Headlines
Loading...
Magang Berbayar, Antara Harapan dan Pengangguran

Magang Berbayar, Antara Harapan dan Pengangguran

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Bank Dunia baru-baru ini merilis laporan bertajuk World Bank East Asia and The Pacific Economic Update October 2025: Jobs yang mengungkap fakta mencengangkan. Satu dari tujuh anak muda di Tiongkok dan Indonesia kini menganggur (cnnindonesia.com, 8 Oktober 2025).

Menanggapi situasi tersebut, pemerintah meluncurkan Program Magang Berbayar untuk Fresh Graduate. Program ini diklaim memberi peluang bagi lulusan baru untuk memperoleh pengalaman kerja dengan gaji setara UMP. Kementerian Ketenagakerjaan menargetkan hingga 100 ribu peserta pada akhir tahun (nasional.kontan.co.id, 5 Oktober 2025).

Antusiasme masyarakat pun tinggi. Lebih dari 200 ribu pendaftar menunjukkan minat besar mengikuti program ini (abadinews.id, 9 Oktober 2025). Bahkan beberapa perusahaan besar seperti Telkom dan Toyota membuka lowongan magang berbayar dengan gaji setara UMP hingga Rp5 juta (finance.detik.com, 12 Oktober 2025).

Sekilas, program ini tampak menjanjikan. Namun, apakah magang berbayar benar-benar mampu menuntaskan akar masalah pengangguran?

Solusi Semu yang Tak Sentuh Akar Masalah

Menurut Miftah Karimah Syahidah, S.Pd., aktivis BIMC Jember, program magang berbayar hanya tampak manis di permukaan.

“Program-program semacam ini tampaknya menjadi solusi atas problem pengangguran yang terjadi. Namun faktanya, program ini tidak mampu mengatasi problem pengangguran di negeri ini,” jelasnya kepada Muslimah News, Sabtu (11 Oktober 2025).

Ia menilai, akar pengangguran bukan terletak pada minimnya pengalaman, melainkan minimnya lapangan kerja yang layak dan merata.

“Dunia industri kini justru dilanda badai PHK akibat tekanan ekonomi global, efisiensi biaya, dan digitalisasi,” ujarnya.

Negara, lanjut Miftah, kini hanya berperan sebagai fasilitator bagi pemilik modal, sementara urusan kesejahteraan rakyat diserahkan pada mekanisme pasar.

“Ini menunjukkan bahwa program magang hanyalah solusi tambal sulam dalam mengatasi problem pengangguran,” tegasnya.

Lebih jauh, Miftah menyoroti bahwa pendidikan kini kehilangan arah.

“Kampus tidak lagi mencerdaskan bangsa, tetapi mencetak buruh industri. Negara menekan kampus agar menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar, bukan kebutuhan rakyat,” tandasnya.

Pengangguran bukan sekadar masalah keterampilan, tetapi gejala dari sistem ekonomi yang pincang. Harta tidak berputar di seluruh lapisan masyarakat, melainkan hanya di antara segelintir orang kaya. Akibatnya, jurang antara penguasa modal dan rakyat pekerja kian melebar.

Faktanya, pelatihan vokasi dan sertifikasi terus digelar, namun angka pengangguran tetap tinggi. Ironisnya, lulusan SMK yang seharusnya siap kerja justru menyumbang tingkat pengangguran tertinggi.

Kapitalisme menempatkan kepemilikan sumber daya alam (SDA) di tangan swasta. Negara kehilangan kendali atas industrialisasi yang seharusnya mampu menciptakan lapangan kerja besar-besaran. Akibatnya, profit menjadi orientasi utama, bukan kesejahteraan. Perusahaan bebas memutus hubungan kerja dan merekrut tenaga kerja asing tanpa kendali.

Selain itu, sistem kapitalisme mendorong ekonomi nonriil—seperti bursa saham, perbankan ribawi, dan asuransi—yang memperkaya segelintir pemilik modal tanpa menciptakan pekerjaan nyata. Sementara sektor riil seperti pertanian, perikanan, dan industri berat dibiarkan mati suri.

Akar lain dari pengangguran adalah sistem pendidikan kapitalistik. Sistem ini menilai kesuksesan dari seberapa cepat lulusan terserap pasar, bukan dari seberapa jauh mereka membawa perubahan.

Lulusan perguruan tinggi pun akhirnya hanya menjadi pencari kerja, bukan pencipta kerja. Inovasi mandek, kreativitas mati, dan kemandirian ekonomi bangsa pun terkubur dalam obsesi untuk “sesuai dengan kebutuhan industri.”

Politik Ekonomi Islam: Distribusi Harta, Bukan Eksploitasi

Islam menawarkan sistem ekonomi yang berorientasi pada pemerataan harta, bukan akumulasi kekayaan. Dalam Islam, harta terbagi menjadi tiga kepemilikan, yaitu individu, umum, dan negara.

Rasulullah saw. bersabda,

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)

Artinya, sumber daya alam seperti tambang, hutan, laut, dan sungai adalah milik umum. Negara wajib mengelolanya untuk kemaslahatan rakyat, bukan menyerahkannya kepada swasta.

Negara juga wajib membuka lapangan kerja bagi laki-laki balig. Rasulullah saw. mencontohkan dengan memberi iqtha’ (tanah garapan) kepada rakyat agar dapat bekerja dan mandiri. Jika rakyat kekurangan modal, negara menyalurkannya melalui baitulmal tanpa riba dan tanpa pungutan pajak.

Dalam sejarah Khilafah Islam, hasil pengelolaan SDA digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat secara gratis. Tidak ada rakyat yang terbebani biaya UKT, BPJS, atau utang pendidikan. Semua berjalan karena harta umum tidak dikuasai individu, melainkan dikelola negara untuk seluruh rakyat.

Sistem Islam menjadikan negara sebagai pelindung, bukan fasilitator modal. Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, mengambil tanah yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun dan memberikannya kepada rakyat yang mampu mengelolanya.

Negara juga membuka investasi halal di sektor riil—seperti pertanian, kehutanan, kelautan, dan pertambangan—untuk menyerap tenaga kerja secara besar-besaran. Di saat yang sama, negara menutup sektor nonriil yang hanya memperkaya segelintir elite.

Miftah Karimah Syahidah menegaskan,

“Dalam sistem pemerintahan Islam, negara tidak sekadar regulator, tetapi pengurus rakyat (raa’in). Ia menjamin pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan tanpa biaya sepeser pun.”

Penutup

Pengangguran adalah buah pahit dari sistem kapitalisme yang rakus dan timpang. Ia menelantarkan rakyat, menekan pendidikan, dan menukar nilai kemanusiaan dengan laba.

Tidak ada jalan keluar selain meninggalkan sistem rusak ini. Islam telah menawarkan solusi nyata yang berlandaskan wahyu, bukan kepentingan modal.

Sudah saatnya negeri ini berani beralih menuju sistem Islam yang mampu menebar kesejahteraan dan menyalakan kembali harapan kaum muda.

Karena sejatinya, magang terbaik bukanlah menjadi buruh dalam sistem kapitalisme, melainkan menjadi pelaku perubahan dalam sistem yang adil dan manusiawi, yaitu sistem Islam yang menegakkan kesejahteraan, bukan ilusi.

Baca juga:

0 Comments: