hubungan antara ayah dan anak pun menjadi canggung. Banyak anak merasa tidak punya hal untuk dibicarakan dengan ayahnya. Padahal, setiap kalimat yang keluar dari mulut seorang ayah dapat meninggalkan bekas mendalam di hati anak.

Kesibukan ayah mencari nafkah memang tidak bisa dihindari. Beban biaya hidup yang kian berat membuat sebagian ayah harus bekerja hingga akhir pekan. Pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kebutuhan pokok keluarga seolah seluruhnya ditanggung sendiri. Akibatnya, waktu bersama keluarga menjadi sesuatu yang langka.

Lebih parah lagi, banyak ayah yang tidak siap menjadi “ayah betulan” — tidak memahami peran sebagai pemimpin keluarga dan pendidik anak. Banyak pula yang lebih sering menyentuh gawai ketimbang anak dan urusan keluarga. Akhirnya, hubungan keluarga menjadi dingin dan jauh dari kehangatan.

Semua itu berakar dari sistem hidup yang diterapkan hari ini, yakni kapitalisme. Dalam sistem ini, peran negara dikerdilkan, hanya sebatas regulator. Diperparah lagi dengan sistem demokrasi yang berbiaya mahal, sehingga penguasa sering kali berselingkuh dengan para pengusaha. Hampir semua aset dan kekayaan negara dikuasai asing dan aseng. Akibatnya, negara terus memalak rakyat dengan pajak tinggi, sedangkan fasilitas umum begitu minim.

Peran Ayah dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, ayah dan ibu sama-sama memiliki peran penting. Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga teladan dalam pendidikan anak. Banyak kisah dalam Al-Qur’an menggambarkan hubungan indah antara ayah dan anak, seperti kisah Luqman dan anaknya, Nabi Yusuf dan Ya‘qub, serta Nabi Ibrahim dan Ismail.

Kisah Nabi Yusuf menjadi contoh nyata. Yusuf mendapat perhatian dan kasih sayang besar dari ayahnya, sehingga ia merasa aman untuk bercerita, bahkan tentang mimpinya. Ketika digoda oleh Zulaikha (istri raja), ingatan akan nasihat sang ayah menjadi benteng moral yang menyelamatkannya dari dosa.

Dari kisah tersebut, kita memahami bahwa kehadiran ayah adalah benteng ketahanan anak dalam menghadapi ujian hidup. Jika hari ini banyak generasi rapuh yang sering disebut “generasi stroberi”, maka pertanyaannya: siapa yang menanam dan menumbuhkan pohon itu?

Peran Negara dan Sistem Islam

Dalam sistem Islam, negara juga berperan mendukung peran ayah. Negara wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya, menyediakan lapangan kerja yang layak, pendidikan dan kesehatan gratis, serta jaminan keamanan. Dengan demikian, beban hidup tidak sepenuhnya ditanggung ayah, dan ia memiliki waktu yang cukup untuk mendidik serta membersamai keluarga.

Islam pun memiliki sistem perlindungan bagi anak yatim, yaitu sistem perwalian. Seorang wali wajib menggantikan peran ayah dalam memberikan kasih sayang, perhatian, dan perlindungan terhadap anak yang kehilangan ayahnya.

Penutup

Fenomena fatherless seharusnya menjadi cermin bagi umat Islam. Ia bukan sekadar isu keluarga, tetapi juga indikator rapuhnya sistem sosial modern. Karena itu, perlu ada kesadaran kolektif dari ayah, ibu, masyarakat, hingga negara untuk mengembalikan fungsi keluarga sebagaimana mestinya.

Semoga realitas ini menyadarkan para ayah dan seluruh umat Islam untuk berupaya menjadi umat terbaik. Dengan meningkatnya kesadaran terhadap isu fatherless, diharapkan semakin banyak langkah nyata, baik dalam keluarga, lembaga pendidikan, maupun kebijakan publik, untuk memperkuat kehadiran ayah secara fisik, emosional, dan moral.

Dan pada akhirnya, kita menyadari bahwa sistem Islam-lah yang mampu menjaga ketahanan keluarga dan melahirkan generasi tangguh di masa depan.

Wallahualam bissawab. [An]


Baca juga:

0 Comments: